Dana Abadi Dorong Peran Kekinian Pesantren
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perhatian pemerintah terhadap kontribusi pesantren dalam membangun karakter dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia semakin kongkrit. Teranyar, pada 14 September lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2020 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Kebijakan tersebut tentu berimplikasi langsung terhadap tanggung jawab pemerintah untuk turun langsung membantu pesantren dalam menjalankan proses belajar mengajar. Selama ini, lembaga yang sudah eksis jauh sebelum kemerdekaan negeri ini relatif mandiri dalam mencari sumber daya keuangan. Kondisi ini tentu ironis mengingat begitu vitalnya pesantren di tengah masyarakat, termasuk menjadi kawah candradimuka dalam pengembangkan karakter dan SDM bangsa ini.
Walaupun dana abadi pesantren baru di atas kertas, dukungan negara terhadap pesantren harus direspons kalangan pengelola lembaga pendidikan agama tersebut untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam mendidik santri. Bukan hanya dari sisi pendidikan keagamaan, tapi juga pengembangan SDM generasi muda dalam arti luas.
Harapan ini di antaranya disampaikan Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid politisi PDIP Muchamad Nabil Haroen. Mereka melihat tantangan global yang dihadapi bangsa ini membutuhkan peran pesaantren dalam menyiapkan SDM. Jazilus Fawaid menyebut, secara garis, Perpres Nomor 82 Tahun 2021 ini mempertegas mengenai pengelolaan pesantren untuk fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Semoga lahirnya ini menjadi momentum bangkitnya nasionalisme pesantren di era kekinian. Dulu pesantren itu ikut terlibat di era perang kemerdekaan. Hari ini tantangannya berbeda. Hari ini di jaman global, tantangannya di ilmu pengetahuan bagaimana alumni pesantren didorong dapat menjadi tenaga-tenaga yang ikut serta mewarnai pembangunan Indonesia,” ujar Jazilul Fawaid.
Politisi PKB itu menggariskan masih ada beberapa pekerjaan rumah bagi parlemen dan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Menurut dia, yang paling ditunggu tentunya mengenai sumber pendanaan. Disebutkan ada beberapa sumber pendanaan yang akan masuk ke pesantren, yakni pemerintah pusat, daerah (pemda), dana abadi pesantren, dan sumber lain yang sah. Dana abadi pesantren ini berasal dari dana abadi pendidikan. Saat ini dana abadi pendidikan berjumlah Rp70,1 triliun.
Lebih jauh dia menandaskan, aturan tertulis saja tidak cukup. Gus Jazil menyatakan beberapa langkah agar realisasi dana untuk pesantren segera cair. Pertama, mendorong pemda-pemda untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang pesantren. Kedua, regulasi saja tidak cukup, tetapi membutuhkan goodwill dari pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasi dana bagi pesantren.
“Ketiga, kami mendorong agar ada dirjen khusus pesantren. Ini sedang kami usulkan. Mudah-mudahan pemerintah yang sudah luar biasa ini enggak tanggung-tanggung (memberikan perhatian). (Harus) Diberikan kelembagaan khusus di Kementerian Agama (Kemenag) atau ditingkat dari eselon II ke I. Menurut saya, melalui APBN sudah pasti ter-cover melalui unit-unit kegiatan dan program yang ada di dirjen pesantren,” paparnya.
Selain itu, ke depan dia menyebut ke depan, DPR dan pemerintah harus merumuskan skema penyaluran dananya. “Menurut saya, agar keberpihakan terhadap pesantren tidak hanya kepada pesantren besar. Akan tetapi, pesantren di daerah terpencil dan daerah kecil memiliki akses yang sama. Utamanya, alumni-alumni pesantren bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya,” tegasnya.
Muchamad Nabil Haroen menyatakan pengambil kebijakan, dalam hal ini kementerian dan pemda, harus didorong merealisasikan program untuk pemberdayaan sumber daya santri. DPR tentunya akan mengawal agar lahir program yang baik dan anggaran yang jelas untuk kepentingan para santri dan pesantren. Menurutnya, jika santri hebat dan berdaya, mayoritas dari warga Indonesia akan merasa dampak positifnya.
Gus Nabil, sapaan akrabnya, menerangkan UU Pesantren merupakan bagian dari upaya menyetarakan pesantren dengan lembaga pendidikan umum. ”Jelas sekali. Sudah beberapa dekade pesantren dipinggirkan. Bahkan, tidak diakui oleh pemerintah pada rezim lampau. Sekarang santri mendapatkan kesempatan luas. Terbukti mampu menjadi Wapres, menteri, teknokrat, pengusaha, dan beberapa bidang lain,” tuturnya.
Namun, dia menilai UU Pesantren belum sepenuhnya menghapus diskriminasi terhadap lulusan pesantren. “Kita masih harus terus mengejar ketertinggalan sumber daya, standar ekonomi, dan pengelolaan aset-aset strategis untuk kemaslahatan umat. Jalan masih panjang. Saat ini, fokus pada penguatan SDM dan merintis penguatan ekonomi pesantren,” ucapnya.
Pria kelahiran 1984 itu menegaskan UU Pesantren sebagai salah satu bagian pengakuan negara terhadap kontribusi pesantren sejak jaman dahulu. “Masih banyak bagian lain yang harus diperjuangkan. Bahwa UU Pesantren menjadi pintu masuk untuk perjuangan besar kaum santri dan Khidmah untuk Indonesia, serta peran besar kita untuk perdamaian dunia,” tandas dia.
Seperti diketahui, peran dan kontribusi pesantren terhadap bangsa ini yang sempat dianaktirikan perlahan tapi pasti mendapat pengakuan negara.Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengawali dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober. Selanjutnya, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Lebih kongkrit lagi, pada 14 September lalu, Jokowi meneken Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Merujuk Perpres tersebut, dana abadi pesantren adalah salah satu sumber pendanaan kegiatan pesantren. Dana itu disediakan oleh pemerintah untuk pondok pesantren.Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 23 ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2021.
Ayat berikutnya menjelaskan dana abadi pesantren diadakan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan di pesantren. Dana itu disebut sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi.Selanjutnya ayat (3) pasal itu menjelaskan pengalokasian dana abadi pesantren. Alokasi dana tersebut merujuk pada hasil perkembangan dana abadi pendidikan."Pemanfaatan dana abadi pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk penyelenggaraan fungsi pendidikan pesantren," bunyi pasal 23 ayat (4) Perpres Nomor 82 Tahun 2021.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan anggaran masih dalam proses perhitungan.Dia memperkirakan angka dari anggaran yang disiapkan tersebut tidak akan jauh dari yang telah direncanakan sebelumnya. "Anggarannya nanti sedang dihitung lagi, tapi saya kira tidak jauh daripada modelnya. Setiap APBN akan disisihkan dana, dana itu dikembangkan, kemudian hasilnya nanti akan diberikan. Kira-kira modelnya begitu, oleh karena itu setiap tahun dia akan terus bertambah," kata Ma'ruf usai meninjau pelaksanaan vaksinasi di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Tangerang (16/9).
Dia pun mengucap syukur adanya anggaran yang diatur dalam undang-undang untuk membantu pesantren. Dalam pandangannya, pesantren memang harus mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan.’’Jadi ada dana pendidikan yang dikelola Kemendikbud dan Kemenkeu, lalu dana abadi pesantren, bahkan dana abadi kebudayaan dan riset. Ini komitmen pemerintah untuk membantu kegiatan pendidikan, riset dan inovasi, pesantren sudah lama diinginkan dan disambut baik oleh dunia pesantren karena memang sudah lama ditunggu."
Sejarah Panjang Kontribusi Pesantren
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Marsudi Suhud mengatakan, pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia. Bahkan, dibelahan dunia lain, mungkin bisa saja tidak ditemukan sistem pendidikan seperti pesantren ini.
"Peran pesantren dari dahulu sudah luar biasa, seperti pada zaman penjajahan. Mereka sebagai benteng pertahanan umat Islam dan di zaman modern seperti ini pun kita masih meihat animo masyarakat masih sangat besar ke pesantren,"jelasnya.
Bahkan dalam sejarahnya, Marsudi menjelaskan bahwa ulama dan santri selalu menjadi garda terdepan dalam memimpin pergerakan nasional, dalam rangka mengusir segala bentuk penjajahan yang ada di negeri ini. "Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah ada sejak dahulu, telah banyak melahirkan generasi yang tidak hanya menolak segala bentuk penjajahan, melainkan selalu menjadi motor penggerak dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajah,"tegasnya.
Dikatakannya, keadaan pesantren pada masa kolonial saat itu sangat berbeda dengan keberadaan pondok saat ini. Ia pun menceritakan pertumbuhan pondok pesantren pada awalnya tidak mudah, kondisi pesantren hanyalah berupa gedung berbentuk persegi yang dibangun dari bambu. Namun, di beberapa desa yang sudah makmur, pesantren sudah dibangun dari kayu, seperti tiang penyangga dan dinding. Tapi, tetap saja kondisinya sangat terbatas.
"Kebanyakan pondok pesantren zaman itu hanya terdiri atas ruangan yang besar yang didiami bersama. Mereka bersama-sama tidur di atas tikar pandan atau koran, berbeda dengan saat ini,"ujar Marsudi.
Namun, menurutnya pada masa kolonial inilah pesantren berkembang dengan pesat. Pesantren ini ada yang memiliki kekhususan sehingga berbeda dengan pesantren lainnya. Ada yang khusus mengajarkan ilmu hadis dan fikih, ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Kemudian pesantren memasukkan sistem madrasah. Dalam sistem ini jenjang-jenjang pendudukan terbagi menjadi ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliah.
"Sistem madrasah inilah yang mendorong perkembangan pesantren sehingga jumlahnya semakin meningkat pesat. Sehingga, pada1958 sampai dengan 1959 lahirlah Madrasah wajib belajar yang memiliki hak dan kewajiban seperti sekolah negeri pada umumnya,"ujarnya.
Selanjutnya, di 1965 berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta, disepakati perlunya memasukkan pelajaran keterampilan seperti pertanian, pertukangan, dan lain-lain dalam sistem pembelajaran di pondok pesantren. Hingga berganti pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan pembinaan terhadap pesantren melalui Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
"Di sini lah terjadinya pasang surut perkembangan pondok pesantren. Pada masa orde baru dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, mulai dari pemerintahan puat hingga daerah," tuturnya.
Barulah pada 1975, muncul gagasan untuk mengembangkan pondok pesantren dengan model baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Center, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Akan tetapi menurutnya, pada saat itu pondok pesantren mengalami kesulitan dalam pembinaan karena tidak adanya kiai yang karismatik yang bisa memberi bimbingan dan teladan pada santrinya.
Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 03 tahun 1975, menetapkan mata pelajaran umum sekurang-kurangnya sebanyak 70% dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti pesantren As-Syafi'iyah dan pesantren at-Tahiriyah.
Jadi sangat terlihat bagaimana peran pesantern tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi lembaga keagamaan yang menjadi basis perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Seperti pada masa kolonial dahulu, anak-anak yang disekolahkan di pesantren dipersiapkan menjadi ulama atau menekuni agama. Saat ini lebih pragmatis, banyak orang tua yang mencari lingkungan yang kondusif dan aman untuk perkembangan anaknya.
"Menjadi generasi yang idialis dahulu, namun dengan demikian mereka melihat pesantren merupakan tempat yang paling aman untuk memberikan anak mereka, terutama dari pengaruh lingkungan yang serba permisif saat ini,"ucapnya.
Baca juga: UEA Gelontorkan Rp144 Triliun ke Dana Abadi SWF, Luhut: Bukti Kepercayaan ke RI Tinggi
Ia pun melanjutkan terlebih sejak adanya surat keterangan (SK) Menteri, sehingga anak pesantren bukan lagi meneruskan pendidikannya ke jenjang agama. Mereka juga bisa ke berbagai perguruan tinggi di berbagai fakultas yang umum atau mereka pilih.
"Saat ini kita melihat pesantren-pesantren sudah dimoderenisir bukan hanya pengelolaannya, tapi juga berbagai bidang studi dikembangkan di sana. Sehingga pesantren betul-betul menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka," jelasnya.
Senada, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah Abdul Mu'ti mengatakan peran pesantren sangat besar dalam membentuk subkultur dari budaya bangsa Indonesia. "Memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan kultur dan peradaban bangsa Indonesia, sebab tidak hanya membangun dalam bidang keagamaan melainkan proses pendidikan, sumber daya manusia dan lainnya," tambahnya.
Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama bertahan dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia, hal ini menandakan adanya kekuatan dan keberpengaruhan pesantren terhadap budaya Indonesia serta menunjukkan tidak ada pertentangan kebudayaan.
"Dan terbukti banyak memberikan kontribusi sumbangan bagi kemajuan budaya bangsa, khususnya upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan hanya sekedar meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada aspek penguasaan sains dan teknologi, melainkan juga lebih concern dalam mencetak sumber daya manusia memiliki ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik akhlaq al karimah," kata Mu'ti.
Hal menarik lainnya menurutnya pesantren sebagai subkultur Indonesia adalah dalam bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya pendidikan, pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan lainnya, sehingga dinamika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik.
"Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dapat merepresentasikan pendidikan yang unik yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama," tuturnya.
Kebijakan tersebut tentu berimplikasi langsung terhadap tanggung jawab pemerintah untuk turun langsung membantu pesantren dalam menjalankan proses belajar mengajar. Selama ini, lembaga yang sudah eksis jauh sebelum kemerdekaan negeri ini relatif mandiri dalam mencari sumber daya keuangan. Kondisi ini tentu ironis mengingat begitu vitalnya pesantren di tengah masyarakat, termasuk menjadi kawah candradimuka dalam pengembangkan karakter dan SDM bangsa ini.
Walaupun dana abadi pesantren baru di atas kertas, dukungan negara terhadap pesantren harus direspons kalangan pengelola lembaga pendidikan agama tersebut untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam mendidik santri. Bukan hanya dari sisi pendidikan keagamaan, tapi juga pengembangan SDM generasi muda dalam arti luas.
Harapan ini di antaranya disampaikan Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid politisi PDIP Muchamad Nabil Haroen. Mereka melihat tantangan global yang dihadapi bangsa ini membutuhkan peran pesaantren dalam menyiapkan SDM. Jazilus Fawaid menyebut, secara garis, Perpres Nomor 82 Tahun 2021 ini mempertegas mengenai pengelolaan pesantren untuk fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Semoga lahirnya ini menjadi momentum bangkitnya nasionalisme pesantren di era kekinian. Dulu pesantren itu ikut terlibat di era perang kemerdekaan. Hari ini tantangannya berbeda. Hari ini di jaman global, tantangannya di ilmu pengetahuan bagaimana alumni pesantren didorong dapat menjadi tenaga-tenaga yang ikut serta mewarnai pembangunan Indonesia,” ujar Jazilul Fawaid.
Politisi PKB itu menggariskan masih ada beberapa pekerjaan rumah bagi parlemen dan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Menurut dia, yang paling ditunggu tentunya mengenai sumber pendanaan. Disebutkan ada beberapa sumber pendanaan yang akan masuk ke pesantren, yakni pemerintah pusat, daerah (pemda), dana abadi pesantren, dan sumber lain yang sah. Dana abadi pesantren ini berasal dari dana abadi pendidikan. Saat ini dana abadi pendidikan berjumlah Rp70,1 triliun.
Lebih jauh dia menandaskan, aturan tertulis saja tidak cukup. Gus Jazil menyatakan beberapa langkah agar realisasi dana untuk pesantren segera cair. Pertama, mendorong pemda-pemda untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) tentang pesantren. Kedua, regulasi saja tidak cukup, tetapi membutuhkan goodwill dari pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasi dana bagi pesantren.
“Ketiga, kami mendorong agar ada dirjen khusus pesantren. Ini sedang kami usulkan. Mudah-mudahan pemerintah yang sudah luar biasa ini enggak tanggung-tanggung (memberikan perhatian). (Harus) Diberikan kelembagaan khusus di Kementerian Agama (Kemenag) atau ditingkat dari eselon II ke I. Menurut saya, melalui APBN sudah pasti ter-cover melalui unit-unit kegiatan dan program yang ada di dirjen pesantren,” paparnya.
Selain itu, ke depan dia menyebut ke depan, DPR dan pemerintah harus merumuskan skema penyaluran dananya. “Menurut saya, agar keberpihakan terhadap pesantren tidak hanya kepada pesantren besar. Akan tetapi, pesantren di daerah terpencil dan daerah kecil memiliki akses yang sama. Utamanya, alumni-alumni pesantren bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya,” tegasnya.
Baca Juga
Muchamad Nabil Haroen menyatakan pengambil kebijakan, dalam hal ini kementerian dan pemda, harus didorong merealisasikan program untuk pemberdayaan sumber daya santri. DPR tentunya akan mengawal agar lahir program yang baik dan anggaran yang jelas untuk kepentingan para santri dan pesantren. Menurutnya, jika santri hebat dan berdaya, mayoritas dari warga Indonesia akan merasa dampak positifnya.
Gus Nabil, sapaan akrabnya, menerangkan UU Pesantren merupakan bagian dari upaya menyetarakan pesantren dengan lembaga pendidikan umum. ”Jelas sekali. Sudah beberapa dekade pesantren dipinggirkan. Bahkan, tidak diakui oleh pemerintah pada rezim lampau. Sekarang santri mendapatkan kesempatan luas. Terbukti mampu menjadi Wapres, menteri, teknokrat, pengusaha, dan beberapa bidang lain,” tuturnya.
Namun, dia menilai UU Pesantren belum sepenuhnya menghapus diskriminasi terhadap lulusan pesantren. “Kita masih harus terus mengejar ketertinggalan sumber daya, standar ekonomi, dan pengelolaan aset-aset strategis untuk kemaslahatan umat. Jalan masih panjang. Saat ini, fokus pada penguatan SDM dan merintis penguatan ekonomi pesantren,” ucapnya.
Pria kelahiran 1984 itu menegaskan UU Pesantren sebagai salah satu bagian pengakuan negara terhadap kontribusi pesantren sejak jaman dahulu. “Masih banyak bagian lain yang harus diperjuangkan. Bahwa UU Pesantren menjadi pintu masuk untuk perjuangan besar kaum santri dan Khidmah untuk Indonesia, serta peran besar kita untuk perdamaian dunia,” tandas dia.
Seperti diketahui, peran dan kontribusi pesantren terhadap bangsa ini yang sempat dianaktirikan perlahan tapi pasti mendapat pengakuan negara.Adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengawali dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober. Selanjutnya, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Lebih kongkrit lagi, pada 14 September lalu, Jokowi meneken Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren.
Merujuk Perpres tersebut, dana abadi pesantren adalah salah satu sumber pendanaan kegiatan pesantren. Dana itu disediakan oleh pemerintah untuk pondok pesantren.Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi pasal 23 ayat (1) Perpres Nomor 82 Tahun 2021.
Ayat berikutnya menjelaskan dana abadi pesantren diadakan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan di pesantren. Dana itu disebut sebagai bentuk pertanggungjawaban antargenerasi.Selanjutnya ayat (3) pasal itu menjelaskan pengalokasian dana abadi pesantren. Alokasi dana tersebut merujuk pada hasil perkembangan dana abadi pendidikan."Pemanfaatan dana abadi pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk penyelenggaraan fungsi pendidikan pesantren," bunyi pasal 23 ayat (4) Perpres Nomor 82 Tahun 2021.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan anggaran masih dalam proses perhitungan.Dia memperkirakan angka dari anggaran yang disiapkan tersebut tidak akan jauh dari yang telah direncanakan sebelumnya. "Anggarannya nanti sedang dihitung lagi, tapi saya kira tidak jauh daripada modelnya. Setiap APBN akan disisihkan dana, dana itu dikembangkan, kemudian hasilnya nanti akan diberikan. Kira-kira modelnya begitu, oleh karena itu setiap tahun dia akan terus bertambah," kata Ma'ruf usai meninjau pelaksanaan vaksinasi di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Tangerang (16/9).
Dia pun mengucap syukur adanya anggaran yang diatur dalam undang-undang untuk membantu pesantren. Dalam pandangannya, pesantren memang harus mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan.’’Jadi ada dana pendidikan yang dikelola Kemendikbud dan Kemenkeu, lalu dana abadi pesantren, bahkan dana abadi kebudayaan dan riset. Ini komitmen pemerintah untuk membantu kegiatan pendidikan, riset dan inovasi, pesantren sudah lama diinginkan dan disambut baik oleh dunia pesantren karena memang sudah lama ditunggu."
Sejarah Panjang Kontribusi Pesantren
Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Marsudi Suhud mengatakan, pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia. Bahkan, dibelahan dunia lain, mungkin bisa saja tidak ditemukan sistem pendidikan seperti pesantren ini.
"Peran pesantren dari dahulu sudah luar biasa, seperti pada zaman penjajahan. Mereka sebagai benteng pertahanan umat Islam dan di zaman modern seperti ini pun kita masih meihat animo masyarakat masih sangat besar ke pesantren,"jelasnya.
Bahkan dalam sejarahnya, Marsudi menjelaskan bahwa ulama dan santri selalu menjadi garda terdepan dalam memimpin pergerakan nasional, dalam rangka mengusir segala bentuk penjajahan yang ada di negeri ini. "Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang sudah ada sejak dahulu, telah banyak melahirkan generasi yang tidak hanya menolak segala bentuk penjajahan, melainkan selalu menjadi motor penggerak dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajah,"tegasnya.
Dikatakannya, keadaan pesantren pada masa kolonial saat itu sangat berbeda dengan keberadaan pondok saat ini. Ia pun menceritakan pertumbuhan pondok pesantren pada awalnya tidak mudah, kondisi pesantren hanyalah berupa gedung berbentuk persegi yang dibangun dari bambu. Namun, di beberapa desa yang sudah makmur, pesantren sudah dibangun dari kayu, seperti tiang penyangga dan dinding. Tapi, tetap saja kondisinya sangat terbatas.
"Kebanyakan pondok pesantren zaman itu hanya terdiri atas ruangan yang besar yang didiami bersama. Mereka bersama-sama tidur di atas tikar pandan atau koran, berbeda dengan saat ini,"ujar Marsudi.
Namun, menurutnya pada masa kolonial inilah pesantren berkembang dengan pesat. Pesantren ini ada yang memiliki kekhususan sehingga berbeda dengan pesantren lainnya. Ada yang khusus mengajarkan ilmu hadis dan fikih, ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Kemudian pesantren memasukkan sistem madrasah. Dalam sistem ini jenjang-jenjang pendudukan terbagi menjadi ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliah.
"Sistem madrasah inilah yang mendorong perkembangan pesantren sehingga jumlahnya semakin meningkat pesat. Sehingga, pada1958 sampai dengan 1959 lahirlah Madrasah wajib belajar yang memiliki hak dan kewajiban seperti sekolah negeri pada umumnya,"ujarnya.
Selanjutnya, di 1965 berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta, disepakati perlunya memasukkan pelajaran keterampilan seperti pertanian, pertukangan, dan lain-lain dalam sistem pembelajaran di pondok pesantren. Hingga berganti pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan pembinaan terhadap pesantren melalui Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita).
"Di sini lah terjadinya pasang surut perkembangan pondok pesantren. Pada masa orde baru dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, mulai dari pemerintahan puat hingga daerah," tuturnya.
Barulah pada 1975, muncul gagasan untuk mengembangkan pondok pesantren dengan model baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Center, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Akan tetapi menurutnya, pada saat itu pondok pesantren mengalami kesulitan dalam pembinaan karena tidak adanya kiai yang karismatik yang bisa memberi bimbingan dan teladan pada santrinya.
Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 03 tahun 1975, menetapkan mata pelajaran umum sekurang-kurangnya sebanyak 70% dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti pesantren As-Syafi'iyah dan pesantren at-Tahiriyah.
Jadi sangat terlihat bagaimana peran pesantern tidak hanya menjadi lembaga pendidikan tetapi lembaga keagamaan yang menjadi basis perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Seperti pada masa kolonial dahulu, anak-anak yang disekolahkan di pesantren dipersiapkan menjadi ulama atau menekuni agama. Saat ini lebih pragmatis, banyak orang tua yang mencari lingkungan yang kondusif dan aman untuk perkembangan anaknya.
"Menjadi generasi yang idialis dahulu, namun dengan demikian mereka melihat pesantren merupakan tempat yang paling aman untuk memberikan anak mereka, terutama dari pengaruh lingkungan yang serba permisif saat ini,"ucapnya.
Baca juga: UEA Gelontorkan Rp144 Triliun ke Dana Abadi SWF, Luhut: Bukti Kepercayaan ke RI Tinggi
Ia pun melanjutkan terlebih sejak adanya surat keterangan (SK) Menteri, sehingga anak pesantren bukan lagi meneruskan pendidikannya ke jenjang agama. Mereka juga bisa ke berbagai perguruan tinggi di berbagai fakultas yang umum atau mereka pilih.
"Saat ini kita melihat pesantren-pesantren sudah dimoderenisir bukan hanya pengelolaannya, tapi juga berbagai bidang studi dikembangkan di sana. Sehingga pesantren betul-betul menjadi alternatif bagi masyarakat Indonesia, khususnya untuk memilih lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka," jelasnya.
Senada, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah Abdul Mu'ti mengatakan peran pesantren sangat besar dalam membentuk subkultur dari budaya bangsa Indonesia. "Memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam perkembangan kultur dan peradaban bangsa Indonesia, sebab tidak hanya membangun dalam bidang keagamaan melainkan proses pendidikan, sumber daya manusia dan lainnya," tambahnya.
Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama bertahan dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia, hal ini menandakan adanya kekuatan dan keberpengaruhan pesantren terhadap budaya Indonesia serta menunjukkan tidak ada pertentangan kebudayaan.
"Dan terbukti banyak memberikan kontribusi sumbangan bagi kemajuan budaya bangsa, khususnya upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan hanya sekedar meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada aspek penguasaan sains dan teknologi, melainkan juga lebih concern dalam mencetak sumber daya manusia memiliki ketakwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik akhlaq al karimah," kata Mu'ti.
Hal menarik lainnya menurutnya pesantren sebagai subkultur Indonesia adalah dalam bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya pendidikan, pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan lainnya, sehingga dinamika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik.
"Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dapat merepresentasikan pendidikan yang unik yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama," tuturnya.
(ynt)