Belajar Adil dari Yap Thiam Hien, Pembela Kaum Tertindas
loading...

Yap Thiam Hien adalah advokat ulung yang pernah menggetarkan hati lawan maupun kawan dengan komitmennya yang tak kenal kompromi pada keadilan. Foto/Istimewa
A
A
A
JAKARTA - Yap Thiam Hien adalah advokat ulung yang pernah menggetarkan hati lawan maupun kawan dengan komitmennya yang tak kenal kompromi pada keadilan. Komitmennya terhadap keadilan terekspresikan dalam pembelaannya terhadap hak kaum tertindas.
"Jika Anda hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai advokat Anda, karena pasti kita akan kalah. Tapi jika Anda merasa cukup dan yakin mengemukakan kebenaran Anda, maka saya bersedia menjadi pembela Anda?" Baca juga: Semboyan Negara Indonesia, Asal Usul dan Makna Bhinneka Tunggal Ika
Yap Thiam Hien selalu mengawali konsultasi dengan calon kliennya dengan menyampaikan pertanyaan tersebut. Kalimat yang dilontarkan Yap Thiam Hien itu tak lekang oleh waktu meski dia sudah tiada.
Yap adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Dia lahir lahir di Koeta Radja, Aceh pada 25 Mei 1913. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Yap yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Keluarganya masih keturunan Cabang Atas, yaitu golongan baba bangsawan di Hindia Belanda. Kakek buyutnya, Yap A Sin, menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Kutaraja adalah kelahiran Guangdong di Tiongkok yang hijrah ke Bangka lalu menetap di Aceh.
Ketika monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu merosot. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa Timur.
Yap dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han (Jap Joen Khoy) ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Pada usia 9 tahun, ibu Yap meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya. Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Yap, memberikan kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Yap pada masa dewasa.
Yap Sin Eng, ayah Yap ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk kehidupan anak-anaknya karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat.
Yap menempuh pendidikan di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO. Pada tahun 1920-an, ayahnya membawa Yap dan adiknya Thiam Bong pindah ke Batavia. Yap pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa barat di Bandung dan Yogyakarta (kini SMA Negeri 1 Yogyakarta) dan lulus pada 1933. Ia sangat tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Latin.
Lulus dari AMS, Yap tidak langsung memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah ke Batavia dan masuk ke Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis. HCK adalah sekolah pendidikan guru yang berlangsung satu tahun yang memberikan kesempatan kepada para pemuda peranakan yang ingin menempuh pendidikan profesional tetapi tidak mempunyai biaya untuk masuk ke universitas.
Setamat dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen (sekolah-sekolah yang tidak diakui Pemerintah Belanda) Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta mendaftar di Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Tiga tahun kemudian tepatnya awal 1946, Yap mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester in de Rechten. Sementara belajar di Leiden, Thiam Hien tinggal di Zendingshuis, pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegstgeest.
Selama tinggal di Zendingshuis, Yap banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan berdiskusi dengan para mahasiswa Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris. Yap semakin tertarik akan pelayanan gereja dan Gereja Reformasi Belanda kemudian menawarkan kesempatan kepada Thiam Hien untuk belajar di Selly Oak College di Inggris dengan syarat ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia.
Yap lalu menyetujuinya dan sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di Jakarta pada akhir 1940-an. Selama di Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis demokrat melalui pergaulannya dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) di Italia.
Sekembalinya ke Tanah Air pada 1948, Yap menikahi perempuan asal Semarang, Tan Gien Khing Nio. Pernikahan mereka diresmikan di tengah handai taulan, cukup sederhana, di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta. Seratusan tamu disuguhi teh dan kue saja.
Ia pun kemudian mulai berkiprah sebagai seorang pengacara warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Belakangan ia bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka dengan rekan-rekannya yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas daripada sekadar masalah Tionghoa.
"Jika Anda hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai advokat Anda, karena pasti kita akan kalah. Tapi jika Anda merasa cukup dan yakin mengemukakan kebenaran Anda, maka saya bersedia menjadi pembela Anda?" Baca juga: Semboyan Negara Indonesia, Asal Usul dan Makna Bhinneka Tunggal Ika
Yap Thiam Hien selalu mengawali konsultasi dengan calon kliennya dengan menyampaikan pertanyaan tersebut. Kalimat yang dilontarkan Yap Thiam Hien itu tak lekang oleh waktu meski dia sudah tiada.
Yap adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Dia lahir lahir di Koeta Radja, Aceh pada 25 Mei 1913. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Yap yang biasa dipanggil "John" oleh teman-teman akrabnya adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Keluarganya masih keturunan Cabang Atas, yaitu golongan baba bangsawan di Hindia Belanda. Kakek buyutnya, Yap A Sin, menjabat sebagai Luitenant der Chinezen di Kutaraja adalah kelahiran Guangdong di Tiongkok yang hijrah ke Bangka lalu menetap di Aceh.
Ketika monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kehidupan keluarga Yap dan banyak tokoh masyarakat Tionghoa saat itu merosot. Ditambah lagi oleh kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa yang ternyata tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Pada tahun 1920 kedudukan keluarga Yap digantikan oleh keluarga Han, yang datang dari Jawa Timur.
Yap dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han (Jap Joen Khoy) ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Pada usia 9 tahun, ibu Yap meninggal dunia. Ia dan kedua orang adiknya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, seorang perempuan Jepang yang merupakan gundik kakeknya. Sato ternyata memainkan peranan besar dalam kehidupan Yap, memberikan kemesraan keluarga yang biasanya tidak ditemukan dalam keluarga Tionghoa serta rasa etis yang kuat yang kelak menjiwai kehidupan Yap pada masa dewasa.
Yap Sin Eng, ayah Yap ternyata adalah figur yang lemah. Namun Sin Eng ikut membentuk kehidupan anak-anaknya karena ia memutuskan untuk memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini memungkinkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat.
Yap menempuh pendidikan di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO. Pada tahun 1920-an, ayahnya membawa Yap dan adiknya Thiam Bong pindah ke Batavia. Yap pun pindah sekolah ke MULO di Batavia, lalu meneruskan ke AMS A-II dengan program bahasa-bahasa barat di Bandung dan Yogyakarta (kini SMA Negeri 1 Yogyakarta) dan lulus pada 1933. Ia sangat tertarik akan sejarah dan fasih dalam bahasa-bahasa Barat, yaitu bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Latin.
Lulus dari AMS, Yap tidak langsung memperoleh pekerjaan. Karena itu ia pindah ke Batavia dan masuk ke Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis. HCK adalah sekolah pendidikan guru yang berlangsung satu tahun yang memberikan kesempatan kepada para pemuda peranakan yang ingin menempuh pendidikan profesional tetapi tidak mempunyai biaya untuk masuk ke universitas.
Setamat dari HCK, Yap menjadi guru selama empat tahun di wilde scholen (sekolah-sekolah yang tidak diakui Pemerintah Belanda) Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943 serta mendaftar di Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Tiga tahun kemudian tepatnya awal 1946, Yap mendapatkan kesempatan untuk bekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda yang mengantarkannya ke Belanda untuk menyelesaikan studi hukumnya di Universitas Leiden. Dari sana ia meraih gelar Meester in de Rechten. Sementara belajar di Leiden, Thiam Hien tinggal di Zendingshuis, pusat Gereja Reformasi Belanda di Oegstgeest.
Selama tinggal di Zendingshuis, Yap banyak membaca buku-buku teologi Protestan dan berdiskusi dengan para mahasiswa Belanda yang mempersiapkan diri untuk menjadi misionaris. Yap semakin tertarik akan pelayanan gereja dan Gereja Reformasi Belanda kemudian menawarkan kesempatan kepada Thiam Hien untuk belajar di Selly Oak College di Inggris dengan syarat ia kelak mengabdikan hidupnya bagi pelayanan gereja di Indonesia.
Yap lalu menyetujuinya dan sekembalinya dari Eropa ia menjadi pemimpin organisasi pemuda Kristen Tjeng Lian Hwee di Jakarta pada akhir 1940-an. Selama di Belanda, Yap berkembang menjadi seorang sosialis demokrat melalui pergaulannya dengan banyak mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) di Italia.
Sekembalinya ke Tanah Air pada 1948, Yap menikahi perempuan asal Semarang, Tan Gien Khing Nio. Pernikahan mereka diresmikan di tengah handai taulan, cukup sederhana, di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta. Seratusan tamu disuguhi teh dan kue saja.
Ia pun kemudian mulai berkiprah sebagai seorang pengacara warga untuk warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Belakangan ia bergabung dengan sebuah biro hukum kecil namun cukup terkemuka dengan rekan-rekannya yang semuanya terlibat dalam masalah yang jauh lebih luas daripada sekadar masalah Tionghoa.
Lihat Juga :