Pasca-Taliban Berkuasa, Indonesia Dinilai Perlu Perhatikan Situasi di Kawasan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) menggelar diskusi publik aktual bertajuk ' Taliban , Gerakan Islam dan Masa Depan Geopolitik Global'. Diskusi yang digelar secara virtual ini diikuti hampir 600 peserta.
Baca Juga: Taliban
Baca juga: Serangan 9/11, Amerika dan Taliban
"Ada empat poin menarik yang terkait Taliban ini. Pertama soal alasan penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Tentu saja kita bisa mengatakan, memang Amerika relatif kapok di sana. Perlawanan tiada henti, resistensi terus menerus dan kerugian yang luar biasa besarnya, yang diterima Amerika," ujar Anis Matta, Jumat (10/9/2021).
Mantan politikus PKS itu menjelaskan, alasan utama ditariknya pasukan AS dari Afghanistan ini adalah koreksi terhadap keseluruhan strategi geopolitik. Selain itu, penarikan pasukan dari Afghanistan adalah suatu langkah peralihan fokus geopolitik dari Timur Tengah ke China.
Terlebih 2015 lalu, AS secara resmi menyatakan China sebagai musuh utama, dan karena itu war of teror (perang terhadap terorisme) saat ini tidak ada lagi relasinya.
Dengan mengetahui dua alasan utama yang membuat AS menarik pasukannya dari Afghanistan, perlu bagi Indonesia untuk mengetahui implikasinya.
"Kalau Amerika sekarang akan fokus ke China, sedangkan kita bisa mengerti, perang supremasi ini akan menjadi pemicu utama di balik semua peristiwa geopolitik penting, yang akan terjadi di masa yang akan datang. Saya kira, yang perlu kita antisipasi nanti di kawasan kita," terangnya.
Poin itu kata Anis penting sekali, karena Wakil Presiden AS, Kemala Harris pada 22 Agustus 2021, melakukan kunjungan ke Singapura untuk mengkonfirmasi kembali seluruh sekutu-sekutunya di kawasan Asia. Walaupun sebetulnya sekutu-sekutu di kawasan sebelumnya sudah ada.
"Itu cara Amerika membuat pengelompokan. Jadi peralihan pada fokus ke China ini, pasti akan mempunyai dampak kepada kita di Indonesia," ujarnya.
Sementara Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah mengatakan, bicara tentang kekuasaan pasti ada perlawanan. Rumusnya memang seperti itu, ketika bicara kuasa, maka ada kontranya, yaitu kontra kuasa.
"Benar enggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika. Ini yang kemudian. Kita, tidak perlu terjebak pada itu semua. Apalagi kalau kita bicara seperti suku Maya yang dia bilang be on of history," jelasnya.
"Mau demokrasi liberal hari ini. Maupun kapitalismenya bagian akhir dari sejarah. Komunis sosialis. Kemudian islam dengan isme lainnya. Islamisme merupakan sebuah tesis anti tesis yang sudah berakhir. Yang sekarang disebut demokrasi adalah demokrasi liberal yang Amerika sebagai komandannya," tambahnya.
Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan, Anis Matta memulai suatu uraian yang bersifat membaca paradigma.
"Di dalam pertandingan, sebut saja pertandingan ideologi dunia. Setelah Amerika berupaya untuk mengadaptasikan doktrin war on teror, lalu bertemu dengan global pandemi. Kita berupaya untuk membaca apa yang terjadi di dalam ruang-ruang sidang strategis di Amerika," ujarnya.
"Sehingga, isu itu kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis prospek perdamaian dunia. Prospek demokrasi dunia. Prospek ekonomi dunia. Itu soal-soalnya yang secara bagus diuraikan oleh Anis Matta," ungkapnya.
Ramdansyah kata Rocky kembali, telah memberi kita perspektif yang juga amat tajam. Yaitu antropolitikal note.
"Yang biasanya kalau orang belajar antropologi, dia akan ambil posisi yang culture mater. Karena itu, tidak salah kalau seorang antropolog going notif, dalam membaca fenomena di Afghanistan," tutupnya.
Baca Juga: Taliban
Baca juga: Serangan 9/11, Amerika dan Taliban
"Ada empat poin menarik yang terkait Taliban ini. Pertama soal alasan penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Tentu saja kita bisa mengatakan, memang Amerika relatif kapok di sana. Perlawanan tiada henti, resistensi terus menerus dan kerugian yang luar biasa besarnya, yang diterima Amerika," ujar Anis Matta, Jumat (10/9/2021).
Mantan politikus PKS itu menjelaskan, alasan utama ditariknya pasukan AS dari Afghanistan ini adalah koreksi terhadap keseluruhan strategi geopolitik. Selain itu, penarikan pasukan dari Afghanistan adalah suatu langkah peralihan fokus geopolitik dari Timur Tengah ke China.
Terlebih 2015 lalu, AS secara resmi menyatakan China sebagai musuh utama, dan karena itu war of teror (perang terhadap terorisme) saat ini tidak ada lagi relasinya.
Dengan mengetahui dua alasan utama yang membuat AS menarik pasukannya dari Afghanistan, perlu bagi Indonesia untuk mengetahui implikasinya.
"Kalau Amerika sekarang akan fokus ke China, sedangkan kita bisa mengerti, perang supremasi ini akan menjadi pemicu utama di balik semua peristiwa geopolitik penting, yang akan terjadi di masa yang akan datang. Saya kira, yang perlu kita antisipasi nanti di kawasan kita," terangnya.
Poin itu kata Anis penting sekali, karena Wakil Presiden AS, Kemala Harris pada 22 Agustus 2021, melakukan kunjungan ke Singapura untuk mengkonfirmasi kembali seluruh sekutu-sekutunya di kawasan Asia. Walaupun sebetulnya sekutu-sekutu di kawasan sebelumnya sudah ada.
"Itu cara Amerika membuat pengelompokan. Jadi peralihan pada fokus ke China ini, pasti akan mempunyai dampak kepada kita di Indonesia," ujarnya.
Sementara Pengamat Politik dan Kajian Timur Tengah Ramdansyah mengatakan, bicara tentang kekuasaan pasti ada perlawanan. Rumusnya memang seperti itu, ketika bicara kuasa, maka ada kontranya, yaitu kontra kuasa.
"Benar enggak sih, Taliban ini sebuah negara teroris seperti yang disangka oleh Amerika. Ini yang kemudian. Kita, tidak perlu terjebak pada itu semua. Apalagi kalau kita bicara seperti suku Maya yang dia bilang be on of history," jelasnya.
"Mau demokrasi liberal hari ini. Maupun kapitalismenya bagian akhir dari sejarah. Komunis sosialis. Kemudian islam dengan isme lainnya. Islamisme merupakan sebuah tesis anti tesis yang sudah berakhir. Yang sekarang disebut demokrasi adalah demokrasi liberal yang Amerika sebagai komandannya," tambahnya.
Pengamat Politik Rocky Gerung mengatakan, Anis Matta memulai suatu uraian yang bersifat membaca paradigma.
"Di dalam pertandingan, sebut saja pertandingan ideologi dunia. Setelah Amerika berupaya untuk mengadaptasikan doktrin war on teror, lalu bertemu dengan global pandemi. Kita berupaya untuk membaca apa yang terjadi di dalam ruang-ruang sidang strategis di Amerika," ujarnya.
"Sehingga, isu itu kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis prospek perdamaian dunia. Prospek demokrasi dunia. Prospek ekonomi dunia. Itu soal-soalnya yang secara bagus diuraikan oleh Anis Matta," ungkapnya.
Ramdansyah kata Rocky kembali, telah memberi kita perspektif yang juga amat tajam. Yaitu antropolitikal note.
"Yang biasanya kalau orang belajar antropologi, dia akan ambil posisi yang culture mater. Karena itu, tidak salah kalau seorang antropolog going notif, dalam membaca fenomena di Afghanistan," tutupnya.
(maf)