Regulasi Longgar, Anak Muda Masih Jadi Sasaran Industri Rokok

Minggu, 31 Mei 2020 - 07:39 WIB
loading...
Regulasi Longgar, Anak...
Anak-anak muda di Indonesia dibanjiri oleh iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Ketika mereka menonton TV, iklan rokok muncul menghiasi layar mulai pukul 21.30. Ilustrasi/Shutterstock
A A A
JAKARTA - Ada julukan yang tidak sedap bagi Indonesia. Negeri ini disebut “tobacco industry’s playground” atau taman bermain industri tembakau .

Sebutan tersebut sepertinya memperkuat fakta Indonesia adalah negeri yang ramah pada industri tembakau. Sebab, negeri ini terkenal dengan banyaknya perokok dan bebasnya pemasaran produk tembakau.

Data Riskesdas 2013, Kementerian Kesehatan (2019) menyatakan, prevalensi perokok laki-laki di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia dan diprediksi lebih dari 97 juta penduduk Indonesia terpapar asap rokok.

Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di seluruh dunia. Data sangat memprihatinkan terlihat pada perokok anak.

Data Riskesdas menunjukkan dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah perokok pemula hingga 240% (dari 9,6% di 2007 menjadi 23,1% di 2018) di kalangan anak 10-14 tahun. Pada kelompok 15-19 tahun terjadi kenaikan 140%. Merujuk data GYTS (2014), Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pada 2019 menyatakan, 2 dari 5 anak 10-15 tahun di Indonesia merokok 13 batang/hari atau 4.745 batang setahun.

"Berbeda dengan banyak negara yang memiliki regulasi ketat dalam hal pemasaran produk tembakau, regulasi Indonesia mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat longgar," kata Nina Mutmainnah, pengurus Komnas PT dalam pemaparannya.

Sulit untuk ditampik, berbagai strategi iklan, promosi, dan sponsor untuk memasarkan rokok ini terutama ditujukan kepada kaum muda belia. "Yang dijadikan sasaran karena mereka adalah perokok pengganti, dijadikan konsumen setia untuk membuat bisnis industri rokok terus dapat berjalan," tutur Ninna yang Dosen Komunikasi Universitas Indonesia ini.

Anak-anak muda di Indonesia dibanjiri oleh iklan dan promosi rokok dari berbagai media. Ketika mereka menonton TV, iklan rokok muncul menghiasi layar mulai pukul 21.30.

Ketika mereka menonton bioskop, iklan rokok tampil sebelum film, termasuk pada film-film klasifikasi 13 atau 17 tahun ke atas. Padahal iklan rokok sendiri telah ditetapkan LSF masuk dalam klasifikasi 21 tahun ke atas.

( )

Di sekitar sekolah, kaum muda juga dikepung iklan dan promosi rokok. Itu terlihat dari monitoring Yayasan Lentera Anak, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), dan Smoke Free Agents (2015) yang menemukan 85% sekolah di lima kota di Indonesia dikelilingi iklan rokok dari 30 merek.

"Anak dan remaja kita masih bertemu iklan rokok saat mereka ke minimarket. Banyak minimarket menjajakan rokok berdampingan dengan layar yang menampilkan promosi rokok secara audiovisual, terus-menerus selama toko buka, selain berbagai peraga promosi lainnya," tuturnya.

Iklan rokok juga masih banyak ditemui dengan berbagai rupa di ruang publik, seperti berbentuk billboard, spanduk, baliho atau videotron di pinggir-pinggir jalan. Ini terutama muncul di wilayah yang belum melarang iklan rokok di media luar ruang.

Berikutnya, dia mengatakan, iklan dan promosi rokok juga muncul pada media internet. Media baru yang dekat dengan kalangan muda ini menjadi wadah bagi industri rokok untuk melakukan berbagai cara inovatif untuk mendekatkan kaum muda dengan produk tembakau.

Dipaparkannya, studi Stikom LSPR (2018) menunjukkan tiga dari empat remaja mengetahui iklan rokok di media online. Studi yang sama menyatakan iklan rokok banyak ditemui remaja antara lain di YouTube, berbagai situs, instagram, dan game online.

Studi Mutmainnah, Hendriyani, dan Utaminingtyas (2019) pada lima situs web perusahaan rokok terbesar di Indonesia beserta media sosialnya menunjukkan bahwa situs dan media sosial benar-benar merupakan media yang menargetkan anak muda dengan berfokus pada kegiatan, produk, gaya hidup, dan profil anak muda kelas menengah ke atas dengan penggunaan bahasa khas anak muda.

Dengan kondisi pemasaran rokok yang demikian, menurut dia, tidak heran jika Indonesia menjadi yang terburuk di lingkup Asia Tenggara dalam hal regulasi iklan rokok, yakni menjadi satu-satunya negara yang tidak memiliki regulasi yang melarang iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau secara menyeluruh (SEATCA, 2019).

“Reputasi” ini tambah mencoreng muka karena Indonesia juga adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). FCTC adalah perjanjian internasional tentang kesehatan masyarakat yang dibahas dan disepakati oleh negara-negara anggota WHO, yang salah satu ketentuannya adalah pelarangan total iklan, promosi, dan sponsorship rokok.

Tak ada yang patut dibanggakan saat Indonesia disebut sebagai “taman bermain industri tembakau”, karena itu artinya negeri ini menjadikan anak mudanya sebagai korban industri rokok.

Menurut dia, ini harus menjadi catatan penting di Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap 31 Mei.

"Ini harus jadi catatan penting saat hari ini kita memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
(dam)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2107 seconds (0.1#10.140)