Korupsi Kepala Daerah, Sri Mulyani Gerah

Senin, 06 September 2021 - 08:13 WIB
loading...
Korupsi Kepala Daerah, Sri Mulyani Gerah
Suasana konferensi pers saat KPK mengumumkan sejumlah ASN yang diduga terlibat kasus korupsi Bupati Probolinggo. FOTO/SUTIKNO
A A A
Kasus korupsi kepala daerah seolah tak ada habis-habisnya. Entah sudah berapa episode cerita maling duit rakyat ini akan terus berulang. Modusnya tidak jauh-jauh dari patgulipat perizinan, jual beli jabatan hingga penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) .

Meski kerap mendapat kecaman dan cercaan, bahkan hukuman penjara, para pelaku korupsi di daerah rupanya tidak pernah kapok. Sepanjang tahun 2021 ini saja, setidaknya delapan kepala daerah yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yang teranyar, pekan lalu KPK menangkap dua orang kepala daerah yakni Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari beserta suaminya yang juga anggota DPR Hasan Aminuddin. Kedua sejoli ini diduga menggerogoti uang rakyat dengan ‘bermain-main’ di sektor pengadaan barang dan jasa, serta suap jual beli jabatan. Selang beberapa hari kemudian Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono juga ditangkap karena diduga korupsi pengadaan barang dan jasa tahun 2017-2018.

Jauh sebelumnya, ada puluhan pimpinan daerah termasuk legislatif yang harus berurusan dengan KPK. Fakta ini mengindikasikan bahwa berapa pun kali Presiden Joko Widodo gembar-gembor memberantas korupsi sepertinya hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Perihal dugaan korupsi di daerah ini juga membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani geram. Maklum, bendahara negara yang sudah bertugas sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tahu betul bagaimana rumitnya mengalokasikan dana pembangunan untuk daerah yang dituangkan dalam bentuk APBD.

Maka, tak heran jika dalam sebuah postingan di media sosial instagramnya, Sri Mulyani secara terperinci menjelaskan poin-poin anggaran daerah khususnya Kabupaten Probolinggo. Dalam keterangan postingannya, Sri Mulyani mengatakan bahwa korupsi adalah musuh utama dan musuh bersama dalam mencapai tujuan mencapai kemakmuran yang berkeadilan.

Tak lupa, secara spesifik mantan managing director Bank Dunia itu juga menjelaskan perihal kondisi dan alokasi keuangan untuk Probolinggo. Menurut penjelasannya, jumlah transfer keuangan APBD ke Kabupaten Probolinggo sejak 2012 terus meningkat sampai tahun ini yakni mencapai Rp15,2 triliun. Jika pada 2012 uang APBN yang ditransfer sebesar Rp959 miliar, tahun ini sudah mencapai Rp1,85 triliun!!!.

Selain itu, untuk memperbaiki kualitas pembangunan di Probolinggo, pemerintah pusat juga telah menyalurkan Dana Desa sejak tahun 2015 hingga 2021 total sebesar Rp2,15 triliun untuk 325 desa. Rinciannya masing-masing desa rata-rata mendapatkan Rp291 juta pada tahun 2015 dan naik 3,5 kali menjadi Rp1,32 miliar pada 2021.

Yang membuat miris, masih dalam postingannya, Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa di Probolinggo saat ini terdapat anak-anak di bawah 2 tahun yang mengalami kurang gizi (stunting). Jumlahnya pun tidak sedikit, naik dari 21,99% pada 2015 menjadi 34,04% pada 2019. Bahkan, masih kata Sri Mulyani, terdapat 3,5% anak berstatus kurang gizi.

Di luar itu, Sri Mulyani juga membelejeti soal angka pengangguran di Probolinggo di mana jumlah pengangguran terbuka di daerah itu mengalami kenaikan dari 2,89% pada 2015 menjadi 4,86% pada tahun ini.

Tak cukup di situ, menteri keuangan terbaik versi Majalah Global Market itu juga ‘membongkar’ angka kemiskinan di Probolinggo yang pada 2020 sebesar 18,61%. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa hampir satu dari lima penduduknya masih miskin. Persentase itu juga lebih besar jika dibandingkan dengan angka kemiskinan nasional per Maret 2021 yang hanya 10,14%.

Dengan sederet data dan fakta yang dibeberkan bendahara negara itu, semestinya kita bisa menilai bahwa apa yang terjadi di Probolinggo sungguh jauh dari kata membanggakan. Bagaimana tidak, ratusan miliar bahkan triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah pusat untuk membangun daerah agar menjadi lebih baik dan berkembang ternyata belum dirasakan betul manfaatnya.

Maka, tidak ada kata imbalan yang pantas bagi pelaku korupsi selain dihukum seberat-beratnya untuk membuat jera pelaku. Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi daerah lain bahwa tujuan utama menjadi pemimpin daerah hendaknya benar-benar untuk memperbaiki kualitas hidup rakyatnya, bukan untuk mengambil hak rakyat.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1158 seconds (0.1#10.140)