Ramai Pertanyaan Soal Vaksin Moderna, Ini Jawaban MUI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) , KH Asrorun Niam Sholeh mengatakan MUI membolehkan penggunaan vaksin Moderna karena darurat lil haajah. Hal ini menyusul tingginya angka kematian akibat COVID-19.
Dijelaskan dia, sebelum memutuskan fatwa vaksin, Komisi Fatwa MUI Pusat menghadirkan beberapa ahli dari berbagai bidang sekaligus yang berasal dari Kementerian Kesehatan, ahli epidemiolog, sampai petinggi PT Biofarma.
"Selain melihat data COVID-19 Indonesia, MUI juga meminta keterangan dari Kemenkes baik tertulis maupun non tertulis terkait lima poin," ujarnya di Jakarta dikutip dari laman mui.or.id, Minggu (5/9/2021).
Yang pertama, sejauh mana level mendesak penggunaan vaksin untuk penanganan wabah. Kedua, sejauh mana risiko dan bahaya yang ditimbulkan jika tidak segera dilakukan vaksinasi bagi masyarakat.
"Ternyata, risiko bahayanya jika tidak dilakukan vaksinasi segera maka akan terjadi penularan dan juga penghentiannya menjadi lambat. Itu penjelasan dari pihak epidemologi," lanjutnya.
Ditambahkan dia, pihaknya juga menanyakan sejauh mana dan seberapa besar ketersediaan vaksin yang halal dan suci. Pihaknya juga menanyakan kepada Biofarma kebenaran vaksin Sinovac yang halal dan suci tidak mencukupi.
Kemudian, MUI juga menanyakan sejauh mana jaminan keamanan yang diberikan pemerintah terhadap vaksin. "Ternyata, Biofarma sebagai pihak yang langsung bekerja sama dengan Sinovac Life Science untuk memproduksi vaksin Sinovac, memastikan kapasitas produksi vaksin Sinovac hanya mampu maksimal 200 juta," jelasnya.
Sementara, lanjutnya, kebutuhan vaksin secara keseluruhan di Indonesia mencapai 490 juta. Artinya, vaksin yang halal tidak akan cukup untuk mencapai herd immunity.
"Jadi penentu kondisi kedaruratan itu bukan MUI, namun para ahli di berbagai bidang termasuk Biofarma. Atas dasar itulah fatwa memutuskan kebolehan vaksin Moderna, karena keadaan darurat," pungkasnya.
Dijelaskan dia, sebelum memutuskan fatwa vaksin, Komisi Fatwa MUI Pusat menghadirkan beberapa ahli dari berbagai bidang sekaligus yang berasal dari Kementerian Kesehatan, ahli epidemiolog, sampai petinggi PT Biofarma.
"Selain melihat data COVID-19 Indonesia, MUI juga meminta keterangan dari Kemenkes baik tertulis maupun non tertulis terkait lima poin," ujarnya di Jakarta dikutip dari laman mui.or.id, Minggu (5/9/2021).
Yang pertama, sejauh mana level mendesak penggunaan vaksin untuk penanganan wabah. Kedua, sejauh mana risiko dan bahaya yang ditimbulkan jika tidak segera dilakukan vaksinasi bagi masyarakat.
"Ternyata, risiko bahayanya jika tidak dilakukan vaksinasi segera maka akan terjadi penularan dan juga penghentiannya menjadi lambat. Itu penjelasan dari pihak epidemologi," lanjutnya.
Ditambahkan dia, pihaknya juga menanyakan sejauh mana dan seberapa besar ketersediaan vaksin yang halal dan suci. Pihaknya juga menanyakan kepada Biofarma kebenaran vaksin Sinovac yang halal dan suci tidak mencukupi.
Kemudian, MUI juga menanyakan sejauh mana jaminan keamanan yang diberikan pemerintah terhadap vaksin. "Ternyata, Biofarma sebagai pihak yang langsung bekerja sama dengan Sinovac Life Science untuk memproduksi vaksin Sinovac, memastikan kapasitas produksi vaksin Sinovac hanya mampu maksimal 200 juta," jelasnya.
Sementara, lanjutnya, kebutuhan vaksin secara keseluruhan di Indonesia mencapai 490 juta. Artinya, vaksin yang halal tidak akan cukup untuk mencapai herd immunity.
"Jadi penentu kondisi kedaruratan itu bukan MUI, namun para ahli di berbagai bidang termasuk Biofarma. Atas dasar itulah fatwa memutuskan kebolehan vaksin Moderna, karena keadaan darurat," pungkasnya.
(kri)