KLHK Berikan Penghargaan kepada 454 Insinyur Profesional Teknik Kehutanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan anugerah piagam penghargaan kepada 454 Insinyur Profesional PII-Teknik Kehutanan sebagai pelopor profesi insinyur teregistrasi teknik kehutanan di Jakarta, Sabtu (28/8/2021) lalu. Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono mewakili Menteri LHK memberikan anugerah tersebut secara hybrid (faktual dan virtual) terbatas.
Dalam sambutannya, Bambang menyampaikan berbagai hal terkait dengan tantangan, perubahan kebijakan, dan tindakan-tindakan perbaikan sektor kehutanan khususnya dalam tujuh tahun terakhir. Sejak penggabungan menjadi KLHK, konsep pengelolaan hutan menggunakan paradigma baru tata kelola hutan. Baca juga: KLHK Dorong Kemudahan Investasi Melalui Peningkatan SDM
Paradigma baru tata kelola hutan yaitu dengan prinsip-prinsip ekosistem yang didasarkan pada sistem ekologi dan sistem sosial dalam suatu bentang alam yang ada, termasuk pertimbangan chorologis dan topologisnya, dengan faktor-faktor pembentuk bentang alam yang ada, seperti vegetasi, flora, fauna, iklim, batuan atau parent material dan bahkan faktor manusia serta faktor rentang waktu dalam ciri-ciri kondisi sosial ekonomi seperti perilaku land use, serta berbagai faktor sosial kemanusiaan, khususnya dalam hal kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan.
“Dalam pendekatan ini maka paradigma tata kelola hutan bergeser dari paradigma “timber management” menjadi paradigma “forest landscaspe management“. Perubahan-perubahan dimaksud, merupakan perubahan peradaban kehutanan yang bukan hanya bersifat nomenklatur, atau sekadar menyentuh kulit luar dan permukaan yang sangat prematur. Lebih dari itu, telah pula merubah secara nyata sistem dan nilai-nilai yang menjadi kultur,” ujar Bambang dalam keterangannya, Jumat (3/9/2021).
Bambang menjelaskan deforestasi dan degradasi hutan menjadi perhatian banyak negara. Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 menurun, dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha.
Kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha dari interpretasi citra satelit serta 1,6 juta hektar pada tahun 2019, memberikan pelajaran sangat berharga dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk mengatasinya. Pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan dilaksanakan langkah pencegahan menuju permanen dan dilaksanakan ekstra hati-hati melalui upaya-upaya: monitoring hotspot dan patroli, sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat, teknik modifikasi cuaca, tata kelola gambut, dan penegakkan hukum.
Selanjutnya, dalam Nawa Cita diidentifikasi adanya permasalahan tenurial, konflik dan hal-hal yang berasosiasi dengan itu. Begitu pula kesenjangan dalam land holding pengelolaan lahan. Melalui Nawa Cita melakukan langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada rakyat lebih mengemuka, diaktualisasikan.
Areal hutan ditata dengan pemanfaatan hutan sosial seluas 12,7 juta hektar serta pencadangan kawasan untuk tanah reforma agraria (TORA) 4,1 juta ha dan perizinan korporat dikendalikan maka dapat diproyeksikan bahwa akan terjadi perubahan proporsi perzinan, bergeser dari 96% bagi korporat dan 4% bagi rakyat, menjadi sekitar 2-31% untuk rakyat dan sekitar 71-26% untuk korporat.
Pada tahun 2020 tercatat capaian areal perijinan bagi masyarakat sebesar 13,1% naik dari angka 4%. Program Perhutanan Sosial menjadikan penanda baru era Presiden Jokowi untuk membangun kesejahteraan masyarakat, Proram Perhutanan Sosial era Presiden Jokowi ini sangat penting bagi kemajuan untuk kesejahteraan rakyat.
Bambang juga menyampaikan bahwa aspek pembangunan bidang kehutanan, telah mengalami penyesuaian selama tujuh tahun terakhir ini, melalui langkah korektif antara lain: (1) Penurunan signifikan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan; (2) Pencegahan permanen kejadian kebakaran hutan dan lahan; dan mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat; (3) Aktualisasi prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan, dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; (4) Internalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan kedalam penyusunan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030; (5) Pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati dengan konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati; (6) Menyelaraskan arah kebijakan KLHK ke depan sesuai dengan mempertimbangkan konvensi internasional, SDGs, Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, Pengendalian Degradasi Lahan dll; (7) Mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai NDC baik dengan usaha sendiri maupun dengan dukungan kerjasama internasional dalam teknologi dan finansial termasuk kerjasama dunia usaha; (8) Membangun ketahanan iklim dengan restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan pengendalian deforestasi serta program kampung iklim; dan (9) Mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat.
Bambang menegaskan target penting kontribusi rimbawan dan pengorbanan kehutanan adalah untuk dan dalam hal menopang terwujudnya Indonesia maju tahun 2045.
“Sekali lagi, dengan luas kawasan hutan lebih dari 60% wilayah Indonesia, rasanya mustahil untuk target pembangunan nasional dapat terwujud tanpa dukungan kehutanan dan dedikasi kita semua sebagai Insinyur profesi kehutanan. Peran aktif kalangan akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, maupun pemerintah juga bersama masyarakat diperlukan dalam upaya mencapai cita-cita bangsa dan negara kita tercinta,” pungkas Bambang.
Dalam sambutannya, Bambang menyampaikan berbagai hal terkait dengan tantangan, perubahan kebijakan, dan tindakan-tindakan perbaikan sektor kehutanan khususnya dalam tujuh tahun terakhir. Sejak penggabungan menjadi KLHK, konsep pengelolaan hutan menggunakan paradigma baru tata kelola hutan. Baca juga: KLHK Dorong Kemudahan Investasi Melalui Peningkatan SDM
Paradigma baru tata kelola hutan yaitu dengan prinsip-prinsip ekosistem yang didasarkan pada sistem ekologi dan sistem sosial dalam suatu bentang alam yang ada, termasuk pertimbangan chorologis dan topologisnya, dengan faktor-faktor pembentuk bentang alam yang ada, seperti vegetasi, flora, fauna, iklim, batuan atau parent material dan bahkan faktor manusia serta faktor rentang waktu dalam ciri-ciri kondisi sosial ekonomi seperti perilaku land use, serta berbagai faktor sosial kemanusiaan, khususnya dalam hal kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan.
“Dalam pendekatan ini maka paradigma tata kelola hutan bergeser dari paradigma “timber management” menjadi paradigma “forest landscaspe management“. Perubahan-perubahan dimaksud, merupakan perubahan peradaban kehutanan yang bukan hanya bersifat nomenklatur, atau sekadar menyentuh kulit luar dan permukaan yang sangat prematur. Lebih dari itu, telah pula merubah secara nyata sistem dan nilai-nilai yang menjadi kultur,” ujar Bambang dalam keterangannya, Jumat (3/9/2021).
Bambang menjelaskan deforestasi dan degradasi hutan menjadi perhatian banyak negara. Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000, sebesar 3,5 juta ha per tahun, periode 2002 sampai 2014 menurun, dan mencapai titik terendah laju deforestasi pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha.
Kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha dari interpretasi citra satelit serta 1,6 juta hektar pada tahun 2019, memberikan pelajaran sangat berharga dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk mengatasinya. Pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan dilaksanakan langkah pencegahan menuju permanen dan dilaksanakan ekstra hati-hati melalui upaya-upaya: monitoring hotspot dan patroli, sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat, teknik modifikasi cuaca, tata kelola gambut, dan penegakkan hukum.
Selanjutnya, dalam Nawa Cita diidentifikasi adanya permasalahan tenurial, konflik dan hal-hal yang berasosiasi dengan itu. Begitu pula kesenjangan dalam land holding pengelolaan lahan. Melalui Nawa Cita melakukan langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada rakyat lebih mengemuka, diaktualisasikan.
Areal hutan ditata dengan pemanfaatan hutan sosial seluas 12,7 juta hektar serta pencadangan kawasan untuk tanah reforma agraria (TORA) 4,1 juta ha dan perizinan korporat dikendalikan maka dapat diproyeksikan bahwa akan terjadi perubahan proporsi perzinan, bergeser dari 96% bagi korporat dan 4% bagi rakyat, menjadi sekitar 2-31% untuk rakyat dan sekitar 71-26% untuk korporat.
Pada tahun 2020 tercatat capaian areal perijinan bagi masyarakat sebesar 13,1% naik dari angka 4%. Program Perhutanan Sosial menjadikan penanda baru era Presiden Jokowi untuk membangun kesejahteraan masyarakat, Proram Perhutanan Sosial era Presiden Jokowi ini sangat penting bagi kemajuan untuk kesejahteraan rakyat.
Bambang juga menyampaikan bahwa aspek pembangunan bidang kehutanan, telah mengalami penyesuaian selama tujuh tahun terakhir ini, melalui langkah korektif antara lain: (1) Penurunan signifikan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan; (2) Pencegahan permanen kejadian kebakaran hutan dan lahan; dan mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat; (3) Aktualisasi prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan, dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; (4) Internalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan kedalam penyusunan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030; (5) Pencegahan kehilangan keanekaragaman hayati dengan konservasi kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati; (6) Menyelaraskan arah kebijakan KLHK ke depan sesuai dengan mempertimbangkan konvensi internasional, SDGs, Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, Pengendalian Degradasi Lahan dll; (7) Mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai NDC baik dengan usaha sendiri maupun dengan dukungan kerjasama internasional dalam teknologi dan finansial termasuk kerjasama dunia usaha; (8) Membangun ketahanan iklim dengan restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan pengendalian deforestasi serta program kampung iklim; dan (9) Mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat.
Bambang menegaskan target penting kontribusi rimbawan dan pengorbanan kehutanan adalah untuk dan dalam hal menopang terwujudnya Indonesia maju tahun 2045.
“Sekali lagi, dengan luas kawasan hutan lebih dari 60% wilayah Indonesia, rasanya mustahil untuk target pembangunan nasional dapat terwujud tanpa dukungan kehutanan dan dedikasi kita semua sebagai Insinyur profesi kehutanan. Peran aktif kalangan akademisi, organisasi profesi, dunia usaha, maupun pemerintah juga bersama masyarakat diperlukan dalam upaya mencapai cita-cita bangsa dan negara kita tercinta,” pungkas Bambang.
(kri)