Potensi Besar Obat Herbal Indonesia Harus Digarap Serius
loading...
A
A
A
Namun, pihaknya tidak lantas menggabungkan sebanyak-banyaknya bahan herbal tanpa aturan khusus. Karena banyak juga bahan herbal yang khasiatnya saling memperlemah atau menetralkan satu dengan lainnya, misalnya penggabungan antara bawang putih dengan jahe merah, dimana keduanya memiliki sifat anti-platelet. "Jadi ada rule khusus kalau menggabungkan bahan-bahan herbal. Tidak bisa dilakukan begitu saja," katanya.
Dan, Iwan bersama tim di CV Pratistha Bakti Negeri mengaku sudah menerapkan ilmu baru tersebut pada produknya, Pratistha Herbanav. Produk herbal itu diklaim lebih baik dari herbal China dalam mengatasi demam pasien yang terkena badai sitokin. Dalam waktu dua hari minum herbal produksinya, pasien tersebut demamnya turun. Iwan mengaku selama pandemi Covid-19, penjualan obat herbalnya naik hingga 400%.
"Bahkan, saat peak varian Delta kemarin, naiknya sampai 1.000%," kata Iwan yang juga Co-Founder Pratistha Bakti Negeri.
Perlu Standar Khusus
Lebih jauh, sambung Iwan, banyaknya bahan herbal yang dimasukkan ke kandungan obat ternyata "bermasalah" dalam proses memperoleh izin uji klinik di BPOM. Dia bercerita saat mengajukan izin untuk obat herbal dengan kandungan enam bahan rempah dan herbal. "Keluar izinnya sangat lama. Saya harus menunggu 1 tahun 2 bulan untuk mendapat izin dari BPOM. Bisa dibayangkan kalau kandungan bahannya lebih banyak, pasti lebih lama," kata Iwan Suryolaksono.
Itu pun dia secara aktif ikut memberikan masukan atas kandungan obat herbalnya. Karena rumitnya izin uji klinik ini, para pengusaha herbal akhirnya menyiasati dengan hanya mencantumkan sedikit bahan di produk obat herbalnya. "Makin sedikit bahan kandungan, keluar izinnya makin cepat," ungkapnya.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.
Dan, Iwan bersama tim di CV Pratistha Bakti Negeri mengaku sudah menerapkan ilmu baru tersebut pada produknya, Pratistha Herbanav. Produk herbal itu diklaim lebih baik dari herbal China dalam mengatasi demam pasien yang terkena badai sitokin. Dalam waktu dua hari minum herbal produksinya, pasien tersebut demamnya turun. Iwan mengaku selama pandemi Covid-19, penjualan obat herbalnya naik hingga 400%.
"Bahkan, saat peak varian Delta kemarin, naiknya sampai 1.000%," kata Iwan yang juga Co-Founder Pratistha Bakti Negeri.
Perlu Standar Khusus
Lebih jauh, sambung Iwan, banyaknya bahan herbal yang dimasukkan ke kandungan obat ternyata "bermasalah" dalam proses memperoleh izin uji klinik di BPOM. Dia bercerita saat mengajukan izin untuk obat herbal dengan kandungan enam bahan rempah dan herbal. "Keluar izinnya sangat lama. Saya harus menunggu 1 tahun 2 bulan untuk mendapat izin dari BPOM. Bisa dibayangkan kalau kandungan bahannya lebih banyak, pasti lebih lama," kata Iwan Suryolaksono.
Itu pun dia secara aktif ikut memberikan masukan atas kandungan obat herbalnya. Karena rumitnya izin uji klinik ini, para pengusaha herbal akhirnya menyiasati dengan hanya mencantumkan sedikit bahan di produk obat herbalnya. "Makin sedikit bahan kandungan, keluar izinnya makin cepat," ungkapnya.
Selain itu, faktor sosial budaya masyarakat juga menjadi kendala tersendiri. Iwan mengaku punya pengalaman dalam membina petani kapulaga di Kawasan Garut, Jawa Barat. Dia mengaku kesulitan untuk mendapatkan kapulaga dengan kualitas bagus. Karena para petani memanen buah kapulaga secara bersamaan, sehingga antara yang matang dan masih muda bercampur. "Mereka memanen kapulaga utuh satu bonggol meski belum matang semua, karena takut keduluan sama pencuri," kata Iwan. Akibatnya, kapulaga yang seharusnya memiliki nilai herbal yang tinggi hanya dihargai sebagai bumbu dapur yang murah.
Sebagai perbandingan, misalnya, red ginseng dari Korea Selatan yang nilainya sangat tinggi karena mereka mampu menjaga standar kualitas komoditasnya tetap baik. Mereka memanen buahnya setelah benar-benar matang. Tidak terburu-buru dipanen. Karena tanaman red ginseng di sana tidak ada yang mencuri meski ditanam di alam liar.
Iwan mengaku heran dengan fenomena masyarakat yang suka mencuri tanaman seperti kapulaga. Karena hal itu membuat petani tidak bisa menjaga standar kualitas kandungan kapulaga secara baik. Padahal, kapulaga merupakan tanaman herbal yang potensial. Permintaan dunia akan kapulaga dari tahun ke tahun terus meningkat. Data Kementerian Pertanian menyebut pada 2020 ekspor kapulaga dari Indonesia mencapai 6.248 ton atau senilai USD8 juta. Kapulaga banyak diminati di Timur Tengah, India dan Mesir.
Berbagai potensi yang besar dari herbal dan rempah itu sudah seharusnya digarap serius oleh pemerintah dengan kebijakan yang sistematis dan komprehensif. Menurut Iwan, masih banyak kebijakan yang bersifat top down sehingga acap kali gagal dalam implementasinya. Misalnya, karena booming produk minyak atsiri, pemerintah tiba-tiba membuat program alat penyulingan dengan skala besar. Tapi alat penyulingan tersebut akhirnya mangkrak karena lama-kelamaan tidak ada suplai mencukupi dari bahan baku minyak atsiri tersebut.
"Hal ini karena tidak ada studi dari bawah, langsung top down, akhirnya mesin nggak dipakai lagi. Sayang sekali," ungkap Iwan.