Komisi VI DPR Minta OJK Tidak Mematikan Koperasi Digital

Jum'at, 29 Mei 2020 - 06:58 WIB
loading...
Komisi VI DPR Minta...
Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty menyayangkan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang begitu mudah memberikan label ilegal kepada koperasi simpan pinjam (KSP). Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Evita Nursanty menyayangkan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang begitu mudah memberikan label “ilegal” kepada koperasi simpan pinjam (KSP) yang melayani anggotanya dengan sistem digital.

Selain meminta Kementerian Koperasi dan UKM agar bersikap membela koperasi, Evita juga berharap OJK memahami KSP dan Unit Simpan Pinjam di Koperasi seperti diatur dalam UU No25/1992 tentang Perkoperasian, dan Peraturan Pemerintah No9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi bukan membuat definisi sendiri. (Baca juga: Koperasi Digital Ciptakan Platform Meeting Online untuk Koperasi)

“Ini sangat aneh, saat kita termasuk Presiden Jokowi mendorong semua koperasi dan UKM melakukan modernisasi dengan memanfaatkan teknologi digital, OJK malah menuduh mereka ilegal. Apa alasannya tidak jelas, jangan OJK membuat definisinya sendiri. Jadi ayo kita awasi penyimpangan, tapi jangan matikan koperasi yang menjadi gerakan ekonomi rakyat. Ini menyedihkan,” ungkap Evita Nursanty, dalam keterangannya yang diterima SINDOnews, Jumat (29/5/2020). (Baca juga: Teten Dorong Penerapan Pembayaran Digital Bagi Koperasi dan UMKM)

Hal ini disampaikan Evita Nursanty menanggapi Satgas Waspada Investasi OJK yang mengatakan menemukan 50 aplikasi KSP yang melakukan penawaran pinjaman online ilegal, yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip perkoperasian yaitu, aplikasi pinjaman itu bisa diakses masyarakat umum yang bukan anggota atau calon anggota KSP dan melanggar ketentuan perundang-undangan Koperasi. Selain itu juga dikaitkan dengan penyebaran data pribadi serta intimidasi.

Evita berpandangan, OJK harus memilah-milah masalah, jangan mencampur-aduk untuk mencari-cari alasan. Ilegal atau tidak koperasi dilihat dari apakah punya izin, dan sesuai UU Koperasi serta PP tentang Simpan Pinjam. Kemudian apakah ada praktik penipuan yang dilakukan bukan dari sistem digital yang dipakainya. Menuduh semua koperasi khususnya KSP yang menggunakan digital sebagai pinjaman online juga tidak tepat.

“Soal ada penipuan, ada penyebaran data pribadi dan intimidasi itu urusan yang berbeda, silakan ditindak sesuai kewenangan lembaga, bukan koperasinya yang diaduk-aduk. Jadi tolong OJK jangan membuat definisi sendiri soal KSP ataupun soal pinjaman online ilegal. Tolong jelaskan prinsip perkoperasian mana yang dilanggar,” tegas Evita.

Menurut Evita, ada pertanyaan apakah KSP atau unit simpan pinjam koperasi tidak boleh menggunakan digital atau online untuk menawarkan produknya? Apakah kepada anggota atau calon anggota? Pasal 44 UU Koperasi memungkinkan penghimpunan dan penyaluran dana dari dan untuk anggota koperasi, lalu PPNo9/1995 diatur juga mengenai “calon anggota” dimana calon anggota dalam waktu paling lama tiga bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Jadi produk KSP itu terbuka untuk anggota dan calon anggota.

Evita juga menyoroti peranan Kementerian Koperasi dan UKM yang menurutnya tidak terlihat untuk mengatasi persoalan ini. Padahal seharusnya masalah pengawasan koperasi itu ada di Kementerian Koperasi dan UKM bukan di OJK. Hal itu bahkan sudah menjadi kekhawatiran lama para pelaku koperasi, sehingga melahirkan Deputi Pengawasan di Kementerian Koperasi dan UKM seperti yang ada saat ini, tujuannya untuk melakukan pengawasan koperasi yang menyimpang. Bahkan berdasarkan Permenkop No17/Per/M.KUKM/IX/2015 pengawasan juga dilakukan oleh gubernur, bupati/ wali kota.

“Kementerian Koperasi dan UKM harusnya tegas di sini. Selama ada di OJK maka koperasi sulit berkembang karena visinya memang berbeda. OJK mungkin akan terus berpihak kepada lembaga keuangan yang memang ‘membiayainya’ melalui iuran rutin, seperti perbankan,” sambung Evita.

Sudah waktunya, kata Evita, untuk merevisi UU No 21/2011 yang menyatakan OJK berwenang mengawasi semua jenis usaha di sektor keuangan termasuk KSP/USP dari koperasi yang punya lebih dari satu jenis usaha. Apa yang dilakukan OJK ini bertentangan dengan apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi selama ini yang terus menggelorkan cinta koperasi dan mendorong koperasi bisa lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional, terutama dalam menghadapi defisit transaksi berjalan. Cara yang bisa dilakukan di antaranya membuat koperasi menjadi lebih modern dengan memanfaatkan teknologi.

Dengan begitu, diharapkan koperasi dapat bersaing dengan penggalang dana besar seperti perbankan swasta. Bahkan dalam kesempatan Hari Koperasi Nasional di ICE, BSD, Tangerang Selatan beberapa waktu lalu Presiden Jokowi berharap suatu saat akan ada koperasi di Indonesia yang mampu tumbuh dan berkembang dengan perputaran uang yang sangat besar, dan lima koperasi Indonesia masuk jajaran100 besar koperasi global. “Harapan Presiden Jokowi sangat besar bagi koperasi, tapi kalau dibonsai terus kapan besarnya,” sebut Evita.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1252 seconds (0.1#10.140)