Pemerintah Benahi Dulu Masalah Dasar Penanganan COVID-19 Sebelum Bicara New Normal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintah menjelaskan situasi penanganan pandemi COVID-19 sebelum melaksanakan kenormalan baru (New Normal). Wakil Ketua Fraksi PKS Sukamta menilai ada lima persoalan mendasar dalam penanganan wabah ini.
Sukamta menilai wacana kenormalan baru yang digaungkan pemerintah ini membuat seolah-olah keadaan sudah membaik. Di sisi lain, ada pertanyaan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menyatakan permintaan maaf dan menyebut virus Sars Cov-II ini bukanlah sesuatu yang mudah dihadapi. ( )
Pernyataan itu dianggap tak cukup. PKS mendesak pemerintah terbuka dan jujur kepada rakyat. Memang saat ini sudah ada protokol untuk beradaptasi dengan kenormalan baru yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Presiden Joko Widodo pun sudah meminta sosialisasi yang masif tentang protokol kenormaln baru ini. Sukamta mengatakan ini arahnya jelas pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkan situasi penanganan COVID-19 saat ini sudah semakin terkendali. Atau wacana “New Normal” ini hanya sebagai kedok untuk me utupi ketidakmampuan pemerintah menangani COVID-19,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (28/5/2020).
Dia mengungkapkan lima masalah pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Pertama, tidak pernah ada grand desain yang jelas untuk penanganan pandemi COVID-19. Kedua, koordinasi yang tidak jelas antara pemerintah pusat, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan pemerintah daerah.
Ketiga, jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) yang belum mencapai target sebanyak 10.000 per hari. Hanya dua kali tes dan pemeriksaan PCR mencapai 10.000 dalam sehari. Keempat, ada kesenjangan sarana dan prasarana, serta jumlah tenaga medis di sejumlah daerah.
Sukamta menerangkan rasio jumlah tempat tidur rumah sakit pada tahun 2018 itu 1 banding 1.000 pendudukan. Sementara di Korea Selatan, rasionya 11 banding 1.000 penduduk. Presiden sempat mengutrakan untuk melibatkan puskemas untuk penanganan Covid-19. Kenyataannya, hanya 33 persen yang kondisinya memadai.
“Ini artinya sarpras kesehatan yang ada saat ini tidak memadai menghadapi lonjakan pasien positif. Belum lagi, soal ketersediaan alat pelindung diri yang banyak dikeluhkan rumah sakit hingga hari ini,” jelasnya.
Masalah kelima adalah pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran. Hal tersebut menggambarkan tingkat kedisiplinan yang rendah dari masyarakat. Dengan situasi tersebutkan, apakah masyarakat akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat pada masa kenormalan baru.
PKS ingin pemerintah menjelaskan mengenai penanganan-penanganan persoalan dasar yang terlibat tidak maksimal pada pelaksanaanya. Pejabat-pejabat pun sebaiknya tidak melontarkan penyataan yang meremehkan virus Sars Cov-II dan COVID-19. (Baca juga: Kata PDIP soal Kebijakan Jokowi tentang 'New Normal')
“Kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pmerintah, seperti Pak Menko Polhukam yang menyebut kematian akibat kecelakaan dan diare lebih banyak dibandingkan virus Corona. Komentar-komentar seperti itu bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan,” pungkasnya.
Sukamta menilai wacana kenormalan baru yang digaungkan pemerintah ini membuat seolah-olah keadaan sudah membaik. Di sisi lain, ada pertanyaan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menyatakan permintaan maaf dan menyebut virus Sars Cov-II ini bukanlah sesuatu yang mudah dihadapi. ( )
Pernyataan itu dianggap tak cukup. PKS mendesak pemerintah terbuka dan jujur kepada rakyat. Memang saat ini sudah ada protokol untuk beradaptasi dengan kenormalan baru yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Presiden Joko Widodo pun sudah meminta sosialisasi yang masif tentang protokol kenormaln baru ini. Sukamta mengatakan ini arahnya jelas pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Mestinya pemerintah jelaskan secara jujur, benarkan situasi penanganan COVID-19 saat ini sudah semakin terkendali. Atau wacana “New Normal” ini hanya sebagai kedok untuk me utupi ketidakmampuan pemerintah menangani COVID-19,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (28/5/2020).
Dia mengungkapkan lima masalah pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19. Pertama, tidak pernah ada grand desain yang jelas untuk penanganan pandemi COVID-19. Kedua, koordinasi yang tidak jelas antara pemerintah pusat, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan pemerintah daerah.
Ketiga, jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) yang belum mencapai target sebanyak 10.000 per hari. Hanya dua kali tes dan pemeriksaan PCR mencapai 10.000 dalam sehari. Keempat, ada kesenjangan sarana dan prasarana, serta jumlah tenaga medis di sejumlah daerah.
Sukamta menerangkan rasio jumlah tempat tidur rumah sakit pada tahun 2018 itu 1 banding 1.000 pendudukan. Sementara di Korea Selatan, rasionya 11 banding 1.000 penduduk. Presiden sempat mengutrakan untuk melibatkan puskemas untuk penanganan Covid-19. Kenyataannya, hanya 33 persen yang kondisinya memadai.
“Ini artinya sarpras kesehatan yang ada saat ini tidak memadai menghadapi lonjakan pasien positif. Belum lagi, soal ketersediaan alat pelindung diri yang banyak dikeluhkan rumah sakit hingga hari ini,” jelasnya.
Masalah kelima adalah pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran. Hal tersebut menggambarkan tingkat kedisiplinan yang rendah dari masyarakat. Dengan situasi tersebutkan, apakah masyarakat akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat pada masa kenormalan baru.
PKS ingin pemerintah menjelaskan mengenai penanganan-penanganan persoalan dasar yang terlibat tidak maksimal pada pelaksanaanya. Pejabat-pejabat pun sebaiknya tidak melontarkan penyataan yang meremehkan virus Sars Cov-II dan COVID-19. (Baca juga: Kata PDIP soal Kebijakan Jokowi tentang 'New Normal')
“Kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pmerintah, seperti Pak Menko Polhukam yang menyebut kematian akibat kecelakaan dan diare lebih banyak dibandingkan virus Corona. Komentar-komentar seperti itu bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan,” pungkasnya.
(kri)