Pentingnya Pemerataan Tenaga Medis dan Fasilitas Kesehatan di Tengah Pandemi Covid

Rabu, 21 Juli 2021 - 15:06 WIB
loading...
Pentingnya Pemerataan...
Pasien Covid-19 terus berdatangan di Rumah Sakit Lapangan Tembak (RSLT) Covid-19 di Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (13/7/2021). Foto/Ali Masduki
A A A
JAKARTA - Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang ada menjadi sorotan. Apalagi, kasus Covid-19 terus melonjak. Pemerataan tenaga medis dan faskes menjadi penting.

Dilansir dari laman resmi WHO, standar mereka adalah 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk. Ukuran ini menggambarkan sumber daya yang tersedia untuk melayani pasien rawat inap di rumah sakit dalam hal jumlah tempat tidur.

Menurut data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang terbaru (2020), Indonesia menempati posisi 40 dari 42 negara dengan ketersediaan tempat tidur per 1.000 penduduk Indonesia sebesar 1. Jika diintegrasikan dengan data dari Bappenas (2020), total tempat tidur di seluruh rumah sakit Indonesia mencapai 276.525 unit, setara dengan rasio 1,33.

Meskipun angka itu telah memenuhi standar WHO, masih ada delapan provinsi di Indonesia yang tidak memenuhi standar. Menurut data dari situs resmi Kemenkes RI (2020), delapan provinsi itu adalah Nusa Tenggara Barat (0,74), Nusa Tenggara Timur (0,83), Banten (0,87), Jawa Barat (0,87), Lampung (0,90), Sulawesi Barat (0,92), Kalimantan Tengah (0,94), dan Riau (0,98).



Berdasarkan Standar WHO dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM terkait Standar Pelayanan Minimal Kesehatan, rasio ideal tenaga dokter (dokter umum dan gigi, di luar dokter spesialis) dengan jumlah penduduk adalah 1:2.500. Hal itu mengartikan satu dokter melayani 2.500 orang.

Dalam data terbaru yang diambil dari laman resmi Kemenkes per 31 Desember 2020, Sumatera Utara menjadi satu-satunya provinsi di wilayah Sumatera dengan rasio dokter dan jumlah penduduk paling tidak ideal, yaitu 1:4.509 (satu dokter melayani 4.509 pasien). Hal itu mengindikasikan adanya ketidakmerataan tenaga medis di wilayah Sumatera, akibat penumpukan dokter di provinsi Sumatera Utara.



Sementara, di wilayah Jawa, hanya DI Yogyakarta yang dinyatakan ideal dengan rasio 1:2.376, dan Jawa Barat yang menempati posisi paling tidak ideal dengan jumlah tenaga dokter sebanyak 10.903. Kondisi tersebut menunjukkan adanya ketimpangan jumlah tenaga dokter antarprovinsi, sehingga diperlukan tindakan dari pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan ini.

Di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara (Bali, NTT, dan NTB), Provinsi NTT dan NTB termasuk dalam kondisi yang ideal dengan rasio tenaga dokter dan jumlah penduduk sebesar 1:1.001 dan 1:1.155. Adapun Provinsi Bali, berada dalam kondisi yang tidak ideal dengan 1 dokter harus melayani 2.660 jiwa. Kemudian di wilayah Kalimantan, kelima provinsi termasuk dalam kondisi yang ideal dengan tenaga dokter terbanyak dimiliki oleh provinsi Kalimantan Timur (1.496 orang), dan Kalimantan Utara dengan
jumlah tenaga dokter paling sedikit (348 orang).

Di Sulawesi, hanya Sulawesi Selatan yang termasuk dalam kondisi tidak ideal (angka rasio tenaga dokter dengan jumlah penduduk 1:2567. Sementara, provinsi dengan jumlah tenaga dokter yang paling sedikit jatuh kepada Provinsi Sulawesi Barat, yaitu sebanyak 375 orang dengan jumlah penduduk sebesar 1.355.554 jiwa.

Dalam wilayah Kepulauan Maluku, Provinsi Maluku dan Maluku Utara telah berada dalam kondisi yang ideal apabila dilihat dari perbandingan rasio tenaga dokter dengan jumlah penduduk, yaitu 1:585 dan 1:403.

Di wilayah Papua, Provinsi Papua Barat menjadi provinsi dengan jumlah tenaga dokter paling sedikit di Indonesia, yaitu sebanyak 382 orang.



Menyikapi kondisi tersebut di atas, anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai pemerataan tenaga medis di seluruh Indonesia harus jadi perhatian pemerintah. "Kenapa ? Itu adalah bagian daripada pembangunan. Jadi kalau kita membuat pembangunan itu merata, maka guru-guru dan tenaga medis itu juga harus didistribusikan secara merata," ujar Saleh saat dihubungi, Rabu (21/7/2021).

Sebab, kata Saleh, kalau tenaga medisnya tidak merata, maka akses kepada pelayanan kesehatan yang baik juga tidak merata. 'Maka, pekerjaan pemerintah itu tidak mudah untuk hal ini," tutur politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Saleh pun memberikan beberapa catatan. Pertama, menurut dia, pemerintah harus membangun lembaga-lembaga pendidikan kesehatan secara merata. "Itu dulu awalnya. Jadi jangan terpusat hanya di kota-kota besar saja, tetapi harus didistribusikan secara merata. Sehingga orang kalau mau belajar tentang kesehatan itu dia tidak lari ke kota semua," tutur legislator asal Daerah Pemilihan Sumatera Utara II ini.

Kedua, dia menilai pemerintah juga harus menyiapkan sarana kesehatan dan fasilitas kesehatannya di seluruh Indonesia secara merata. "Karena ada beberapa kasus dimana ada dokter-dokter spesialis tidak bisa memanfaatkan ilmunya karena alat-alat kesehatannya tidak ada dan tidak tersedia di rumah sakit di mana dia bekerja. Karena itu, ini juga harus disiapkan," kata mantan ketua umum PP Pemuda Muhammadiyah ini.

Jadi, dia kembali menegaskan bahwa sarana prasarana kesehatannya harus disiapkan. "Tentu alat kesehatan yang bisa dipakai dokter-dokter itu tentu harus ada juga di rumah sakit. Kalau enggak, enggak bisa bekerja mereka itu, ilmunya enggak bisa diterapkan," ujar ketua Fraksi PAN DPR RI ini.

Ketiga, dia mengatakan perlunya menjaga agar distribusi tenaga kesehatan yang merata. Menurut dia, hal tersebut bukan persoalan yang mudah. Karena, menurut dia, biasanya dokter-dokter spesialis mengabdi hanya untuk melengkapi kewajibannya.

"Dulu kan ada itu kewajiban yang perlu dipenuhi mereka yang menyelesaikan studi S2. Misalnya mereka harus menjadi dokter di daerah-daerah katakanlah 1-2 tahun. Tapi biasanya setelah itu pada pindah. Akibatnya di daerah tersebut kosong. Bahkan itu ada yang memilih tidak mau jadi pegawai negeri karena takut ditempatkan di wilayah seluruh Indonesia," ungkapnya.

Dia membeberkan bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seorang ASN adalah bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. "Jadi, daripada mereka dipaksa ditempatkan di beberapa wilayah yang mungkin tidak disukai, maka mereka enggak mau jadi pegawai negeri. Bahkan yang lebih ironis lagi, yang saya temukan di lapangan, itu ada pegawai negeri yang berhenti jadi pegawai negeri karena dia tidak mau lagi bekerja di tempat itu, pindah ke kota. Lalu di kota mungkin dia bisa lebih
mengaktualisasikan ilmunya. Nah kalau sudah begitu modelnya kan makin parah itu berarti," katanya.

Sehingga, dia menilai ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Pertama, kata dia, harus ada aturan dari pemerintah pusat untuk menyiapkan sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi, fakultas-fakultas kedokteran, serta lembaga-lembaga pendidikan kesehatan yang merata di seluruh Indonesia. "Kedua, ada aturan dari pemerintah pusat terkait dengan kewajiban-kewajiban tadi yang jelas, bahwa mereka harus mengabdi sekian tahun dan seterusnya," imbuhnya.

Ketiga, dia mengatakan bahwa pemerintah daerah bisa memberikan beasiswa dan insentif dari APBD kepada dokter-dokter atau calon dokter di wilayah masing-masing. Setelah lulus pendidikan yang dibiayai APBD itu, para tenaga medis harus membuat perjanjian kepada pemerintah daerah yang memberikan beasiswa itu.

"Nanti mereka membuat surat pernyataan untuk mau ditugaskan di daerah yang memberi mereka beasiswa tersebut. Jadi kalau sudah tamat, enggak boleh pergi ke mana-mana, dia harus mengabdi di daerah itu. Begitu juga untuk yang S2. Jadi kalau ada yang mau S2, dibiayai saja, tapi perjanjiannya nanti kalau sudah tamat, dia harus mengabdi di rumah-rumah sakit di daerah yang membiayai kuliahnya," ujarnya.

Selain itu, dia menilai pemerintah daerah juga bisa memberikan insentif tambahan, atau gaji tambahan yang lebih besar ketimbang di kota-kota besar."Katakanlah kalau misalnya pegawai negeri biasa gajinya mungkin ya katakanlah antara Rp7,5 juta sampai Rp9 juta misalnya per bulan. Nah itu mungkin sudah ada honor sana honor sini lah," ungkapnya.

Dia menilai, pendapatan yang diterima para tenaga medis di daerah lebih kecil dibandingkan dengan mereka yang bertugas di kota-kota besar. "Nah karena itu kewajiban Pemda harus menambahkan insentif bagi mereka. Katakanlah minimal ada yang memberi Rp25 sampai Rp30 juta perbulan untuk dokter spesialis itu. Karena tugas di daerah itu agak susah. Kalaupun dibuat tarif ya enggak bisa dibayar juga. Masyarakatnya kan ekonomi menengah ke bawah rata-ratanya. Jadi karena itu penghasilan yang
mereka harapkan ya dari insentif itu," ujarnya.

Dengan begitu, dia yakin ada keikhlasan dari para tenaga medis untuk mengabdi di daerah-daerah dan tidak tergiur dengan pendapatan di kota-kota besar. "Tentu juga kita berharap, dokter-dokter ini muncul kesadaran pribadi untuk mengabdi. Karena kepuasan menjadi dokter kan sebetulnya bukan hanya dari sisi di rumah sakit besar mana dia bekerja, dari sisi berapa banyak orang yang bisa dibantu, berapa banyak orang yang menerima manfaat dari ilmu yang dipelajarinya itu," pungkasnya.

Amira Karin Khairana/Litbang MPI/Rico Afrido Simanjuntak
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1735 seconds (0.1#10.140)