Ada Vaksin Berbayar, Politikus PKS Khawatir Vaksin Gratis Langka

Senin, 12 Juli 2021 - 11:55 WIB
loading...
Ada Vaksin Berbayar,...
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Mulyanto menilai alasan pemerintah membuat kebijakan layanan vaksin berbayar sangat tidak rasional. Sebab, menurut dia, pemerintah seharusnya memperbanyak titik layanan vaksinasi secara masif di puskesmas, klinik, serta di kantor-kantor kelurahan, kantor RW, dan posyandu jika ingin mempercepat herd immunity .

Maka itu, PKS menolak kebijakan pemerintah menyediakan layanan vaksin berbayar itu. "Karena secara prinsip vaksinasi adalah tanggung jawab pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung jawab tersebut," ujar Mulyanto dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (12/7/2021).

Mulyanto menambahkan, jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini. "Bansos yang Rp 300 ribu/bulan/keluarga tidak sebanding dengan harga vaksin Sinopharm yang lebih dari Rp 300 ribu/dosis, apalagi kalau harus disuntik dua kali untuk dosis lengkap," kata Mulyanto.



Mulyanto juga khawatir setelah program vaksin berbayar ini dilaksanakan, kuota vaksin gratis bukannya ditingkatkan, tetapi perlahan-lahan berkurang. Padahal, kata dia, target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan.

Selain itu, kebijakan vaksin berbayar itu dinilai rentan dimanipulasi pihak yang mencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Vaksin gratis akhirnya bisa menjadi langka.

Karena itu, dia menilai daripada pemerintah repot memikirkan sistem pengawasan distribusi vaksin gratis secara ketat, lebih baik kebijakan dualisme vaksin ini dibatalkan. Mulyanto melanjutkan, walaupun jenis vaksin antara program mandatori dan program mandiri berbeda, dalam praktiknya masyarakat tidak bisa melihat dan membedakan kedua jenis vaksin tersebut.

"Modus tersebut sangat mungkin dan kerap terjadi untuk komoditas lain, khususnya barang subsidi, seperti gas melon 3 kilogram, pupuk subsidi, atau solar. Komoditas subsidi dialihkan menjadi komoditas komersial. Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, maka rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya. Akan merugikan rakyat," kata Mulyanto.

Selain itu, dia menyarankan sebaiknya pemerintah fokus mempercepat riset dan produksi Vaksin Merah Putih, yang tengah dikembangkan Konsorsium Riset Covid di bawah koordinasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagai instrumen mencapai herd immunity masyarakat. Pemerintah, kata dia, jangan terlalu mengandalkan vaksin impor.

Selama ini, dia melihat pemerintah terkesan adem-adem dan membiarkan riset vaksin inovasi domestik ini berjalan bisnis as usual, tidak seperti sikap pemerintah terhadap vaksin impor. Padahal, menurut dia, penggunaan Vaksin Merah Putih sangat penting sebagai upaya untuk membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik.

Dengan demikian Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekadar menjadi pasar bisnis vaksin semata. "Sayang anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta vaksin impor," kata Mulyanto.

Dia prihatin saat ini dana untuk riset vaksin di LBM Eijkman tidak lebih dari Rp10 Miliar. Angka itu dianggap jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana untuk impor vaksin yang ratusan triliun rupiah.

Kata dia, seharusnya pemerintah mengalokasikan dana riset yang cukup, sehingga vaksin Merah Putih dapat diproduksi lebih awal. "Tapi nyatanya, dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset Covid-19 terakhir dilaporkan, bahwa produksi Vaksin Merah Putih mundur, disebabkan karena BUMN Bio Farma tidak siap kalau vaksin tersebut didasarkan pada protein rekombinan mamalia," ujar anggota Komisi VII DPR RI ini.

Dia mengatakan, fasilitas produksi BUMN Bio Farma hanya siap kalau vaksin yang dikembangkan berbasis protein rekombinan ragi (yeast). "Karenanya terpaksa LBM Eijkman harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi. Kalau poco-poco seperti ini terus, kita jadi pesimis. Sampai kapan Vaksin Merah Putih dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat," pungkasnya.
(zik)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2887 seconds (0.1#10.140)