Putusan KPPU Dinilai Sarat Kepentingan

Sabtu, 03 Juli 2021 - 16:55 WIB
loading...
Putusan KPPU Dinilai...
Putusan KPPU dari penyelesaian masalah persaingan usaha tidak sehat dan praktik monopoli dinilai sarat kepentingan. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Putusan-putusan yang dibuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ) dalam mengatasi dan menyelesaikan dugaan pelanggaran praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1999 guna penegakan hukum usaha dinilai sarat kepentingan. KPPU menggelar sidang yang menyerupai pengadilan, tetapi mengabaikan prinsip nir-konflik kepentingan dalam menjalankan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya dalam mengawasi persaingan usaha.

Hal tersebut terungkap dalam webinar publik bertajuk "Due process of Law dan Upaya Hukum terhadap Putusan KPPU Pasca Undang Undang Cipta Kerja" baru-baru ini.

Mantan Ketua Komisi Yudisial RI, Suparman Marzuki, yang menjadi salah satu pemateri, mengatakan ada keanehan dalam persidangan yang dilakukan KPPU selama ini. Investigator KPPU yang diisi oleh staf di sekretariatnya itu bertindak layaknya jaksa penuntut umum, sementara komisioner layaknya hakim. Artinya, yang melakukan kegiatan penyelidikan atau membacakan laporan dugaan pelanggaran pada pemeriksaan pendahuluan, mengajukan alat bukti, menyampaikan kesimpulan pada pemeriksaan lanjutan, dan mempertahankan alat-alat bukti yang mendukung laporan dugaan pelanggaran tersebut pada tahap pemeriksaan lanjutan, termasuk yang memutuskan itu adalah mereka-mereka sendiri.

Baca juga: Dicek Bunda, Ada Lonjakan Harga Bahan Pokok dalam Temuan KPPU

"Saya melihat hubungan investigator dan Komisi di sini adalah hubungan subordinat, di mana investigator bekerja atas perintah Komisi. Jadi, dalam posisi itu, sudah jelas Komisioner KPPU terlibat konflik kepentingan dengan semua temuan investigator untuk melayani kepentingan Komisi, dan dapat dipastikan akan menerima dan membenarkan apa pun temuan investigator. Nyaris tidak ada proses memeriksa, mengadili, dan memutus yang berkualitas untuk mencari kebenaran dan keadilan sebagaimana seharusnya peradilan," kata Suparman yang juga seorang akademisi ini.

Selama proses persidangan, pelaku usaha juga dilarang mengakses dokumen penyelidikan yang disusun KPPU, maupun dokumen yang digunakan sebagai acuan utama pengambilan keputusan. Artinya, dokumen itu tidak pernah diperlihatkan dan diuji di dalam pemeriksaan/persidangan. "Prosedur penegakan aturan seperti itu jelas melanggar prinsip imparsialitas, yaitu tidak memberikan kesempatan yang sama antara pemohon, investigator, dan terlapor. Ini melanggar persamaan perlakuan hukum atau equality before the law," ujar Suparman.

Selain itu, kata Suparman, dalam proses pembuktian beberapa perkara KPPU, Anggota Majelis Komisi seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan menjerat, tendensius, menyimpulkan, dan bahkan intimidatif.

Baca juga: KPPU Endus Ada potensi Rente di Impor Garam

Menurut Suparman, Anggota dan Majelis Komisi tampak berpihak, berprasangka, sehingga cenderung gagal mengedepankan pengungkapan kebenaran terhadap fakta secara komprehensif sebelum suatu putusan dijatuhkan. "Kalau sudah begitu, sehebat dan sebagus apa pun pembelaan terlapor dan kuasa hukumnya nyaris sia-sia, sehingga tidak salah jika ada kritik bahwa persidangan di KPPU tidak memenuhi syarat due process of law (proses hukum yang adil)-prinsip universal yang seharusnya diwujudkan dalam persidangan apapun," katanya.

Hal senada juga disampaikan mantan Hakim Mahkamah Agung Susanti Adi Nugroho dalam acara yang sama. Susanti mangatakan, kedudukan KPPU yang multifungsi, di mana bisa bertindak sebagai penyidik, penuntut, dan pemutus, akan menjadikan KPPU lembaga super body. Ini yang membuat banyak pelaku usaha yang mengeluh diperlakukan secara tidak adil dalam proses pemeriksaan dan persidangan di KPPU.

Seharusnya, kata Susanti, meski memiliki kewenangan seluas itu, KPPU tetap memegang asas praduga tidak bersalah, tidak memberikan informasi perkara kepada publik karena akan mempengaruhi putusan, serta asas audi et alteram partem atau memberi keadilan yang seimbang. "Kalau tidak, saya khawatir akan mengganggu keseimbangan kedudukan pelaku usaha dan masyarakat konsumen, yang akan berakibat merugikan pihak pelaku usaha," katanya.

Dalam hal penyerahan jaminan pembayaran, dia mengatakan tidak dapat diartikan sebagai pengakuan dugaan pelanggaran dalam putusan KPPU. Sebab, sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat, maka asas presumption of innoncence harus ditegakkan. "Karena, ancaman denda yang tinggi juga dapat mengurangi minat pengusaha untuk melakukan investasi, dan hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah sekarang untuk meningkatkan investasi," tukasnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof Ningrum Natasya Sirait, juga sangat setuju agar dalam setiap persidangan yang dilakukan, KPPU menerapkan due process of law. Dia juga mengingatkan KPPU agar tidak seenaknya memutuskan perkara dalam persidangan karena sudah mendapat hak integrated system, di mana Komisionernya punya kewenangan yang sangat mutlak.

"Hanya KPPU yang memiliki hak yang istimewa itu. Tapi, KPPU jangan seenaknya dong dalam memutuskan perkara," ucapnya.

Dia menginginkan KPPU bisa memeriksa perkara dengan tekanan integrated sistem, tapi menunjukkan due process of law dan konsisten terhadap peraturan yang dibuatnya sendiri. "Tapi kalau KPPU masih bekerja menurut peraturan Komisi yang ada saat ini, saya sendiri tidak setuju. Ini tidak sesuai dengan tujuan Undang-Undang Cipta Kerja," katanya.

Saat ini terdapat kekosongan aturan hukum akibat belum adanya aturan turunan dari RUU Cipta Kerja yang menghambat perusahaan yang berperkara di KPPU dalam mencari keadilan melalui upaya hukum yang maksimal.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2132 seconds (0.1#10.140)