Waketum Demokrat Kritik Pelebaran Defisit dalam APBN 2020

Selasa, 26 Mei 2020 - 17:10 WIB
loading...
Waketum Demokrat Kritik...
Ketua BAKN DPR, Marwan Cik Asan mengkritisi proyeksi perubahan APBN 2020 yang dipaparkan Menkeu Sri Mulyani yang menyatakan bahwa postur APBN 2020 akan mengalami perubahan dari yang telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 54/2020. Foto/dpr.go.id
A A A
JAKARTA - Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR, Marwan Cik Asan mengkritisi proyeksi perubahan APBN 2020 yang dipaparkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menyatakan bahwa postur APBN 2020 akan mengalami perubahan dari yang telah ditetapkan dalam Perpres Nomor 54/2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 3 April 2020.

“Perubahan APBN dari APBN yang telah direvisi dalam hitungan hari merupakan perisitiwa langka dalam pengelolaan keuangan negara di Indonesia, yang pernah terjadi adalah percepatan perubahan APBN melalui pengajuan RUU APBN-P kepada DPR, seperti perubahan APBN 2008 yang dipercepat pada bulan Februari untuk merespons dampak krisis keuangan global 2008, yang dampaknya meningkatnya kepercayaan pelaku usaha dan krisis ekonomi dapat diatasi dengan baik,” ujar Marwan dalam keterangan persnya, Selasa (26/5/2020). ( )

Marwan mengakui bahwa secara konstitusi perubahan revisi APBN 2020 yang ditetapkan melalui Perpres telah diatur dalam Perpres 54/2020 Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam hal diperlukan, Menkeu dapat menetapkan perubahan atas rincian perubahan postur APBN 2020 setelah berkonsultasi dengan presiden. Terhadap aturan tersebut dapat dipahami bahwa pemerintah diberikan keleluasan untuk merubah postur perubahan APBN 2020 tanpa persetujuan DPR yang memiliki hak budgeting.

Namun, lanjut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini, yang menjadi pertanyaan publik sejauh mana kemampuan pemerintah dalam memproyeksikan pengelolaan penerimaan dan belanja dalam APBN sehingga dapat menjaga kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. Jika hanya dalam hitungan hari saja pemerintah telah mengumumkan akan merevisi lagi perubahan APBN 2020, tentu hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam merumuskan perencanaan dan pengelolaan APBN.

“Ini dapat berujung pada semakin menurunnya kredibilitas dan kepercayaan pemerintah dalam pengelolaan fiskal. Bukan tidak mungkin dalam beberapa bulan kedepan pemerintah akan kembali melakukan perubahan APBN 2020 yang bermuara pada ketidakpercayaan pelaku usaha dan masyarakat terhadap pengelolaan fiskal pemerintah,” jelas Marwan.

Anggota Komisi XI DPR ini menjelaskan, perubahan postur APBN 2020 pemerintah memproyeksikan defisit APBN akan meningkat dari 5,07% menjadi 6,27%. Peningkatan defisit lebih dari 3% memang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2020, namun yang menjadi kekhawatiran kami adalah tidak adanya batas maksimum defisit merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan fiskal pemerintah di masa yang akan datang.

“Pemerintah boleh berdalih bahwa besaran defisit lebih dari 3 persen hanya berlangsung sampai dengan tahun 2022 setelah itu akan kembali maksimum 3 persen. Risiko fiskal itu akan terjadi melalui pembiayaan defisit melalui utang akan semakin besar dalam 3 tahun ke depan, dan yang menanggung utang tersebut adalah pemerintahan yang akan datang,” terangnya.

Dan sebagai gambaran, Marwan melanjutkan, untuk membiayai defisit 6,27%, pemerintah merencanakan akan menarik utang sebesar Rp1.206,9 triliun dan ini merupakan merupan rekor tertinggi penarikan utang dalam 1 periode APBN. Pihaknya dapat memahami bahwa penarikan utang ini merupakan dampak dari penanganan pandemi COVID-19 namun, pemerintah tidak boleh abai terhadap akuntabilitas pengelolaan anggaran.

“Sebagaimana amanah pasal 23 UUD 1945 bahwa pengelolaan APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertangung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” imbuhnya.

Kemudian, sambung dia, jika dicermati faktor utama meningkatnya defisit APBN menjadi 6,27% karena bertambahnya belanja pemerintah sebesar Rp106,3 triliun, yang dialokasikan untuk penambahan anggaran penanganan COVID-19 di antaranya, penambahan subsidi UMKM, penambahan diskon listrik, dan bansos tunai.Sementara di sisi penerimaan, diproyeksikan kembali menurun sebesar Rp69,3 triliun dari Rp1.760,9 triliun menjadi Rp1.691,6 triliun.

Karena itu, Marwan meminta agar pemerintah dapat mengalokasikan belanja negara itu dengan tepat sasaran dan juga di waktu yang tepat. Sehingga, setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah dapat dipertangungjawabkan dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. (Baca juga: 3 Alasan Pilkada Serentak 2020 Sebaiknya Digelar Tahun Depan)

“Di sisi lain terhadap pengelolaan penerimaan negara yang diproyeksikan menurun akibat turunnya aktivitas pelaku usaha dan berbagai insentif fiskal yang diberikan, pemerintah diharapkan dapat terus bekerja maksimal untuk mencari sumber penermaan pajak lainnya, seperti penerimaan pajak dari penjualan elektronik yang telah disahkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020,” tandasnya.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1682 seconds (0.1#10.140)