Haji di Era Pandemi, Tak Mudah !
loading...
A
A
A
Muhammad Ulinnuha
Dekan FUD IIQ Jakarta, santri dan praktisi haji
Pada hari Kamis (3/6/21), pemerintah melalui Kementerian Agama secara resmi telah mengumumkan pembatalan pemberangkatan jemaah haji Indonesia dalam penyelenggaraan haji tahun 1432 H/2021 M. Keputusan ini diatur dalam SK Menteri Agama No. 660 Tahun 2021 yang ditetapkan pada 3 Juni 2021 dan diumumkan oleh Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qaumas, pada konferensi pers bersama Ketua Komisi 8 DPR RI dan perwakilan ormas-ormas Islam dan pejabat terkait.
Di antara alasan pembatalan ini adalah terancamnya kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi. Pertimbangan lainnya yakni Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021.
Keputusan ini direspon secara beragam oleh publik; ada yang pro dan kontra, dengan segenap argumentasinya. Bahkan tidak sedikit yang “menggoreng” keputusan ini dengan data-data dan narasi-narasi kontraproduktif dan provokatif. Terlepas dari perdebatan tersebut, hemat penulis, dalam kondisi seperti saat ini, keputusan pemerintah tersebut sudah tepat dan merupakan jalan yang paling moderat, dengan beberapa argumen.
Pertama, ibadah haji harus memenuhi seluruh syarat istitha’ah yaitu kemampuan secara fisik, ekonomi, keamanan, transportasi dan kesehatan. Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang masih sangat mengerikan seperti saat ini, istitha’ah kesehatan tentu belum dapat terpenuhi secara sempurna. Di sisi lain, baru-baru ini otoritas Arab Saudi juga merilis 11 negara yang diizinkan masuk ke negaranya dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Kendati perizinan tersebut tidak terkait langsung dengan haji dan umrah, namun suspend ini secara otomatis mengganggu jalur penerbangan dari Indonesia ke Arab Saudi. Jika misalnya Indonesia tidak membatalkan haji, maka istitha’ah transportasi juga tidak terpenuhi. Dengan adanya dua unsur istitha’ah yang tidak terpenuhi, maka kewajiban haji secara hukum syar’i sebenarnya sudah gugur.
Jika kita lihat sejarah, pada tahun 6 hijriah, Nabi Saw bersama rombongan para sahabat juga pernah membatalkan hajinya, padahal beliau sudah sampai di Hudaibiyah. Karena dihalangi oleh kaum kafir Quraish sehingga tidak dapat memasuki kota Mekah, maka beliau melepas pakaian ihramnya dan kembali pulang ke Madinah. Saat itu juga terjadi penolakan dari sebagain sahabat, tapi setelah dijelaskan alasan dan argumentasinya, mereka mau mengerti dan menerima kenyataan tersebut dengan rela, sabar dan penuh keyakinan. Baru pada tahun 10 hijriyah, Nabi bersama para sahabatnya kembali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di luar peristiwa itu, pembatalan ibadah haji juga kerap dilakukan, baik karena alasan transportasi, keamanan, maupun kesehatan.
Kedua, dari sisi pembinaan dan pelaksanaan ibadah. Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Agama sudah melakukan persiapan yang sangat matang dan terukur sesuai protokol kesehatan. Mulai dari bimbingan manasik, penjelasan alur perjalanan haji, bahkan sampai penyiapan buku panduan manasik di masa pandemi. Khusus untuk yang terakhir ini, penulis bersama para ulama, cendekiawan, dan praktisi haji kebetulan terlibat intensif, jadi mengetahui betul bagaimana keseriusan Kemenag dalam menyiapkan pelayanan dan pembinaan bagi calon jemaah haji di era pandemi ini.
Yang perlu diketahui, seandainya jemaah haji diberangkatkan tahun ini, maka pelaksanaan ibadahnya akan sangat “minimalis.” Banyak amalan sunnah, bahkan wajib haji yang biasanya dapat dilakukan di masa normal, kemungkinan besar di masa pandemi ini tidak dapat dilakukan. Contohnya, mencium hajar aswad, berdoa di multazam, shalat di hijir ismail, shalat di belakang maqam Ibrahim, mencukur rambut di bukit marwah, berdoa di bukit shafa, dan beberapa amalan wajib haji seperti mabit di Muzdalifah dan Mina kemungkinan tidak dilakukan dengan mengambil pendapat yang marjuh, demi menjaga keselamatan jemaah.
Bahkan ibadah umrah sunnah yang biasanya dapat dilakukan berkali-kali, saat pandemi ini juga dibatasi oleh pemerintah Saudi. Belum lagi soal beberapa kali tes swab PCR dan isolasi yang pasti mengurangi durasi dan intensitas amalan ibadah. Masa penantian hasil PCR juga akan berdampak pada psikologi jamaah. Kendati secara fikih itu semua tidak merusak sahnya haji, tapi kenyamanan pikiran dan hati jemaah pasti akan terciderai, dan kemungkinan kualitas hajinya pun terkurangi. Intinya, jika jemaah jadi berangkat tahun ini, maka akan banyak mendapat paket “diskon”, dan itu pasti menimbulkan persoalan tersendiri.
Dekan FUD IIQ Jakarta, santri dan praktisi haji
Pada hari Kamis (3/6/21), pemerintah melalui Kementerian Agama secara resmi telah mengumumkan pembatalan pemberangkatan jemaah haji Indonesia dalam penyelenggaraan haji tahun 1432 H/2021 M. Keputusan ini diatur dalam SK Menteri Agama No. 660 Tahun 2021 yang ditetapkan pada 3 Juni 2021 dan diumumkan oleh Menteri Agama, Gus Yaqut Cholil Qaumas, pada konferensi pers bersama Ketua Komisi 8 DPR RI dan perwakilan ormas-ormas Islam dan pejabat terkait.
Di antara alasan pembatalan ini adalah terancamnya kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi. Pertimbangan lainnya yakni Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021.
Keputusan ini direspon secara beragam oleh publik; ada yang pro dan kontra, dengan segenap argumentasinya. Bahkan tidak sedikit yang “menggoreng” keputusan ini dengan data-data dan narasi-narasi kontraproduktif dan provokatif. Terlepas dari perdebatan tersebut, hemat penulis, dalam kondisi seperti saat ini, keputusan pemerintah tersebut sudah tepat dan merupakan jalan yang paling moderat, dengan beberapa argumen.
Pertama, ibadah haji harus memenuhi seluruh syarat istitha’ah yaitu kemampuan secara fisik, ekonomi, keamanan, transportasi dan kesehatan. Dalam kondisi pandemi Covid-19 yang masih sangat mengerikan seperti saat ini, istitha’ah kesehatan tentu belum dapat terpenuhi secara sempurna. Di sisi lain, baru-baru ini otoritas Arab Saudi juga merilis 11 negara yang diizinkan masuk ke negaranya dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Kendati perizinan tersebut tidak terkait langsung dengan haji dan umrah, namun suspend ini secara otomatis mengganggu jalur penerbangan dari Indonesia ke Arab Saudi. Jika misalnya Indonesia tidak membatalkan haji, maka istitha’ah transportasi juga tidak terpenuhi. Dengan adanya dua unsur istitha’ah yang tidak terpenuhi, maka kewajiban haji secara hukum syar’i sebenarnya sudah gugur.
Jika kita lihat sejarah, pada tahun 6 hijriah, Nabi Saw bersama rombongan para sahabat juga pernah membatalkan hajinya, padahal beliau sudah sampai di Hudaibiyah. Karena dihalangi oleh kaum kafir Quraish sehingga tidak dapat memasuki kota Mekah, maka beliau melepas pakaian ihramnya dan kembali pulang ke Madinah. Saat itu juga terjadi penolakan dari sebagain sahabat, tapi setelah dijelaskan alasan dan argumentasinya, mereka mau mengerti dan menerima kenyataan tersebut dengan rela, sabar dan penuh keyakinan. Baru pada tahun 10 hijriyah, Nabi bersama para sahabatnya kembali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di luar peristiwa itu, pembatalan ibadah haji juga kerap dilakukan, baik karena alasan transportasi, keamanan, maupun kesehatan.
Kedua, dari sisi pembinaan dan pelaksanaan ibadah. Sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Agama sudah melakukan persiapan yang sangat matang dan terukur sesuai protokol kesehatan. Mulai dari bimbingan manasik, penjelasan alur perjalanan haji, bahkan sampai penyiapan buku panduan manasik di masa pandemi. Khusus untuk yang terakhir ini, penulis bersama para ulama, cendekiawan, dan praktisi haji kebetulan terlibat intensif, jadi mengetahui betul bagaimana keseriusan Kemenag dalam menyiapkan pelayanan dan pembinaan bagi calon jemaah haji di era pandemi ini.
Yang perlu diketahui, seandainya jemaah haji diberangkatkan tahun ini, maka pelaksanaan ibadahnya akan sangat “minimalis.” Banyak amalan sunnah, bahkan wajib haji yang biasanya dapat dilakukan di masa normal, kemungkinan besar di masa pandemi ini tidak dapat dilakukan. Contohnya, mencium hajar aswad, berdoa di multazam, shalat di hijir ismail, shalat di belakang maqam Ibrahim, mencukur rambut di bukit marwah, berdoa di bukit shafa, dan beberapa amalan wajib haji seperti mabit di Muzdalifah dan Mina kemungkinan tidak dilakukan dengan mengambil pendapat yang marjuh, demi menjaga keselamatan jemaah.
Bahkan ibadah umrah sunnah yang biasanya dapat dilakukan berkali-kali, saat pandemi ini juga dibatasi oleh pemerintah Saudi. Belum lagi soal beberapa kali tes swab PCR dan isolasi yang pasti mengurangi durasi dan intensitas amalan ibadah. Masa penantian hasil PCR juga akan berdampak pada psikologi jamaah. Kendati secara fikih itu semua tidak merusak sahnya haji, tapi kenyamanan pikiran dan hati jemaah pasti akan terciderai, dan kemungkinan kualitas hajinya pun terkurangi. Intinya, jika jemaah jadi berangkat tahun ini, maka akan banyak mendapat paket “diskon”, dan itu pasti menimbulkan persoalan tersendiri.