Pascapelepasan 30.000 Narapidana, Residivisme: Antara Fakta dan Narasi
loading...

Pascapelepasan lebih dari 30.000 narapidana melalui percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM, muncul isu meningkatnya kerawanan di masyarakat. Foto: dok/SINDOnews
A
A
A
Iqrak Sulhin
Kriminolog UI
Pascapelepasan lebih dari 30.000 narapidana melalui percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM, muncul isu meningkatnya kerawanan di masyarakat. Beberapa berita di media menambah kuat isu tersebut. Sejumlah narapidana yang dilepaskan kembali melakukan pelanggaran hukum. Publik menjadi cemas hingga menganggap kebijakan pelepasan tersebut hanya menambah buruk kondisi sosial.
Masalah residivisme atau pengulangan kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa residivisme adalah gejala “normal”, dalam arti selalu ada dalam jumlah tertentu di dunia. Studi-studi yang berupaya memprediksi residivisme pun dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan penjara dalam reformasi narapidana.
Penelitian menemukan berbagai variabel prediktif bagi terjadinya residivisme, seperti yang dikemukakan Farrington (1995), yaitu adanya perilaku antisosial sebelumnya, impulsivitas (dorongan untuk berperilaku jahat), rendahnya pendidikan dan pencapaian dalam hidup, kriminalitas yang pernah dilakukan anggota keluarga lainnya, kemiskinan, hingga pola asuh yang salah dari orang tua. Zamble dan Quinsey (1997) menambahkan, residivisme juga merupakan hasil dari adanya masalah yang belum terselesaikan selama masa pembinaan di penjara atau konsekuensi dari adanya masalah individu atau lingkungan setelah seorang narapidana bebas.
Memang ada istilah criminal persistence (lihat Zara dan Farrington, 2016), yaitu keberlanjutan kriminalitas yang tidak terdeteksi penegak hukum. Sebaliknya, residivisme lebih merupakan data formal karena dipidananya kembali seseorang akibat kejahatan yang baru. Tentu saja jumlah pengulangan kejahatan di masyarakat akan jauh lebih tinggi. Meski demikian, ini juga terjadi dengan jumlah peristiwa kejahatan itu sendiri, di mana dark number (angka yang tidak tercatat secara formal) untuk tipologi kejahatan di luar pembunuhan masih tergolong tinggi. Karena itu, argumen bahwa residivisme adalah “normal” rasanya tidak terlalu berlebihan.
Kriminolog UI
Pascapelepasan lebih dari 30.000 narapidana melalui percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM, muncul isu meningkatnya kerawanan di masyarakat. Beberapa berita di media menambah kuat isu tersebut. Sejumlah narapidana yang dilepaskan kembali melakukan pelanggaran hukum. Publik menjadi cemas hingga menganggap kebijakan pelepasan tersebut hanya menambah buruk kondisi sosial.
Masalah residivisme atau pengulangan kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa residivisme adalah gejala “normal”, dalam arti selalu ada dalam jumlah tertentu di dunia. Studi-studi yang berupaya memprediksi residivisme pun dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan penjara dalam reformasi narapidana.
Penelitian menemukan berbagai variabel prediktif bagi terjadinya residivisme, seperti yang dikemukakan Farrington (1995), yaitu adanya perilaku antisosial sebelumnya, impulsivitas (dorongan untuk berperilaku jahat), rendahnya pendidikan dan pencapaian dalam hidup, kriminalitas yang pernah dilakukan anggota keluarga lainnya, kemiskinan, hingga pola asuh yang salah dari orang tua. Zamble dan Quinsey (1997) menambahkan, residivisme juga merupakan hasil dari adanya masalah yang belum terselesaikan selama masa pembinaan di penjara atau konsekuensi dari adanya masalah individu atau lingkungan setelah seorang narapidana bebas.
Memang ada istilah criminal persistence (lihat Zara dan Farrington, 2016), yaitu keberlanjutan kriminalitas yang tidak terdeteksi penegak hukum. Sebaliknya, residivisme lebih merupakan data formal karena dipidananya kembali seseorang akibat kejahatan yang baru. Tentu saja jumlah pengulangan kejahatan di masyarakat akan jauh lebih tinggi. Meski demikian, ini juga terjadi dengan jumlah peristiwa kejahatan itu sendiri, di mana dark number (angka yang tidak tercatat secara formal) untuk tipologi kejahatan di luar pembunuhan masih tergolong tinggi. Karena itu, argumen bahwa residivisme adalah “normal” rasanya tidak terlalu berlebihan.
Lihat Juga :