Pascapelepasan 30.000 Narapidana, Residivisme: Antara Fakta dan Narasi

Senin, 20 April 2020 - 08:01 WIB
loading...
Pascapelepasan 30.000...
Pascapelepasan lebih dari 30.000 narapidana melalui percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM, muncul isu meningkatnya kerawanan di masyarakat. Foto: dok/SINDOnews
A A A
Iqrak Sulhin
Kriminolog UI

Pascapelepasan lebih dari 30.000 narapidana melalui percepatan asimilasi dan pembebasan bersyarat oleh Kementerian Hukum dan HAM, muncul isu meningkatnya kerawanan di masyarakat. Beberapa berita di media menambah kuat isu tersebut. Sejumlah narapidana yang dilepaskan kembali melakukan pelanggaran hukum. Publik menjadi cemas hingga menganggap kebijakan pelepasan tersebut hanya menambah buruk kondisi sosial.

Masalah residivisme atau pengulangan kejahatan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa residivisme adalah gejala “normal”, dalam arti selalu ada dalam jumlah tertentu di dunia. Studi-studi yang berupaya memprediksi residivisme pun dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan penjara dalam reformasi narapidana.

Penelitian menemukan berbagai variabel prediktif bagi terjadinya residivisme, seperti yang dikemukakan Farrington (1995), yaitu adanya perilaku antisosial sebelumnya, impulsivitas (dorongan untuk berperilaku jahat), rendahnya pendidikan dan pencapaian dalam hidup, kriminalitas yang pernah dilakukan anggota keluarga lainnya, kemiskinan, hingga pola asuh yang salah dari orang tua. Zamble dan Quinsey (1997) menambahkan, residivisme juga merupakan hasil dari adanya masalah yang belum terselesaikan selama masa pembinaan di penjara atau konsekuensi dari adanya masalah individu atau lingkungan setelah seorang narapidana bebas.

Memang ada istilah criminal persistence (lihat Zara dan Farrington, 2016), yaitu keberlanjutan kriminalitas yang tidak terdeteksi penegak hukum. Sebaliknya, residivisme lebih merupakan data formal karena dipidananya kembali seseorang akibat kejahatan yang baru. Tentu saja jumlah pengulangan kejahatan di masyarakat akan jauh lebih tinggi. Meski demikian, ini juga terjadi dengan jumlah peristiwa kejahatan itu sendiri, di mana dark number (angka yang tidak tercatat secara formal) untuk tipologi kejahatan di luar pembunuhan masih tergolong tinggi. Karena itu, argumen bahwa residivisme adalah “normal” rasanya tidak terlalu berlebihan.

Secara umum, berbagai penelitian melihat residivisme dilatari oleh dua hal. Pertama, adanya permasalahan dengan efektivitas pembinaan narapidana di penjara. Faktor-faktor kriminogenik yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan belum berhasil diatasi selama proses pembinaan. Robert Martinson tahun 1974 bahkan sampai mengatakan nothing works atau pembinaan tidak berhasil sama sekali. Kedua, kurangnya kemampuan komunitas atau masyarakat secara umum memfasilitasi mantan narapidana yang telah bebas sehingga dapat bertahan hidup lebih baik. Salah satu yang paling menjadi persoalan adalah stigma mantan narapidana.

Tren Residivisme

Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang residivisme. Penelitian Buikhuisen dan Hoekstra yang dipublikasi dalam The British Journal of Criminology tahun 1974, misalnya, menemukan adanya perbedaan proporsi residivisme antara mantan narapidana yang kembali ke alamat awalnya dengan yang memutuskan pindah dari lingkungan tempat tinggal sebelumnya.

Proporsi residivisme untuk mereka yang kembali ke alamat sebelumnya lebih besar dibandingkan dengan mereka yang pindah, yaitu 76,1% (dari 247 narapidana yang tidak pindah yang diteliti) dibanding 59,8% (dari 204 narapidana yang pindah yang diteliti). Hal yang juga menarik dari penelitian ini, ditemukan bahwa salah faktor yang berkontribusi pada proporsi residivisme pada mereka yang tidak pindah tersebut adalah rendahnya stabilitas keluarga, yaitu sebesar 81,6%.

Data Bureau of Justice Statistics(BJS), Department of Justice Amerika Serikat pada April 2014 (analisis terhadap pola tahun 2005–2010) mencatat, dari 404.638 narapidana yang bebas dari penjara di 30 negara bagian pada 2005, 67,8% ditangkap kembali dalam rentang waktu tiga tahun setelah bebas. Angka ini meningkat menjadi 76,6% ketika rentang waktu dihitung sampai lima tahun setelah bebas. Dari narapidana yang bebas dalam rentang lima tahun ini, 36,8% ditangkap dalam waktu enam bulan setelah bebas dan 56,7% ditangkap pada akhir tahun pertama setelah bebas. Data BJS ini juga mencatat, dalam rentang lima tahun setelah bebas, ada empat bentuk kejahatan dengan proporsi residivisme tertinggi, yaitu kejahatan terkait properti (pencurian) 82,1%, kejahatan narkotika 76,9%, pelanggaran ketertiban sosial 73,6%, dan kejahatan kekerasan 71,3%.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1728 seconds (0.1#10.140)