Kirim Surat Terbuka, Denny Indrayana Berharap 'Dibantu' Jokowi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Calon Gubernur Kalimantan Selatan, Denny Indrayana mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) . Lantas apa isi surat terbuka tersebut?
Denny mengadu ke Jokowi perihal pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kalimantan Selatan pada awal Juni nanti. "Pada hari ini, saya menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang melaporkan situasi terakhir menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Kalsel dan bagaimana makin maraknya praktik politik uang dilakukan," ujar Denny dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Dia berharap Jokowi sebagai Kepala Negara memberikan atensi dan mengambil langkah pencegahan dan penindakan yang diperlukan. Misalnya dengan menurunkan aparat negara guna mencegah masifnya politik uang tersebut.
"Surat sudah saya kirimkan melalui WA ke Seskab dan Mensesneg," katanya.
Berikut isi surat terbuka Denny Indrayana kepada Presiden Jokowi:
Banjarbaru, 7 Mei 2021
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Di Istana Negara
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh,
Bapak Presiden, saya Denny Indrayana, calon gubernur Kalimantan Selatan. Maafkan saya mengirimkan surat ini kepada Presiden, dalam kapasitas Bapak sebagai Kepala Negara. Saya sebenarnya melakukan ini sebagai langkah terakhir, karena berbagai saluran lain dalam sistem pemilu kita tidak berjalan ataupun berfungsi sebagaimana seharusnya.
Saat ini, di Kalimantan Selatan akan dilaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan Gubernur, sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi. PSU akan dilaksanakan pada 9 Juni 2021, kurang sebulan sejak Hari Raya Idul Fitri, 1442 H. Tentu saja kita berharap, pelaksanaan PSU akan berjalan lancar, utamanya konsisten dalam menegakkan prinsip “Jujur dan Adil”.
Sayangnya, izin kami melaporkan Bapak Presiden, prinsip utama pemilu tersebut sudah sejak awal diciderai. Bantuan COVID-19 diselewengkan dengan gambar gubernur petahana saat itu, Sahbirin Noor. Tidak hanya itu, tandon air cuci tangan Covid-19, bedah rumah dan berbagai program pemerintah provinsi disalahgunakan untuk membantu pemenangan Paslon 1 (Sahbirin-Muhidin). Upaya kami melaporkan kepada Bawaslu Kalsel, tidak membuahkan hasil. Pengawas pemilu provinsi tersebut kesulitan menjaga independensi dan profesionalitasnya, karena memang sejak proses seleksinya cenderung disiapkan untuk menjadi bagian dari strategi pemenangan petahana. Persoalan yang jamak terjadi, bukan hanya di Kalsel saja.
Saat ini menjelang PSU 9 Juni, hal yang paling menantang lagi-lagi adalah maraknya politik uang. Bermula dari masifnya pembagian bakul yang berisi berbagai kebutuhan hidup, pembagian ikan, sayur-sayuran, dan lain-lain, serta tentu saja pembagian uang. Aparat pemerintahan dilibatkan, dari tingkat RT hingga ke level yang lebih tinggi, diberikan gaji bulanan selama proses PSU, untuk mendata dan mengumpulkan suara warga. Informasinya, Kepala Desa juga dilibatkan, juga dengan modus yang sama, gaji bulanan. Saya sudah menemukan faktanya di lapangan, sayangnya mereka masih berpikir keras untuk menjadi saksi, karena belum adanya jaminan keamanannya.
Saat ini, dengan berlindung di balik momentum lebaran, maka uang dibagikan atas nama berbagai jargon agama, padahal senyatanya adalah suap politik kepada pemilih di wilayah PSU. Sebagai contoh nyata, ada adik dari pengusaha kondang batubara di Kabupaten Tanah Bumbu, yang perusahaannya sedang berurusan dengan KPK karena penyuapan kepada petugas pajak, yang telah membagikan dana menjelang lebarannya kepada masyarakat di wilayah PSU. Semuanya mudah ditelusuri, tetapi lebih menantang untuk diproses hukum karena belum ada saksi yang berani bicara, sekali lagi karena mempertimbangkan keselamatannya.
Dalam situasi yang demikian, sistem pengawasan pemilu kita seharusnya mengambil tindakan tegas. Politik uang yang masif adalah alasan satu pasangan calon didiskualifikasi. Tetapi sebagaimana telah saya sampaikan, Bawaslu belum berfungsi normal. Saya sendiri sudah kehilangan semangat untuk melapor, karena bisa diduga hasilnya akan membuang-buang tenaga semata. Meskipun demikian, jika saja pun Bawaslu serius ingin memberantas maraknya politik uang tersebut, maka mereka toh seharusnya tidak perlu menunggu laporan kami, karena ada mekanisme Bawaslu sendiri bisa mendapatkan temuan lapangan, dan menindaklanjutinya menjadi proses hukum. Namun, harapan Bawaslu akan mengambil tindakan hukum yang tegas demikian kelihatannya hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan.
Berangkat dari situasi yang sedemikian mengganggu rasa kejujuran dan keadilan pemilu, maka saya dengan ini meminta perhatian kepada Presiden RI. Inilah langkah tersisa yang saya harapkan masih mungkin membawa perubahan. Kami bermohon ada langkah-langkah pencegahan dan penindakan yang lebih konkrit bisa didorong oleh Presiden selaku Kepala Negara, untuk menjaga agar PSU Pilgub Kalsel tetap berjalan jujur dan adil.
Kami, paslon nomor 2, Haji Denny-Haji Difri, meminta ada penjagaan aparat negara yang diturunkan ke lapangan menjelang PSU, bukan hanya untuk menjaga agar tertib dan aman, tetapi lebih jauh, agar pembagian politik uang tidak leluasa dilakukan. Kami meyakini, hanya dengan aparat negara yang ikut menjaga agar “serangan fajar” tidak terjadi, maka PSU Pilgub Kalsel yang jujur dan adil, masih mempunyai harapan. Dengan demikian, rakyat pemilih di Kalsel akan lebih memilih berdasarkan “mata hati”, bukan “mata uang”.
Demikian harapan dan surat terbuka ini kami sampaikan, sebagai bagian dari ikhtiar kami selaku warga negara yang cinta Indonesia, dan cinta pemilu yang jujur dan adil, tanpa politik uang, tanpa politik curang. Besar harapan kami, Bapak Presiden memberikan atensi dan mengabulkan permohonan kami, agar ada aparat negara yang mengawal PSU Pilgub Kalsel, supaya proses pembagian uang tidak dibiarkan terjadi dan menciderai proses demokrasi di Tanah Air kita.
Denny mengadu ke Jokowi perihal pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kalimantan Selatan pada awal Juni nanti. "Pada hari ini, saya menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi yang melaporkan situasi terakhir menjelang Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur Kalsel dan bagaimana makin maraknya praktik politik uang dilakukan," ujar Denny dalam keterangannya, Jumat (7/5/2021).
Dia berharap Jokowi sebagai Kepala Negara memberikan atensi dan mengambil langkah pencegahan dan penindakan yang diperlukan. Misalnya dengan menurunkan aparat negara guna mencegah masifnya politik uang tersebut.
"Surat sudah saya kirimkan melalui WA ke Seskab dan Mensesneg," katanya.
Berikut isi surat terbuka Denny Indrayana kepada Presiden Jokowi:
Banjarbaru, 7 Mei 2021
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak Ir. H. Joko Widodo
Di Istana Negara
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh,
Bapak Presiden, saya Denny Indrayana, calon gubernur Kalimantan Selatan. Maafkan saya mengirimkan surat ini kepada Presiden, dalam kapasitas Bapak sebagai Kepala Negara. Saya sebenarnya melakukan ini sebagai langkah terakhir, karena berbagai saluran lain dalam sistem pemilu kita tidak berjalan ataupun berfungsi sebagaimana seharusnya.
Saat ini, di Kalimantan Selatan akan dilaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan Gubernur, sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi. PSU akan dilaksanakan pada 9 Juni 2021, kurang sebulan sejak Hari Raya Idul Fitri, 1442 H. Tentu saja kita berharap, pelaksanaan PSU akan berjalan lancar, utamanya konsisten dalam menegakkan prinsip “Jujur dan Adil”.
Sayangnya, izin kami melaporkan Bapak Presiden, prinsip utama pemilu tersebut sudah sejak awal diciderai. Bantuan COVID-19 diselewengkan dengan gambar gubernur petahana saat itu, Sahbirin Noor. Tidak hanya itu, tandon air cuci tangan Covid-19, bedah rumah dan berbagai program pemerintah provinsi disalahgunakan untuk membantu pemenangan Paslon 1 (Sahbirin-Muhidin). Upaya kami melaporkan kepada Bawaslu Kalsel, tidak membuahkan hasil. Pengawas pemilu provinsi tersebut kesulitan menjaga independensi dan profesionalitasnya, karena memang sejak proses seleksinya cenderung disiapkan untuk menjadi bagian dari strategi pemenangan petahana. Persoalan yang jamak terjadi, bukan hanya di Kalsel saja.
Saat ini menjelang PSU 9 Juni, hal yang paling menantang lagi-lagi adalah maraknya politik uang. Bermula dari masifnya pembagian bakul yang berisi berbagai kebutuhan hidup, pembagian ikan, sayur-sayuran, dan lain-lain, serta tentu saja pembagian uang. Aparat pemerintahan dilibatkan, dari tingkat RT hingga ke level yang lebih tinggi, diberikan gaji bulanan selama proses PSU, untuk mendata dan mengumpulkan suara warga. Informasinya, Kepala Desa juga dilibatkan, juga dengan modus yang sama, gaji bulanan. Saya sudah menemukan faktanya di lapangan, sayangnya mereka masih berpikir keras untuk menjadi saksi, karena belum adanya jaminan keamanannya.
Saat ini, dengan berlindung di balik momentum lebaran, maka uang dibagikan atas nama berbagai jargon agama, padahal senyatanya adalah suap politik kepada pemilih di wilayah PSU. Sebagai contoh nyata, ada adik dari pengusaha kondang batubara di Kabupaten Tanah Bumbu, yang perusahaannya sedang berurusan dengan KPK karena penyuapan kepada petugas pajak, yang telah membagikan dana menjelang lebarannya kepada masyarakat di wilayah PSU. Semuanya mudah ditelusuri, tetapi lebih menantang untuk diproses hukum karena belum ada saksi yang berani bicara, sekali lagi karena mempertimbangkan keselamatannya.
Dalam situasi yang demikian, sistem pengawasan pemilu kita seharusnya mengambil tindakan tegas. Politik uang yang masif adalah alasan satu pasangan calon didiskualifikasi. Tetapi sebagaimana telah saya sampaikan, Bawaslu belum berfungsi normal. Saya sendiri sudah kehilangan semangat untuk melapor, karena bisa diduga hasilnya akan membuang-buang tenaga semata. Meskipun demikian, jika saja pun Bawaslu serius ingin memberantas maraknya politik uang tersebut, maka mereka toh seharusnya tidak perlu menunggu laporan kami, karena ada mekanisme Bawaslu sendiri bisa mendapatkan temuan lapangan, dan menindaklanjutinya menjadi proses hukum. Namun, harapan Bawaslu akan mengambil tindakan hukum yang tegas demikian kelihatannya hanya akan menjadi harapan tanpa kenyataan.
Berangkat dari situasi yang sedemikian mengganggu rasa kejujuran dan keadilan pemilu, maka saya dengan ini meminta perhatian kepada Presiden RI. Inilah langkah tersisa yang saya harapkan masih mungkin membawa perubahan. Kami bermohon ada langkah-langkah pencegahan dan penindakan yang lebih konkrit bisa didorong oleh Presiden selaku Kepala Negara, untuk menjaga agar PSU Pilgub Kalsel tetap berjalan jujur dan adil.
Kami, paslon nomor 2, Haji Denny-Haji Difri, meminta ada penjagaan aparat negara yang diturunkan ke lapangan menjelang PSU, bukan hanya untuk menjaga agar tertib dan aman, tetapi lebih jauh, agar pembagian politik uang tidak leluasa dilakukan. Kami meyakini, hanya dengan aparat negara yang ikut menjaga agar “serangan fajar” tidak terjadi, maka PSU Pilgub Kalsel yang jujur dan adil, masih mempunyai harapan. Dengan demikian, rakyat pemilih di Kalsel akan lebih memilih berdasarkan “mata hati”, bukan “mata uang”.
Demikian harapan dan surat terbuka ini kami sampaikan, sebagai bagian dari ikhtiar kami selaku warga negara yang cinta Indonesia, dan cinta pemilu yang jujur dan adil, tanpa politik uang, tanpa politik curang. Besar harapan kami, Bapak Presiden memberikan atensi dan mengabulkan permohonan kami, agar ada aparat negara yang mengawal PSU Pilgub Kalsel, supaya proses pembagian uang tidak dibiarkan terjadi dan menciderai proses demokrasi di Tanah Air kita.
(kri)