Perlu Diplomasi Khusus untuk Perjuangkan Pekerja Migran Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Diplomasi khusus dinilai diperlukan agar pekerja migran Indonesia mendapatkan hak-haknya di luar negeri sehingga mendapatkan kepastian bekerja dan menjalankan kehidupan dengan baik.
"Masih banyak pekerjaan rumah terkait penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Belum lagi problem yang harus dihadapi di masa pandemi sehingga perlu penanganan yang lebih baik dari para pemangku kepentingan,"
tutur Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat ketika membuka diskusi daring bertajuk encari Kepastian Nasib Pekerja Migran Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/5/2021).
Lestari menegaskan, perhatian terhadap pekerja migran di kawasan ASEAN sebenarnya sudah dicanangkan pada November 2020 saat digelarnya 13th ASEAN Forum on Migrant Labour.
Pada forum itu, tambah perempuan yang biasa disapa Rerie itu, disepakati kemudahan akses terkait pelayanan kesehatan, akses informasi, hak sebagai pekerja, akses untuk perlakuan yang adil, perlindungan sosial, jaminan kebutuhan finansial sampai kembali bekerja.
Tidak hanya itu, lanjut dia, forum tersebut merekomendasikan setiap negara untuk memberikan jaminan sosial dan keamanan bagi pekerja migran, serta jaminan kesehatan darurat di masa pandemi.
Kemudahan untuk melayani para calon pekerja migran, sambung dia, juga sudah dilakukan pemerintah lewat pelayanan satu atap yang menyediakan layanan kependudukan, kesehatan serta keimigrasian.
Pada intinya, lanjut Rerie, pemerintah ingin memastikan terpenuhinya sejumlah jaminan hukum, kesehatan dan finansial untuk pekerja migran Indonesia di sejumlah negara penempatan.
Sementara itu, Founder Migrant Care Anis Hidayah mengatakan di masa pandemi ini 164 juta pekerja migran di dunia, termasuk di Indonesia, terdampak.
Bahkan, tambah Anis, Organisasi Perburuhan Dunia/ILO memberi rekomendasi agar pekerja migran tetap terlindungi di masa pandemi Covid-19.
Terkait penanganan pekerja migran Indonesia, kata dia, ada kendala serius terkait data yang tidak sinkron. Bank Dunia mencatat ada 9 juta pekerja migran Indonesia, sedangkan catatan Pemerintah hanya 5,3 juta pekerja migran asal Indonesia.
"Masalah inkonsistensi data ini harus segera diatasi," ujarnya.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja migran Indonesia, kata dia, cukup memprihatinkan. Sebanyak 20% pekerja migran Indonesia, ungkap Anis, tidak digaji lagi di masa pandemi ini, akibatnya mereka tidak bisa lagi mengirim uang ke keluarganya di kampung halaman. Sementara 16,6% pekerja migran lainnya mengalami tindak kekerasan.
Pakar hukum Universitas Pasundan, Atang Irawan menilai masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia sangat pelik. Hal itu salah satunya karena banyaknya kementerian dan lembaga yang terlibat sehingga berpotensi terjadi ego sektoral yang menghambat.
Selain itu, kata Atang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan pelaksanaan yang diamanatkan undang-undang tersebut belum juga diterbitkan.
Setidaknya, lanjut Atang, ada 28 peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut, baru empat peraturan pelaksanaan yang ada.
Akibatnya, kata dia, manfaat keberadaan UU Nomor 18 Tahun 2017 itu belum sepenuhnya dirasakan oleh para pekerja migran Indonesia.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonsia (BP2MI) Benny Rhamdani mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang menginisiasi agar daerah-daerah ikut memberikan perlindungan kepada para calon pekerja migran.
Dengan demikian, kata dia, para pekerja migran diharapkan mendapatkan perlindungan yang baik sejak dari kampung halamannya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, lanjut Benny, pihaknya bersinergi dengan Satgas Covid-19 dan sejumlah daerah untuk mengantisipasi kedatangan 49.682 pekerja migran yang habis kontrak kerjanya pada April-Mei 2021.
Di akhir diskusi, jurnalis senior, Saur Hutabarat menegaskan untuk memastikan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, hak memegang paspor harus berada di tangan yang para pekerja itu sendiri.
Atase Ketenagakerjaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia, menurut Saur, harus berasal dari Kementerian Luar Negeri yang memiliki kemampuan diplomasi.
Diskusi dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah Arimbi Heroepoetri, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Ketua DPP Partai Nasdem, Koordbid Kebijakan Publik dan Isu Strategis) Suyoto sebagai narasumber serta Farid Assifa, seorang jurnalis sebagai penanggap.
"Masih banyak pekerjaan rumah terkait penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri. Belum lagi problem yang harus dihadapi di masa pandemi sehingga perlu penanganan yang lebih baik dari para pemangku kepentingan,"
tutur Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat ketika membuka diskusi daring bertajuk encari Kepastian Nasib Pekerja Migran Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/5/2021).
Lestari menegaskan, perhatian terhadap pekerja migran di kawasan ASEAN sebenarnya sudah dicanangkan pada November 2020 saat digelarnya 13th ASEAN Forum on Migrant Labour.
Pada forum itu, tambah perempuan yang biasa disapa Rerie itu, disepakati kemudahan akses terkait pelayanan kesehatan, akses informasi, hak sebagai pekerja, akses untuk perlakuan yang adil, perlindungan sosial, jaminan kebutuhan finansial sampai kembali bekerja.
Tidak hanya itu, lanjut dia, forum tersebut merekomendasikan setiap negara untuk memberikan jaminan sosial dan keamanan bagi pekerja migran, serta jaminan kesehatan darurat di masa pandemi.
Kemudahan untuk melayani para calon pekerja migran, sambung dia, juga sudah dilakukan pemerintah lewat pelayanan satu atap yang menyediakan layanan kependudukan, kesehatan serta keimigrasian.
Pada intinya, lanjut Rerie, pemerintah ingin memastikan terpenuhinya sejumlah jaminan hukum, kesehatan dan finansial untuk pekerja migran Indonesia di sejumlah negara penempatan.
Sementara itu, Founder Migrant Care Anis Hidayah mengatakan di masa pandemi ini 164 juta pekerja migran di dunia, termasuk di Indonesia, terdampak.
Bahkan, tambah Anis, Organisasi Perburuhan Dunia/ILO memberi rekomendasi agar pekerja migran tetap terlindungi di masa pandemi Covid-19.
Terkait penanganan pekerja migran Indonesia, kata dia, ada kendala serius terkait data yang tidak sinkron. Bank Dunia mencatat ada 9 juta pekerja migran Indonesia, sedangkan catatan Pemerintah hanya 5,3 juta pekerja migran asal Indonesia.
"Masalah inkonsistensi data ini harus segera diatasi," ujarnya.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap pekerja migran Indonesia, kata dia, cukup memprihatinkan. Sebanyak 20% pekerja migran Indonesia, ungkap Anis, tidak digaji lagi di masa pandemi ini, akibatnya mereka tidak bisa lagi mengirim uang ke keluarganya di kampung halaman. Sementara 16,6% pekerja migran lainnya mengalami tindak kekerasan.
Pakar hukum Universitas Pasundan, Atang Irawan menilai masalah yang dihadapi pekerja migran Indonesia sangat pelik. Hal itu salah satunya karena banyaknya kementerian dan lembaga yang terlibat sehingga berpotensi terjadi ego sektoral yang menghambat.
Selain itu, kata Atang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia hingga saat ini belum memiliki peraturan pelaksanaan yang diamanatkan undang-undang tersebut belum juga diterbitkan.
Setidaknya, lanjut Atang, ada 28 peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut, baru empat peraturan pelaksanaan yang ada.
Akibatnya, kata dia, manfaat keberadaan UU Nomor 18 Tahun 2017 itu belum sepenuhnya dirasakan oleh para pekerja migran Indonesia.
Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonsia (BP2MI) Benny Rhamdani mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang menginisiasi agar daerah-daerah ikut memberikan perlindungan kepada para calon pekerja migran.
Dengan demikian, kata dia, para pekerja migran diharapkan mendapatkan perlindungan yang baik sejak dari kampung halamannya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, lanjut Benny, pihaknya bersinergi dengan Satgas Covid-19 dan sejumlah daerah untuk mengantisipasi kedatangan 49.682 pekerja migran yang habis kontrak kerjanya pada April-Mei 2021.
Di akhir diskusi, jurnalis senior, Saur Hutabarat menegaskan untuk memastikan perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, hak memegang paspor harus berada di tangan yang para pekerja itu sendiri.
Atase Ketenagakerjaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia, menurut Saur, harus berasal dari Kementerian Luar Negeri yang memiliki kemampuan diplomasi.
Diskusi dimoderatori oleh Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah Arimbi Heroepoetri, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, Ketua DPP Partai Nasdem, Koordbid Kebijakan Publik dan Isu Strategis) Suyoto sebagai narasumber serta Farid Assifa, seorang jurnalis sebagai penanggap.
(dam)