Menakar Peluang Partai Baru: Besar atau Mati dengan Sendirinya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pertarungan politik tak mengenal pandemi Covid-19. Para politikus Indonesia bahkan makin menggalakan gerakan dalam upaya membesarkan partai baru. Ada dua partai diprediksi menambah ramai jagat perpolitikan nasional.
Keduanya sempalan partai lama. Pertama, Partai Gelora Indonesia yang sudah resmi mendapatkan surat dari Kementerian Hukum dan HAM. Partai ini sempalan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Satu lagi yang disebut-sebut akan pecah menjadi dua adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Kelompok loyalis Amien Rais sedang mematangkan pembentukan partai baru.
Pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan, peluang partai baru untuk kompetitif selalu terbuka, walaupun tidak mudah. Berdasarkan survei-survei, selalu ada 25-30 persen masyarakat yang memilih oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Khusus sempalan PAN, ada keuntungan karena Amien Rais merupakan simbol oposisi bersama PKS. "Ada potensi oposisi di masyarakat. Berarti potensi suara pada Pemilu 2024, kalau Amien Rais mampu membidik peluang itu. Namun tidak mudah," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (19/5/2020). ( ).
Nasib Partai Gelora Indonesia pun diprediksi tak akan jauh berbeda dengan partai-partai baru lain yang gagal ke Senayan. Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4 persen menjadi tembok besar untuk partai baru. Belum lagi, ceruk pasar pemilih nasional sudah sangat sempit. Setidaknya, ada dua partai besar yang selalu stabil di tiga besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golongan Karya (Golkar).
Saat ini dua partai menyodok ke empat besar, yakni Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Popularitas dan elektabilitas Prabowo sebagai capres berhasil mengerek Gerindra dari 26 kursi menjadi 73 kursi di Senayan.
Gerindra dan Nasdem boleh dibilang partai baru paling moncer, yang tidak lahir langsung pada awal reformasi. Menurut Jayadi, syarat partai menjadi besar itu harus memiliki logistik yang besar, publikasi media, dan tokoh populer. Gerindra jelas punya Prabowo dan Nasdem mempunyai politikus kawakan Surya Paloh. Bahkan, Surya menyokong Nasdem dengan kekuatan jaringan medianya.
Pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan, masalah partai baru itu tidak mempunyai perbedaan dengan partai lama. Ideologi nasionalis sudah dimiliki Golkar dan PDIP. Yang berideologi agama, lebih banyak lagi, seperti PKB, PAN, PPP, PKS. Hanya Demokrat yang menggabungkan kedua, nasionalis-religius. "Karena partai baru tidak ada diferensiasi yang paling kuat," ucapnya kepada SINDOnews, Kamis (21/5/2020).
Semua partai baru: Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Garuda, Berkarya, dan Perindo, nyungsep pada pemilu lalu. Partai lama, Hanura, ikut tak lolos Senayan. Ada partai lama, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), seperti hidup segan, mati tak mau. Mereka tak pernah beranjak dari status partai gurem.
Namun, bukan berarti partai baru tertutup untuk menembus Senayan dan menjadi besar. Ada celah-celah yang bisa digarap tapi butuh kerja keras. Dalam dua tahun terakhir, suara masyarakat yang oposisi cenderung berkumpul dan menjadi pendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan .
Keduanya sempalan partai lama. Pertama, Partai Gelora Indonesia yang sudah resmi mendapatkan surat dari Kementerian Hukum dan HAM. Partai ini sempalan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Satu lagi yang disebut-sebut akan pecah menjadi dua adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Kelompok loyalis Amien Rais sedang mematangkan pembentukan partai baru.
Pengamat politik Djayadi Hanan mengatakan, peluang partai baru untuk kompetitif selalu terbuka, walaupun tidak mudah. Berdasarkan survei-survei, selalu ada 25-30 persen masyarakat yang memilih oposisi terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Khusus sempalan PAN, ada keuntungan karena Amien Rais merupakan simbol oposisi bersama PKS. "Ada potensi oposisi di masyarakat. Berarti potensi suara pada Pemilu 2024, kalau Amien Rais mampu membidik peluang itu. Namun tidak mudah," ujarnya kepada SINDOnews, Selasa (19/5/2020). ( ).
Nasib Partai Gelora Indonesia pun diprediksi tak akan jauh berbeda dengan partai-partai baru lain yang gagal ke Senayan. Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4 persen menjadi tembok besar untuk partai baru. Belum lagi, ceruk pasar pemilih nasional sudah sangat sempit. Setidaknya, ada dua partai besar yang selalu stabil di tiga besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golongan Karya (Golkar).
Saat ini dua partai menyodok ke empat besar, yakni Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Popularitas dan elektabilitas Prabowo sebagai capres berhasil mengerek Gerindra dari 26 kursi menjadi 73 kursi di Senayan.
Gerindra dan Nasdem boleh dibilang partai baru paling moncer, yang tidak lahir langsung pada awal reformasi. Menurut Jayadi, syarat partai menjadi besar itu harus memiliki logistik yang besar, publikasi media, dan tokoh populer. Gerindra jelas punya Prabowo dan Nasdem mempunyai politikus kawakan Surya Paloh. Bahkan, Surya menyokong Nasdem dengan kekuatan jaringan medianya.
Pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan, masalah partai baru itu tidak mempunyai perbedaan dengan partai lama. Ideologi nasionalis sudah dimiliki Golkar dan PDIP. Yang berideologi agama, lebih banyak lagi, seperti PKB, PAN, PPP, PKS. Hanya Demokrat yang menggabungkan kedua, nasionalis-religius. "Karena partai baru tidak ada diferensiasi yang paling kuat," ucapnya kepada SINDOnews, Kamis (21/5/2020).
Semua partai baru: Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Garuda, Berkarya, dan Perindo, nyungsep pada pemilu lalu. Partai lama, Hanura, ikut tak lolos Senayan. Ada partai lama, seperti Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), seperti hidup segan, mati tak mau. Mereka tak pernah beranjak dari status partai gurem.
Namun, bukan berarti partai baru tertutup untuk menembus Senayan dan menjadi besar. Ada celah-celah yang bisa digarap tapi butuh kerja keras. Dalam dua tahun terakhir, suara masyarakat yang oposisi cenderung berkumpul dan menjadi pendukung Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan .