Soal Muslim Uighur, DPR: China Tinggal Buktikan Tak Ada Pelanggaran HAM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kedutaan Besar China di Indonesia menuding media massa di Indonesia telah menurunkan pemberitaan yang tidak benar mengenai Muslim Uighur di Xinjiang. Salah satunya, dengan mengutip atau merilis laporan dari sebagian media Barat yang memberitakan isu pelanggaran HAM berat yang menimpa Muslim Uighur.
Anggota Komisi I DPR RI, Al Muzamil Yusuf menilai cara Pemerintah China membela diri dengan mempertanyakan kredibilitas dan cara kerja media massa Internasional khususnya Indonesia seputar dugaan peristiwa kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur adalah pernyataan politik yang hampa.
“Alias lips service. (China) Tidak berani membuktikan hal-hal yang konkrit seperti menunjukkan kebijakan hidup bebas tanpa penyiksaan dan penghormatan HAM setiap pribadi Muslim Uighur,” ujar Al Muzamil Yusuf kepada wartawan, Selasa (27/4/2021).
China seyogianya menunjukkan kebijakan politik mereka seperti kebebasan Muslim Uighur untuk melaksanakan ibadah, tidak memaksa muslimah Uighur menikah dengan pemeluk atheis atau tidak memisahkan anak-anak Uighur dari orang tuanya kepada dunia melalui media.
“Tidak mungkin muslim sedunia akan menghormati negara China selagi saudara mereka di Uighur tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia," tuturnya.
“Dunia sudah dikuasai teknologi tinggi. Sulit bagi negara manapun untuk menutup-nutupi kebijakan represif dan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Uighur,” tandasnya.
Senada dengan DPR RI, pusat kajian kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengatakan tudingan China terhadap kerja jurnalis internasional khususnya Indonesia adalah bentuk kepanikan China melihat permasalahan Uighur masih menjadi isu pelanggaran berat HAM dunia.
“Ini mereka (China) panik. Apalagi terakhir di Indonesia, wartawan dalam dan luar negeri banyak yang meliput serta mewartawakan dengan masif, aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Islam di Kedubes China sampai viral di media massa dan media sosial dunia,” ujar Peneliti CENTRIS, AB Solissa saat dihubungi wartawan, Senin, (19/4/2021).
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, Aliansi Mahasiswa Islam meminta China untuk menghentikan pembantaian Muslim Uighur, stop perkosa dan jadikan Muslimah Uighur sebagai budak seks, hingga ajakan untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin 2022 di China sebelum pelanggaran berat HAM berakhir.
CENTRIS menilai kerja para wartawan di Indonesia, telah sesuai dengan kaedah, prinsip dasar dan kode etik jurnalistik yang mengedepankan fakta dari sebuah peristiwa, bukan asumsi apalagi opini yang mereka tulis di medianya.
Bahkan, tidak sedikit jurnalis Tanah Air dan dunia yang akhirnya dapat mewartakan fakta dari dugaan pelanggaran berat HAM yang menimpa Muslim Uighur ditengah ketatnya aturan dan pengawasan otoritas China khususnya kepada media yang masuk wilayah mereka, melalui investigasi reports yang dipublish dan dapat kita lihat di berbagai media massa terpercaya.
“Jangan pertanyakan apalagi menyangsikan kerja jurnalistik media massa mainstream Indonesia dan dunia yang telah teruji kredibilitasnya sebagai mata dan jendela dunia,” pungkas AB Solissa.
Anggota Komisi I DPR RI, Al Muzamil Yusuf menilai cara Pemerintah China membela diri dengan mempertanyakan kredibilitas dan cara kerja media massa Internasional khususnya Indonesia seputar dugaan peristiwa kejahatan kemanusiaan terhadap Muslim Uighur adalah pernyataan politik yang hampa.
“Alias lips service. (China) Tidak berani membuktikan hal-hal yang konkrit seperti menunjukkan kebijakan hidup bebas tanpa penyiksaan dan penghormatan HAM setiap pribadi Muslim Uighur,” ujar Al Muzamil Yusuf kepada wartawan, Selasa (27/4/2021).
China seyogianya menunjukkan kebijakan politik mereka seperti kebebasan Muslim Uighur untuk melaksanakan ibadah, tidak memaksa muslimah Uighur menikah dengan pemeluk atheis atau tidak memisahkan anak-anak Uighur dari orang tuanya kepada dunia melalui media.
“Tidak mungkin muslim sedunia akan menghormati negara China selagi saudara mereka di Uighur tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai manusia," tuturnya.
“Dunia sudah dikuasai teknologi tinggi. Sulit bagi negara manapun untuk menutup-nutupi kebijakan represif dan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di Uighur,” tandasnya.
Senada dengan DPR RI, pusat kajian kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) mengatakan tudingan China terhadap kerja jurnalis internasional khususnya Indonesia adalah bentuk kepanikan China melihat permasalahan Uighur masih menjadi isu pelanggaran berat HAM dunia.
“Ini mereka (China) panik. Apalagi terakhir di Indonesia, wartawan dalam dan luar negeri banyak yang meliput serta mewartawakan dengan masif, aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Islam di Kedubes China sampai viral di media massa dan media sosial dunia,” ujar Peneliti CENTRIS, AB Solissa saat dihubungi wartawan, Senin, (19/4/2021).
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, Aliansi Mahasiswa Islam meminta China untuk menghentikan pembantaian Muslim Uighur, stop perkosa dan jadikan Muslimah Uighur sebagai budak seks, hingga ajakan untuk memboikot Olimpiade Musim Dingin 2022 di China sebelum pelanggaran berat HAM berakhir.
CENTRIS menilai kerja para wartawan di Indonesia, telah sesuai dengan kaedah, prinsip dasar dan kode etik jurnalistik yang mengedepankan fakta dari sebuah peristiwa, bukan asumsi apalagi opini yang mereka tulis di medianya.
Bahkan, tidak sedikit jurnalis Tanah Air dan dunia yang akhirnya dapat mewartakan fakta dari dugaan pelanggaran berat HAM yang menimpa Muslim Uighur ditengah ketatnya aturan dan pengawasan otoritas China khususnya kepada media yang masuk wilayah mereka, melalui investigasi reports yang dipublish dan dapat kita lihat di berbagai media massa terpercaya.
“Jangan pertanyakan apalagi menyangsikan kerja jurnalistik media massa mainstream Indonesia dan dunia yang telah teruji kredibilitasnya sebagai mata dan jendela dunia,” pungkas AB Solissa.
(kri)