Ambisi Bumi Lebih Bersih
loading...
A
A
A
Pekan lalu, tepatnya Kamis, 22 April 2021, kita memperingati Hari Bumi. Ini merupakan peringatan Hari Bumi kedua yang dilaksanakan di masa Covid-19. Meski demikian, hal itu tak menyurutkan para pemimpin negara untuk tetap berkomitmen dalam upaya memperbaiki bumi kita tercinta.
Bentuk komitmen para pemimpin negara dalam mengurusi bumi ini salah satunya dilakukan dengan digelarnya inisiatif Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang digelar secaraonline. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu peserta yang memberikan pandangannya dari Istana Bogor.
Dalam KTT tersebut Presiden AS Joe Biden selaku pengundang mendatangkan 40 pimpinan negara, termasuk Jokowi. Para pemimpin lain dari negara-negara ekonomi raksasa seperti China juga tampak hadir.
Dari sekian banyak agenda yang disampaikan, isu energi terbarukan (renewable energy) dan energi bersih menjadi salah satu perhatian penting dalam KTT tersebut. Bahkan Biden selaku pemrakarsa mengingatkan kembali perlunya menambah investasi di sektor energi terbarukan.
Apa yang disampaikan Biden pada KTT tersebut seolah menegaskan kembali apa yang disampaikannya pada kampanye Pemilu AS di mana dia berhadapan dengan kompetitornya, yakni Donald Trump. Di hadapan para peserta KTT yang hadir secara virtual, Biden menegaskan pentingnya para pemimpin melakukan langkah lebih banyak untuk menghadapi perubahan iklim.
Pesan Biden saat itu antara lain, para pemimpin negara harus mengurangi emisi gas buang yang menurutnya tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua orang.
Akan tetapi komitmen yang digaungkan para pemimpin dunia untuk mengurangi pemanasan global sedikit mendapat sindiran dari Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol. Sehari setelah pertama KTT dibuka, dia memperingatkan bahwa negara-negara di dunia pada saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi pada memburuknya udara akibat polusi.
Birol mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pada data IEA yang menyebutkan bahwa tahun ini permintaan batu bara di dunia masih tumbuh sekitar 4,5%, terutama untuk menyokong kebutuhan pembangkit listrik. Untuk itu Birol menyebut bahwa saat ini data yang ada tidak sesuai dengan retorika sehingga membuat kesenjangan antara udara bersih dengan ambisi para pemimpin dunia kian melebar.
“Kami tidak pulih dari Covid secara berkelanjutan. Kami masih tetap berada di jalur pemanasan global yang berbahaya,” ucap Birol seperti dikutipNew York Times.
Apa yang disampaikan oleh IEA sepertinya juga terasa di Tanah Air. Ambisi menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna energi bersih tampaknya masih jauh panggang dari api. Ini terlihat dari masih rendahnya persentase penggunaan energi baru terbarukan yang baru mencapai 11,3% dari target 23% pada 2025.
Kondisi ini, menurut pakar energi Iwa Garniwa, sangat disayangkan karena target 23% pada empat tahun ke depan kurang realistis. Dia memperkirakan, dalam kurun waktu hingga 2025, penambahan bauran energi hanya akan ada di kisaran 19–20%. Dengan demikian, kata dia, perlu akselerasi lebih cepat, terutama di masa transisi energi fosil ke EBT.
Terkait KTT Perubahan Iklim pada 22 April lalu, Presiden Jokowi yang memberikan sambutan secaraonlinemenyatakan bahwa Covid-19 dan resesi global membuat tantangan semakin kompleks. Untuk itu Presiden menyampaikan tiga pemikiran sebagai upaya menghadapi perubahan iklim di masa mendatang.
Pertama, kata Jokowi, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata dengan memberikan kepemimpinan melalui contoh nyata atauto lead by example.
Kedua, Jokowi mengusulkan agar memajukan “pembangunan hijau” untuk dunia yang lebih baik. Indonesia, kata dia, menyambut baik target sejumlah negara menujunet-zero emissionstahun 2050. Namun agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen pengurangan emisi pada 2030.
Akan tetapi, menurut Jokowi, negara berkembang akan melaksanakan komitmen serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan.
Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, kemitraan global harus diperkuat. Karena itu para pemimpin negara harus membangun kesepahaman dalam mencapainet-zero emissionsdan menuju UNFCCC – COP26 (United Nation Framework Convention on Climate Change – Conference of the Parties-26th) Glasgow.
Bentuk komitmen para pemimpin negara dalam mengurusi bumi ini salah satunya dilakukan dengan digelarnya inisiatif Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim yang digelar secaraonline. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi salah satu peserta yang memberikan pandangannya dari Istana Bogor.
Dalam KTT tersebut Presiden AS Joe Biden selaku pengundang mendatangkan 40 pimpinan negara, termasuk Jokowi. Para pemimpin lain dari negara-negara ekonomi raksasa seperti China juga tampak hadir.
Dari sekian banyak agenda yang disampaikan, isu energi terbarukan (renewable energy) dan energi bersih menjadi salah satu perhatian penting dalam KTT tersebut. Bahkan Biden selaku pemrakarsa mengingatkan kembali perlunya menambah investasi di sektor energi terbarukan.
Apa yang disampaikan Biden pada KTT tersebut seolah menegaskan kembali apa yang disampaikannya pada kampanye Pemilu AS di mana dia berhadapan dengan kompetitornya, yakni Donald Trump. Di hadapan para peserta KTT yang hadir secara virtual, Biden menegaskan pentingnya para pemimpin melakukan langkah lebih banyak untuk menghadapi perubahan iklim.
Pesan Biden saat itu antara lain, para pemimpin negara harus mengurangi emisi gas buang yang menurutnya tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua orang.
Akan tetapi komitmen yang digaungkan para pemimpin dunia untuk mengurangi pemanasan global sedikit mendapat sindiran dari Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol. Sehari setelah pertama KTT dibuka, dia memperingatkan bahwa negara-negara di dunia pada saat ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang berkontribusi pada memburuknya udara akibat polusi.
Birol mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pada data IEA yang menyebutkan bahwa tahun ini permintaan batu bara di dunia masih tumbuh sekitar 4,5%, terutama untuk menyokong kebutuhan pembangkit listrik. Untuk itu Birol menyebut bahwa saat ini data yang ada tidak sesuai dengan retorika sehingga membuat kesenjangan antara udara bersih dengan ambisi para pemimpin dunia kian melebar.
“Kami tidak pulih dari Covid secara berkelanjutan. Kami masih tetap berada di jalur pemanasan global yang berbahaya,” ucap Birol seperti dikutipNew York Times.
Apa yang disampaikan oleh IEA sepertinya juga terasa di Tanah Air. Ambisi menjadikan Indonesia sebagai negara pengguna energi bersih tampaknya masih jauh panggang dari api. Ini terlihat dari masih rendahnya persentase penggunaan energi baru terbarukan yang baru mencapai 11,3% dari target 23% pada 2025.
Kondisi ini, menurut pakar energi Iwa Garniwa, sangat disayangkan karena target 23% pada empat tahun ke depan kurang realistis. Dia memperkirakan, dalam kurun waktu hingga 2025, penambahan bauran energi hanya akan ada di kisaran 19–20%. Dengan demikian, kata dia, perlu akselerasi lebih cepat, terutama di masa transisi energi fosil ke EBT.
Terkait KTT Perubahan Iklim pada 22 April lalu, Presiden Jokowi yang memberikan sambutan secaraonlinemenyatakan bahwa Covid-19 dan resesi global membuat tantangan semakin kompleks. Untuk itu Presiden menyampaikan tiga pemikiran sebagai upaya menghadapi perubahan iklim di masa mendatang.
Pertama, kata Jokowi, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata dengan memberikan kepemimpinan melalui contoh nyata atauto lead by example.
Kedua, Jokowi mengusulkan agar memajukan “pembangunan hijau” untuk dunia yang lebih baik. Indonesia, kata dia, menyambut baik target sejumlah negara menujunet-zero emissionstahun 2050. Namun agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen pengurangan emisi pada 2030.
Akan tetapi, menurut Jokowi, negara berkembang akan melaksanakan komitmen serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan.
Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, kemitraan global harus diperkuat. Karena itu para pemimpin negara harus membangun kesepahaman dalam mencapainet-zero emissionsdan menuju UNFCCC – COP26 (United Nation Framework Convention on Climate Change – Conference of the Parties-26th) Glasgow.
(war)