Akankah Partai Gelora Gerus Suara PKS? Pengamat Ungkap Sejumlah Fakta
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejak era reformasi para elite politik silih berganti mendirikan partai. Ada yang berkembang dan lolos ke Senayan. Namun, tak sedikit yang tenggelam oleh superioritas partai besar dan lama.
(Baca juga: Partai Gelora Indonesia Kantongi SK Menkumham)
Yang terbaru adalah lahirnya Partai Gelora. Partai ini dibesut oleh mantan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq. Dengan partai baru, para politikus itu harus bekerja keras membangun jaringan dan infrastruktur. Tentu itu membutuhkan sokongan logistik yang besar.
Pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan Partai Gelora akan sulit lolos parliamentary threshold karena momentum kemunculannya tidak tepat. Apalagi para pendirinya merupakan wajah lama yang berasal dari PKS. Di sisi lain, “saudara tua” Partai Gelora itu sedang naik daun dalam kancah politik nasional.
"Ini fakta pada pemilu 2019, PKS mendapatkan suara 11.493.663 atau 8,21 persen. Naik signifikan dibanding pemilu 2014 yang hanya memperoleh 8.480.204 suara atau 6,79 persen," terangnya kepada SINDOnews, Kamis (21/5/2020).
(Baca juga: Pemerintah Tak Boleh Anggap Remeh Gerakan “Indonesia Terserah”)
Keberadaan Partai Gelora pun tidak akan menggerus pasar PKS. Sejumlah riset menunjukan lapisan menengah ke bawah dalam tubuh PKS justru merupakan kader yang loyal. Penambahan suara yang signifikan pada pemilu 2019 merupakan fakta yang tak bisa dibantah.
"Logikanya jika Gelora bisa menggerus PKS, pemilu 2019 harusnya suaranya jeblok karena Anis matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq keluar dari PKS menjelang pemilu. Mereka keluar, suara PKS malah bertambah," ujar dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ubedilah menilai daya pikat Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz sedang meredup dan memudar. Meski pernah menjadi elit bahkan Anis Matta sempat menduduki jabatan Presiden PKS, ketiganya dianggap pembelot. Tipologi segmen pasar dari ketiga tokoh Gelora itu masyarakat muslim perkotaan. Masalahnya. Sudah dikapling oleh PKS, PAN, PBB, dan sebagian PPP.
Sebagai partai baru, Gelora menghadapi partai-partai besar yang sudah lama bercokol dalam belantika politik nasional. Masalah partai baru adalah tidak punya diferensiasi yang kuat dengan partai lama. Gelora sendiri tidak jelas kemana pasarnya, yang paling mungkin bergesekan dengan PKS dan menggarap pasar muslim perkotaan.
Belum lagi, Gelora harus bersaing dengan partai baru yang sudah mengkavling pasar tertentu. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggarap segem anak muda. Partai Berkarya mengambil segmen eks Partai Golkar. Kemudian, segmen terbuka sudah dikavling Perindo.
"Apalagi Partai Gelora dari tokoh-tokohnya secara financial capital juga tidak sekuat tiga partai tersebut. Kalau mereka klaim memiliki financial capital sekuat tiga partai tersebut berarti ada pemilik modal yang mungkin berada dibalik mereka," pungkasnya.
(Baca juga: Partai Gelora Indonesia Kantongi SK Menkumham)
Yang terbaru adalah lahirnya Partai Gelora. Partai ini dibesut oleh mantan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq. Dengan partai baru, para politikus itu harus bekerja keras membangun jaringan dan infrastruktur. Tentu itu membutuhkan sokongan logistik yang besar.
Pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan Partai Gelora akan sulit lolos parliamentary threshold karena momentum kemunculannya tidak tepat. Apalagi para pendirinya merupakan wajah lama yang berasal dari PKS. Di sisi lain, “saudara tua” Partai Gelora itu sedang naik daun dalam kancah politik nasional.
"Ini fakta pada pemilu 2019, PKS mendapatkan suara 11.493.663 atau 8,21 persen. Naik signifikan dibanding pemilu 2014 yang hanya memperoleh 8.480.204 suara atau 6,79 persen," terangnya kepada SINDOnews, Kamis (21/5/2020).
(Baca juga: Pemerintah Tak Boleh Anggap Remeh Gerakan “Indonesia Terserah”)
Keberadaan Partai Gelora pun tidak akan menggerus pasar PKS. Sejumlah riset menunjukan lapisan menengah ke bawah dalam tubuh PKS justru merupakan kader yang loyal. Penambahan suara yang signifikan pada pemilu 2019 merupakan fakta yang tak bisa dibantah.
"Logikanya jika Gelora bisa menggerus PKS, pemilu 2019 harusnya suaranya jeblok karena Anis matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq keluar dari PKS menjelang pemilu. Mereka keluar, suara PKS malah bertambah," ujar dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Ubedilah menilai daya pikat Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz sedang meredup dan memudar. Meski pernah menjadi elit bahkan Anis Matta sempat menduduki jabatan Presiden PKS, ketiganya dianggap pembelot. Tipologi segmen pasar dari ketiga tokoh Gelora itu masyarakat muslim perkotaan. Masalahnya. Sudah dikapling oleh PKS, PAN, PBB, dan sebagian PPP.
Sebagai partai baru, Gelora menghadapi partai-partai besar yang sudah lama bercokol dalam belantika politik nasional. Masalah partai baru adalah tidak punya diferensiasi yang kuat dengan partai lama. Gelora sendiri tidak jelas kemana pasarnya, yang paling mungkin bergesekan dengan PKS dan menggarap pasar muslim perkotaan.
Belum lagi, Gelora harus bersaing dengan partai baru yang sudah mengkavling pasar tertentu. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggarap segem anak muda. Partai Berkarya mengambil segmen eks Partai Golkar. Kemudian, segmen terbuka sudah dikavling Perindo.
"Apalagi Partai Gelora dari tokoh-tokohnya secara financial capital juga tidak sekuat tiga partai tersebut. Kalau mereka klaim memiliki financial capital sekuat tiga partai tersebut berarti ada pemilik modal yang mungkin berada dibalik mereka," pungkasnya.
(maf)