ICW Sebut Penyuap Juliari Batubara Layak Dihukum 10 Tahun Penjara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jaksa penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta menghukum dua penyuap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara 4 tahun kurungan penjara. Kedua penyuap itu adalah bos PT Tigapilar Agro Utama Ardian Iskandar Maddanatja alias Ardian Maddanatja dan Harry Van Sidabukke.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan yang dijatuhkan kepada Ardian dan Sidabukke sangat rendah. "Sangat rendah dan mencederai hati masyarakat terdampak Covid-19 di wilayah Jabodebatek yang bansosnya dijadikan bancakan oleh komplotan Juliari," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (20/4/2021).
Kurnia menyebut permasalahan utama dari rendahnya tuntutan itu sebenarnya berada pada pengaturan pemberi suap dalam UU Tipikor. Sebab, regulasi tersebut hanya memungkinkan pemberi suap dijatuhi pidana maksimal lima tahun penjara (Pasal 5).
Baca juga: Kasus Bansos, Jaksa Tuntut Penyuap Juliari Batubara 4 Tahun Penjara
"Padahal, dalam keadaan tertentu, misalnya seperti yang dilakukan oleh dua terdakwa ini, mereka sangat layak dijatuhi hukuman maksimal atau setidaknya di atas 10 tahun penjara," katanya.
"Namun, di luar problematika regulasi, semestinya tuntutan penuntut umum dapat menjangkau pidana penjara maksimal pada Pasal 5 yakni lima tahun penjara. Selain itu, pengenaan denda juga tidak maksimal. Harusnya, dua pelaku suap itu dikenakan tuntutan denda sebesar Rp250 juta, bukan cuma Rp100 juta," katanya.
ICW, lanjut Kurnia, sejak awal sudah tidak meyakini KPK akan berpihak pada masyarakat dengan menuntaskan penanganan korupsi bansos. Sebab, sejak fase penyidikan, ICW sudah menemukan ada banyak kejanggalan dalam kinerja penindakan KPK.
Baca juga: KPK: Sebagian Besar Perilaku Korupsi dari Pelaku Usaha Berupa Penyuapan
Misalnya, KPK enggan untuk memanggil Herman Herry sebagai saksi. Padahal, terbukti, dari pengakuan salah seorang saksi, telah membeberkan informasi bahwa politikus PDIP itu mendapatkan kuota besar dari proyek pengadaan bansos ini.
"Selanjutnya, dalam beberapa kali proses penggeledahan, KPK juga gagal menemukan barang bukti. Pada konteks ini, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak internal KPK yang membocorkan informasi atau memperlambat proses penggeledahan," ungkapnya.
Tidak hanya pada proses penyidikan, ICW juga melihat penanganan perkara ini diperparah dalam fase penuntutan. Sebagai contoh, penuntut umum KPK tidak memasukkan maka Ihsan Yunus dalam surat dakwaan.
"Selain itu, Yogas yang pada awalnya disebut sebagai perantara Ihsan Yunus pun hilang dalam dakwaan. Padahal nama Ihsan Yunus dan Yogas secara klir terlihat oleh publik pada forum rekonstruksi yang dilakukan oleh Penyidik. Selanjutnya, pada forum persidangan pun Herman Herry tidak kunjung dimintai keterangan sebagai saksi," katanya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan yang dijatuhkan kepada Ardian dan Sidabukke sangat rendah. "Sangat rendah dan mencederai hati masyarakat terdampak Covid-19 di wilayah Jabodebatek yang bansosnya dijadikan bancakan oleh komplotan Juliari," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (20/4/2021).
Kurnia menyebut permasalahan utama dari rendahnya tuntutan itu sebenarnya berada pada pengaturan pemberi suap dalam UU Tipikor. Sebab, regulasi tersebut hanya memungkinkan pemberi suap dijatuhi pidana maksimal lima tahun penjara (Pasal 5).
Baca juga: Kasus Bansos, Jaksa Tuntut Penyuap Juliari Batubara 4 Tahun Penjara
"Padahal, dalam keadaan tertentu, misalnya seperti yang dilakukan oleh dua terdakwa ini, mereka sangat layak dijatuhi hukuman maksimal atau setidaknya di atas 10 tahun penjara," katanya.
"Namun, di luar problematika regulasi, semestinya tuntutan penuntut umum dapat menjangkau pidana penjara maksimal pada Pasal 5 yakni lima tahun penjara. Selain itu, pengenaan denda juga tidak maksimal. Harusnya, dua pelaku suap itu dikenakan tuntutan denda sebesar Rp250 juta, bukan cuma Rp100 juta," katanya.
ICW, lanjut Kurnia, sejak awal sudah tidak meyakini KPK akan berpihak pada masyarakat dengan menuntaskan penanganan korupsi bansos. Sebab, sejak fase penyidikan, ICW sudah menemukan ada banyak kejanggalan dalam kinerja penindakan KPK.
Baca juga: KPK: Sebagian Besar Perilaku Korupsi dari Pelaku Usaha Berupa Penyuapan
Misalnya, KPK enggan untuk memanggil Herman Herry sebagai saksi. Padahal, terbukti, dari pengakuan salah seorang saksi, telah membeberkan informasi bahwa politikus PDIP itu mendapatkan kuota besar dari proyek pengadaan bansos ini.
"Selanjutnya, dalam beberapa kali proses penggeledahan, KPK juga gagal menemukan barang bukti. Pada konteks ini, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak internal KPK yang membocorkan informasi atau memperlambat proses penggeledahan," ungkapnya.
Tidak hanya pada proses penyidikan, ICW juga melihat penanganan perkara ini diperparah dalam fase penuntutan. Sebagai contoh, penuntut umum KPK tidak memasukkan maka Ihsan Yunus dalam surat dakwaan.
"Selain itu, Yogas yang pada awalnya disebut sebagai perantara Ihsan Yunus pun hilang dalam dakwaan. Padahal nama Ihsan Yunus dan Yogas secara klir terlihat oleh publik pada forum rekonstruksi yang dilakukan oleh Penyidik. Selanjutnya, pada forum persidangan pun Herman Herry tidak kunjung dimintai keterangan sebagai saksi," katanya.
(abd)