Impor Vaksin Covid-19 Sebaiknya Tetap Dilakukan BUMN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkembangan pengadaan vaksin Covid-19 dalam dua pekan terakhir ini memperlihatkan gejala yang kurang baik dipandang dari sisi kepentingan nasional. Jumlah Vaksin dari AstraZeneca dan Sinovac mengalami perubahan jadwal akibat beberapa keadaan eksternal.
Publik sebenarnya belum mendapat informasi yang cukup mengapa kedatangan vaksin tidak sesuai jadwal yang disampaikan semula. Tentu saja ini soal manajemen dan soal reputasi dalam berbangsa. Banyak kalangan yang meminta agar pemerintah terbuka dan transparan soal ini.
Apalagi perubahan jadwal kedatangan vaksin ini dikaitkan dengan peran swasta untuk mendatangkan vaksin. Seperti diketahui, pada 1 Desember 2020 lalu Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan dengan tegas bahwa untuk melindungi kepentingan masyarakat dan bangsa, pihak swasta tidak diperbolehkan melakukan impor vaksin Covid.
Baca juga: Dampak Embargo India, Menkes: Stok Vaksin Indonesia Tinggal 7 Juta
Pengaturan ini ada dalam Perpres Nomor 99 Tahun 2020 dan kemudian dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 yang diundangkan 9 Febuari 2021. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa penugasan untuk importir vaksin dapat dilakukan melalui penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara atau penunjukkan langsung badan usaha sebagai penyedia swasta dan penunjukkan langsung badan usaha international.
Dalam Pasal 6 Perpres yang sama diuraikan lagi bahwa penunjukan langsung badan usaha penyedia swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Seharusnya Menkes harus berpendapat sama dengan Menteri BUMN.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia, Azmi Syahputra, mengatakan, isi muatan Perpres ini berpotensi mendatangkan interpretasi ganda ketika mengalihkan kewenangan atributi importasi vaksin dari BUMN diberikan kepada perusahaan swasta.
Baca juga: Nilai Impor Vaksin RI Meningkat, Belum Termasuk Vaksin Covid-19
Dosen Senior Fakultas Hukum ini yakin masyarakat percaya bila BUMN yang menyelenggarakan importasi maka bobot pengawasan berlapis, baik dari instansi pengawasan internal maupun aparat penegak hukum akan lebih dipercaya.
Namun bila diserahkan kepada swasta apakah tidak mungkin terjadi kesepakatan di bawah meja? Karena ada daya pikat dan daya tembus pengawasan serta pencarian barang bukti gratifikasi dan suap lebih sukar pada perusahaan swasta ketimbang pada BUMN.
"Wajar dong, jika banyak orang bertanya, mengapa hal sepenting ini harus diserahkan pada swasta," papara Azmi yang juga mendalami Ilmu Hukum Kesehatan ini.
Perubahan tersebut adalah sikap inkonsistensi pemerintah dan dapat mengakibatkan dampak hukum yang ditimbulkan termasuk penafsiran ganda terkait pengalihan kewenangan. Perlu didalami secara komprehensif dengan tidak mengabaikan dampak sosial jika importasi Vaksin Covid dilepas pada pihak swasta.
"Kita perlu secara objektif dan berani untuk lebih teliti kembali dan meninjau ulang isi Perpres yang membuka pintu regulasi baru yang berdampak pada keuangan negara," katanya.
Lihat Juga: Dukung Pengembangan Masyarakat, PT Pegadaian dan BPHN Bersinergi Membangun Desa Sadar Hukum
Publik sebenarnya belum mendapat informasi yang cukup mengapa kedatangan vaksin tidak sesuai jadwal yang disampaikan semula. Tentu saja ini soal manajemen dan soal reputasi dalam berbangsa. Banyak kalangan yang meminta agar pemerintah terbuka dan transparan soal ini.
Apalagi perubahan jadwal kedatangan vaksin ini dikaitkan dengan peran swasta untuk mendatangkan vaksin. Seperti diketahui, pada 1 Desember 2020 lalu Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan dengan tegas bahwa untuk melindungi kepentingan masyarakat dan bangsa, pihak swasta tidak diperbolehkan melakukan impor vaksin Covid.
Baca juga: Dampak Embargo India, Menkes: Stok Vaksin Indonesia Tinggal 7 Juta
Pengaturan ini ada dalam Perpres Nomor 99 Tahun 2020 dan kemudian dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2021 yang diundangkan 9 Febuari 2021. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa penugasan untuk importir vaksin dapat dilakukan melalui penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara atau penunjukkan langsung badan usaha sebagai penyedia swasta dan penunjukkan langsung badan usaha international.
Dalam Pasal 6 Perpres yang sama diuraikan lagi bahwa penunjukan langsung badan usaha penyedia swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri Kesehatan. Seharusnya Menkes harus berpendapat sama dengan Menteri BUMN.
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia, Azmi Syahputra, mengatakan, isi muatan Perpres ini berpotensi mendatangkan interpretasi ganda ketika mengalihkan kewenangan atributi importasi vaksin dari BUMN diberikan kepada perusahaan swasta.
Baca juga: Nilai Impor Vaksin RI Meningkat, Belum Termasuk Vaksin Covid-19
Dosen Senior Fakultas Hukum ini yakin masyarakat percaya bila BUMN yang menyelenggarakan importasi maka bobot pengawasan berlapis, baik dari instansi pengawasan internal maupun aparat penegak hukum akan lebih dipercaya.
Namun bila diserahkan kepada swasta apakah tidak mungkin terjadi kesepakatan di bawah meja? Karena ada daya pikat dan daya tembus pengawasan serta pencarian barang bukti gratifikasi dan suap lebih sukar pada perusahaan swasta ketimbang pada BUMN.
"Wajar dong, jika banyak orang bertanya, mengapa hal sepenting ini harus diserahkan pada swasta," papara Azmi yang juga mendalami Ilmu Hukum Kesehatan ini.
Perubahan tersebut adalah sikap inkonsistensi pemerintah dan dapat mengakibatkan dampak hukum yang ditimbulkan termasuk penafsiran ganda terkait pengalihan kewenangan. Perlu didalami secara komprehensif dengan tidak mengabaikan dampak sosial jika importasi Vaksin Covid dilepas pada pihak swasta.
"Kita perlu secara objektif dan berani untuk lebih teliti kembali dan meninjau ulang isi Perpres yang membuka pintu regulasi baru yang berdampak pada keuangan negara," katanya.
Lihat Juga: Dukung Pengembangan Masyarakat, PT Pegadaian dan BPHN Bersinergi Membangun Desa Sadar Hukum
(abd)