Pengambilalihan Pengelolaan TMII Harus Disertai Pemidanaan Korupsi

Jum'at, 09 April 2021 - 15:20 WIB
loading...
Pengambilalihan Pengelolaan...
Pengunjung melintas di depan gedung Keong Mas, TMII, Jakarta, Kamis (8/4/2021). Pengalihan pengelolaan TMII diharapkan tetap memperkokoh ketahanan budaya Indonesia. Foto/SINDOphoto/Yorri Farli
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2021 tentang Taman Mini Indonesia Indah ( TMII ). Kini, pengelolaan TMII diambilalih oleh pemerintah untuk mengoptimalkan aset negara senilai Rp20 Triliun tersebut. Sebab, TMII selama 44 tahun dikelola oleh Yayasan Harapan Kita yang diketuai Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Soeharto tidak menyetorkan pendapatan ke kas negara.

Terkait hal tersebut, pakar hukum sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai keputusan pemerintah mengambilalih pengelolaan TMII dari tangan Yayasan Harapan Kita sudah tepat dan strategis walaupun sangat terlambat dilakukan. Petrus menilai keputusan pemerintah itu patut diapresiasi karena berhasil menyelamatkan aset negara yang dikuasai oleh kroni-kroni Orde Baru atau putra-putri Soeharto secara melawan hukum.

"Meskipun pemerintah dengan mudah mengambilalih pengelolaan Yayasan Harapan Kita tanpa menggunakan upaya hukum, namun demikian baik Yayasan Harapan Kita selaku korporasi maupun para pengurusnya yaitu Tutut Hardiyanti R dan kawan-kawan harus dimintai pertanggungjawaban secara Tindak Pidana Korupsi, karena telah menguasai, mengelola dan menikmati aset-aset negara secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara dengan angka sangat fantastik," kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (9/4/2021).

Baca juga: Moeldoko Bantah Isu TMII Akan Dikelola Yayasan Keluarga Jokowi

Dia mengungkapkan, berdasarkan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menyatakan bahwa Upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap mempertahankan prinsip praduga tak bersalah dan Hak Asasi Manusia.

Namun, kata Petrus, sejak awal reformasi atau sudah 4 kali ganti Presiden mulai dari BJ Habibie hingga Presiden Jokowi, baru di era Pemerintahan Jokowi TAP MPR XI/MPR/1998 dilaksanakan dan sudah mulai menunjukan hasilnya. "Terakhir dengan pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita yang diketuai oleh Nyonya Siti Hardijanti Rukmana dan adik-adiknya beberapa waktu yang lalu," tutur Petrus.

Menurut Petrus, sejak dikeluarkannya TAP MPR RI Nomor: XI/MPR/1998 sampai dengan sekarang 23 tahun, pemerintah belum serius melakukan upaya pemberantasan korupsi terhadap mantan Presiden Soeharto, keluarga dan kroninya. Kecuali, lanjut dia, di era pemerintahan Presiden Jokowi telah dilakukan upaya hukum gugatan PMH secara perdata terhadap HM Soeharto, putra atau putrinya, dan Yayasan Beasiswa Supersemar untuk mengembalikan kerugian negara.

Baca juga: Pengelolaan TMII Resmi Diambil Alih Pemerintah Setelah Hampir 44 Tahun

"Sangat tidak adil bila pemerintahan hanya mengambilalih pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita, berhenti pada upaya perdata, tetapi mengabaikan penyelesaian melalui pendekatan hukum pidana korupsi terhadap Nyonya Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo, Siti Hedianti Soeharto, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih, yaitu dimintai pertanggungjawaban secara pidana sesuai dengan TAP MPR Nomor: XI/MPR/1998 dan UU Tipikor," kata Petrus.

Sebab, kata Petrus, upaya penuntutan secara tindak pidana korupsi adalah kewajiban negara untuk memenuhi salah satu tuntutan reformasi yang tertuang di dalam TAP MPR Nomor: XI/MPR/1998, sebagai utang janji negara terhadap seluruh rakyat yang wajib dipenuhi. Ini adalah saat yang tepat untuk memulihkan wibawa negara dan hukum negara serta reasa keadilan publik yang menuntut perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Dia mengatakan, putusan PK Mahkamah Agung RI Nomor 140/PK/Pdt/2015 dalam perkara Gugatan PMH antara Pemerintah RI melawan Yayasan Beasiswa Supersemar dan HM Soeharto serta putra putrinya yaitu Nyonya Siti Hardijanti Rukmana, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmojo dan kawan-kawan akan menjadi dasar pemidanaan dan alat bukti untuk memperkuat dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang diduga dilakukan keluarga Cendana. "Tinggal bagaimana keberanian Jaksa Agung, Kapolri atau KPK untuk memulai," katanya.



Petrus membeberkan kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Yayasan Beasiswa Supersemar dan HM Soeharto dan putra putrinya sesuai putusan PK Mahkamah Agung RI Nomor 140/PK/Pdt/2015 dimaksud adalah sebesar USD315.002.183,- dan Rp139.438.536.678,56 yang wajib dibayar kepada negara.

"Dengan demikian sikap pemerintahan era Presiden Jokowi berupa menuntut suatu pertanggungjawaban hukum baik secara perdata maupun secara pidana terhadap mantan Presiden HM Soeharto dan putra putrinya melalui penguasaan aset-aset negara atas nama yayasan-yayasan, termasuk Yayasan Harapan Kita, Yayasan Beasiswa Supersemar dll, merupakan suatu pendidikan politik yang baik dan menjadi pelajaran berharga bagi para mantan Presiden dan Wakil Presiden RI agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan selagi berkuasa," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1566 seconds (0.1#10.140)