Harus Kritis, Milenial Jangan Terhasut Kelompok Radikal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Generasi milenial harus lebih kritis dalam menyikapi setiap isu. Dengan bersikap kritis, milenial diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal .
Menurut Pengamat Militer dan Intelijen Susaningtyas Kertopati, kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Wanita yang akrab disapa Mbak Nuning ini berpendapat bahwa sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara.
"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," ujarnya, Selasa (30/3/2021).
Dia menilai milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. "Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara," jelasnya.
Nuning berpesan kepada milenial agar bijak memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras. Sedangkan penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik.
"Hati-hati saat ini proses enabling environtment marak, sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.
Dia mengatakan rekrutmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang dimaksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial.
"Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," papar Nuning.
Psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum pun menilai generasi milenial perlu kritis. "Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," ujar Psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum secara terpisah.
Kata dia, masalah kritis bukan sesuatu yang terberi. Milenial tidak berarti kritis. Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Dia mengatakan salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun.
"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya.
Nirmala berpendapat sebenarnya tidak bisa digeneralisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Menurutnya, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan.
"Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tutupnya.
Lihat Juga: Cegah Paham Radikalisme, BNPT Tingkatkan Wawasan Kebangsaan dan Keagamaan Mitra Deradikalisasi
Menurut Pengamat Militer dan Intelijen Susaningtyas Kertopati, kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Wanita yang akrab disapa Mbak Nuning ini berpendapat bahwa sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara.
"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," ujarnya, Selasa (30/3/2021).
Dia menilai milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. "Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara," jelasnya.
Nuning berpesan kepada milenial agar bijak memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras. Sedangkan penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik.
"Hati-hati saat ini proses enabling environtment marak, sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.
Dia mengatakan rekrutmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang dimaksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial.
"Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," papar Nuning.
Psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum pun menilai generasi milenial perlu kritis. "Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," ujar Psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum secara terpisah.
Kata dia, masalah kritis bukan sesuatu yang terberi. Milenial tidak berarti kritis. Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk menyarikan informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Dia mengatakan salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun.
"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya.
Nirmala berpendapat sebenarnya tidak bisa digeneralisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Menurutnya, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan.
"Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tutupnya.
Lihat Juga: Cegah Paham Radikalisme, BNPT Tingkatkan Wawasan Kebangsaan dan Keagamaan Mitra Deradikalisasi
(kri)