Bertemu Hantu Laut, Prajurit Marinir Lolos dari Maut Setelah 3 Hari Terombang-ambing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Malam pada 8 Desember 1975 adalah malam yang menentukan bagi mereka. Beberapa kali mereka mengalami kejadian luar biasa. Menjelang tengah malam angin bertiup kencang menyebabkan gelombang pecah tidak teratur mengombang-ambingkan mereka yang sudah kelelahan. Sekitar pukul 24.00 pada saat Nur Kamid terlentang, berenang dengan gaya punggung, menyaksikan di antara taburan bintang-bintang di langit muncul istana-istana yang luar biasa indahnya dengan tangga-tangga yang sangat artisitik.
Badan terasa mengambang di awang awang, Nur Kamid ajak rekan Soeyono berhenti dan naik saja ke istana tersebut. Untung rekan Soeyono menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang beres pada diri Nur Kamid mungkin karena hampir kehabisan tenaga, kesadaran Nur Kamid berkurang sehingga mengalami halusinasi. Maka diajaklah beristirahat dan Mereka berdua segera pulas.
Namun keajaiban terjadi lagi. Tiba-tiba Nur Kamid dibangunkan, entah oleh siapa, karena rekan Soeyono masih pulas. Nur Kamid melihat jam dan ternyata Nur Kamid baru tertidur sekitar 3 menit. Anehnya badan Nur Kamid terasa segar dan kuat. Laut yang tadinya bergolak seolah mendidih, menjadi tenang seperti kolam renang dan airnya terasa hangat. Sebentar kemudian terdengar suara pecahan gelombang disusul sinar-sinar baterai seolah-olah pantai sudah di depan mata. Nur Kamid membangunkan Kopral Soeyono dan berkata: “Yon mari segera meneruskan perjalanan, pertolongan Tuhan telah datang, daratan sudah dekat”.
Jam menunjukkan tanggal 9 Desember 1975. Mereka berenang dengan semangat, moril tinggi dan tenaga berlipat ganda. Dengan penuh harapan dan keyakinan mereka menuju ke arah suara dan lampu-lampu tersebut. Yang aneh lampu-lampu tersebut dikomando. Bila lampu padam mereka berteriak “Tolong lampu, kami akan mendarat”. Seketika lampu menyala kembali seolah-olah dapat berkomunikasi dengan orang-orang di pantai. Mereka melakukan hal tersebut berulang-ulang, setiap lampu padam mereka berteriak.
Tetapi sampai pagi daratan nampak masih jauh. Dikemudian hari penduduk Alor mengatakan bahwa lampu-lampu tersebut sebenarnya hantu laut yang sering mengganggu para nelayan, dan suara pecahan gelombang adalah berdeburnya air karena lompatan ikan-ikan besar sejenis lumba-lumba yang banyak terdapat di sekitar mereka berdua. Tetapi bagi mereka, lampu-lampu dan suara-suara pecahan gelombang tersebut adalah wujud dari pertolongan Tuhan yang telah berhasil mengembalikan semangat dan morilnya sehingga dapat menyelamatkannya.
Pukul 08.00 panas matahari terasa menyengat pohon-pohon di pantai Alor sudah Nampak jelas, bahkan mereka sudah dapat membedakan pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lainnya. Hiu dan Lumba-Lumba banyak sekali seolah-olah sebagai pengawalnya. Dan mereka yakin ikan-ikan buas tidak akan mengganggunya, karena tidak mengalami luka-luka yang mengeluarkan darah. Dan kebiasaan dari Hiu hanyalah menyerang bila terangsang bau darah atau gerakan-gerakan yang tidak teratur. Oleh karena itu mereka tetap berenang tanpa menimbulkan banyak percikan-percikan yang bisa menarik perhatian ikan-ikan tersebut. Dan kejauhan mereka dapat melihat ada sebuah perahu nelayan yang menuju pantai tetapi karena jauhnya tidak mungkin mengetahuinya. Dan itu adalah satu-satunya perahu yang dijumpai selama perjalanan tersebut.
Mereka terus berenang dengan harapan untuk selamat semakin besar. Dan berkat kekuatan yang dikurniakan Tuhan Yang Maha Esa, pukul 12.15 tanggal 9 Desember 1975, mereka berhasil mendarat dengan selamat di pantai Peitoko Alor Timur setelah berenang selama tiga hari tiga malam dan menempuh jarak hampir 90 mil. Kebetulan didekat tempat mereka mendarat terdapat mata air yang jernih, disitulah mereka melepas dahaga setelah tiga hari tiga malam tidak makan dan tidak minum. Kemudian mereka mengambil air wudlu dan melakukan sembahyang, syukur atas rahmat Tuhan kepada mereka.
Selesai sembahyang dengan muka hancur terkelupas, tanpa baju dan dengan kaki terpincang-pincang mereka menuju arah kampung yang teletak ± 4 Km di sebelah barat tempat mereka mendarat. Dari tengah laut sebenarnya kampung tersebut sudah tampak, tetapi karena arus kuat ke arah timur, mereka tidak berhasil mendarat tepat di kampung tersebut. Mereka berjalan pelan-pelan di jalanan yang berbatu-batu karang menyebabkan kaki terasa sakit dan ngilu sekali. Tetapi rupanya mereka masih harus mengalami cobaan lagi, yang hampir-hampir menyita nyawanya.
Setibanya di kampung yang bernama desa Peitoko bukannya mereka segera dirawat dan diberi makanan lezat tetapi nyaris mereka dibunuh oleh Hansip karena disangka Fretellin. Untung pada saat-saat kritis tersebut datang seorang pedagang yang pernah bermukim di Gresik dan dengan perantaraannya berhasil meyakinkan saudara-saudara kita di Peitoko bahwa mereka betul-betul adalah Tentara Indonesia. Baru setelah mereka yakin bahwa kedua orang itu adalah anggota-anggota Korps Marinir TNI-AL mereka menyambutnya dengan penuh keharuan. Semua penduduk mengerumuninya dan juga kedua anggota Marinir inipun ikut menangis karena terharu.
Malam tersebut (tanggal: 9 Desember 1975) mereka berdua dirawat seorang Mantri Desa, luka-luka terutama dikaki diobatinya. Sedang rekan Soeyono pada malam tersebut mengalami kelumpuhan. Anggota badannya tidak dapat digerakkan. Serka Marinir Nurkamid menangis melihat kenyataan tersebut. Tetapi berkat rawatan penduduk dengan ramuan daun-daunan dan paginya Kopral Soeyono sudah mulai bisa duduk dan 2 hari kemudian sudah dapat berjalan normal. Tanggal 10 Desember 1975 mereka berdua masih dalam rawatan penduduk Peitoko. Sekitar jam 12.00 tengah hari Bapak Kepala Desa datang dari pedalaman yang baru pertama kali bertemu dengan kedua Marinir itu, karena waktu mereka datang di Peitoko beliau beserta para Pamong Desa lainnya sedang melaksanakan Sensus di pedalaman.
Sementara para anggota Hansip secara estafet terus melakukan pencarian sepanjang pantai selatan Alor dimana kemungkinan kedua rekannya mendarat. Tetapi sampai tanggal 12 Desember 1975 saat mereka dijemput Dan Ramil Alor Timur menuju Kota Kecamatan Martain Alor Timur, kedua rekannya belum ada beritanya. Saat-saat yang mengharukan bagi mereka adalah ketika diadakan do’a bersama di mesjid-mesjid dan gereja-gereja yang ditujukan untuk keselamatan tentara yang berjuang di Tim-Tim dan untuk mereka berdua beserta kedua rekan yang belum ketemu. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk semua pertolongan yang tulus ikhlas dari saudara-saudara di Alor, semoga mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tentang perjalanan mereka berdua selanjutnya tidaklah banyak menjumpai kesulitan karena lewat daratan. Ringkasnya, setelah tiga hari mereka dirawat penduduk di Peitoko, mereka dijemput Dan Ramil Alor Timur, selanjutnya dengan melalui bukit-bukit karang sepanjang pantai Selatan Alor, menuju Martain untuk menghadap Camat Alor Timur. Perjalanan Peitoko-Martain selama 2 hari dimana setiap rombongan melalui kampung mereka selalu disambut dengan tangisan. Berita tentang mereka segera dikirim via SSB ke Bupati dan selanjutnya secana estafet diteruskan ke Gubernur dan ke Hankam. Dua hari mereka di Martain, selanjutnya dijemput perahu motor yang dikirimkan Bupati Alor. Dan pada 15 Desember 1975 mereka minta kepada Camat dan Dan Ramil selanjutnya berangkat menuju Kalabai ibukota Kabupaten Alor.
Tanggal 16 Desember 1975 pukul 21.00 mereka tiba di Kalabai dan langsung dibawa dengan kendaraan Dan Res ke rumah kediamannya karena khawatir diserbu penduduk yang sudah banyak menunggu di dermaga Kalabai. Sesudah makan malam, mereka dijemput Palaksa KRI Barakuda dan selanjutnya dirawat di KRI Jayawijaya, 2 hari di KRI Jayawijaya dijemput KRI Sorong dimana terdapat sebagian anggota Detasemen IPAM yang beristirahat. Mereka saling berpelukan dan bertangisan karena terharu, lebih-lebih setelah mereka menanyakan berita tentang Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi yang ternyata belum ada kabar beritanya.
Tanggal 19 Desember 1975 dengan KRI Sorong mereka menuju Dilli dan pada pukul 16.00 hari itu juga mereka memasuki teluk Dilli. Dengan dijemput Dan Detasemen IPAM sendiri (Kapten Marinir A. Solangs) mereka dipindahkan ke Rumah Sakit Apung KRI. Multatuli. Seminggu kemudian mereka bergabung dengan anggota Detasemen lainnya dan aktip kembali, yang mana sebelum mereka kembali ke Pangkalan, mereka ikut bersama-sama mengambil bagian dalam operasi Pendaratan Amfibi di Betano pantai selatan dan di Lautem pantai Timur Tim-Tim. Dan pada 12 Pebruari 1976 bersama selesainya masa penugasan Pasmar 1 mereka kembali ke Pangkalan di Surabaya.
Sementara kedua rekan mereka yakni Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Dan Pimpinan TNI AL/Hankam telah memutuskan keduanya dinyatakan gugur sebagai pahlawan bangsa.
Badan terasa mengambang di awang awang, Nur Kamid ajak rekan Soeyono berhenti dan naik saja ke istana tersebut. Untung rekan Soeyono menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang beres pada diri Nur Kamid mungkin karena hampir kehabisan tenaga, kesadaran Nur Kamid berkurang sehingga mengalami halusinasi. Maka diajaklah beristirahat dan Mereka berdua segera pulas.
Namun keajaiban terjadi lagi. Tiba-tiba Nur Kamid dibangunkan, entah oleh siapa, karena rekan Soeyono masih pulas. Nur Kamid melihat jam dan ternyata Nur Kamid baru tertidur sekitar 3 menit. Anehnya badan Nur Kamid terasa segar dan kuat. Laut yang tadinya bergolak seolah mendidih, menjadi tenang seperti kolam renang dan airnya terasa hangat. Sebentar kemudian terdengar suara pecahan gelombang disusul sinar-sinar baterai seolah-olah pantai sudah di depan mata. Nur Kamid membangunkan Kopral Soeyono dan berkata: “Yon mari segera meneruskan perjalanan, pertolongan Tuhan telah datang, daratan sudah dekat”.
Jam menunjukkan tanggal 9 Desember 1975. Mereka berenang dengan semangat, moril tinggi dan tenaga berlipat ganda. Dengan penuh harapan dan keyakinan mereka menuju ke arah suara dan lampu-lampu tersebut. Yang aneh lampu-lampu tersebut dikomando. Bila lampu padam mereka berteriak “Tolong lampu, kami akan mendarat”. Seketika lampu menyala kembali seolah-olah dapat berkomunikasi dengan orang-orang di pantai. Mereka melakukan hal tersebut berulang-ulang, setiap lampu padam mereka berteriak.
Tetapi sampai pagi daratan nampak masih jauh. Dikemudian hari penduduk Alor mengatakan bahwa lampu-lampu tersebut sebenarnya hantu laut yang sering mengganggu para nelayan, dan suara pecahan gelombang adalah berdeburnya air karena lompatan ikan-ikan besar sejenis lumba-lumba yang banyak terdapat di sekitar mereka berdua. Tetapi bagi mereka, lampu-lampu dan suara-suara pecahan gelombang tersebut adalah wujud dari pertolongan Tuhan yang telah berhasil mengembalikan semangat dan morilnya sehingga dapat menyelamatkannya.
Pukul 08.00 panas matahari terasa menyengat pohon-pohon di pantai Alor sudah Nampak jelas, bahkan mereka sudah dapat membedakan pohon-pohon kelapa di antara pohon-pohon lainnya. Hiu dan Lumba-Lumba banyak sekali seolah-olah sebagai pengawalnya. Dan mereka yakin ikan-ikan buas tidak akan mengganggunya, karena tidak mengalami luka-luka yang mengeluarkan darah. Dan kebiasaan dari Hiu hanyalah menyerang bila terangsang bau darah atau gerakan-gerakan yang tidak teratur. Oleh karena itu mereka tetap berenang tanpa menimbulkan banyak percikan-percikan yang bisa menarik perhatian ikan-ikan tersebut. Dan kejauhan mereka dapat melihat ada sebuah perahu nelayan yang menuju pantai tetapi karena jauhnya tidak mungkin mengetahuinya. Dan itu adalah satu-satunya perahu yang dijumpai selama perjalanan tersebut.
Mereka terus berenang dengan harapan untuk selamat semakin besar. Dan berkat kekuatan yang dikurniakan Tuhan Yang Maha Esa, pukul 12.15 tanggal 9 Desember 1975, mereka berhasil mendarat dengan selamat di pantai Peitoko Alor Timur setelah berenang selama tiga hari tiga malam dan menempuh jarak hampir 90 mil. Kebetulan didekat tempat mereka mendarat terdapat mata air yang jernih, disitulah mereka melepas dahaga setelah tiga hari tiga malam tidak makan dan tidak minum. Kemudian mereka mengambil air wudlu dan melakukan sembahyang, syukur atas rahmat Tuhan kepada mereka.
Selesai sembahyang dengan muka hancur terkelupas, tanpa baju dan dengan kaki terpincang-pincang mereka menuju arah kampung yang teletak ± 4 Km di sebelah barat tempat mereka mendarat. Dari tengah laut sebenarnya kampung tersebut sudah tampak, tetapi karena arus kuat ke arah timur, mereka tidak berhasil mendarat tepat di kampung tersebut. Mereka berjalan pelan-pelan di jalanan yang berbatu-batu karang menyebabkan kaki terasa sakit dan ngilu sekali. Tetapi rupanya mereka masih harus mengalami cobaan lagi, yang hampir-hampir menyita nyawanya.
Setibanya di kampung yang bernama desa Peitoko bukannya mereka segera dirawat dan diberi makanan lezat tetapi nyaris mereka dibunuh oleh Hansip karena disangka Fretellin. Untung pada saat-saat kritis tersebut datang seorang pedagang yang pernah bermukim di Gresik dan dengan perantaraannya berhasil meyakinkan saudara-saudara kita di Peitoko bahwa mereka betul-betul adalah Tentara Indonesia. Baru setelah mereka yakin bahwa kedua orang itu adalah anggota-anggota Korps Marinir TNI-AL mereka menyambutnya dengan penuh keharuan. Semua penduduk mengerumuninya dan juga kedua anggota Marinir inipun ikut menangis karena terharu.
Malam tersebut (tanggal: 9 Desember 1975) mereka berdua dirawat seorang Mantri Desa, luka-luka terutama dikaki diobatinya. Sedang rekan Soeyono pada malam tersebut mengalami kelumpuhan. Anggota badannya tidak dapat digerakkan. Serka Marinir Nurkamid menangis melihat kenyataan tersebut. Tetapi berkat rawatan penduduk dengan ramuan daun-daunan dan paginya Kopral Soeyono sudah mulai bisa duduk dan 2 hari kemudian sudah dapat berjalan normal. Tanggal 10 Desember 1975 mereka berdua masih dalam rawatan penduduk Peitoko. Sekitar jam 12.00 tengah hari Bapak Kepala Desa datang dari pedalaman yang baru pertama kali bertemu dengan kedua Marinir itu, karena waktu mereka datang di Peitoko beliau beserta para Pamong Desa lainnya sedang melaksanakan Sensus di pedalaman.
Sementara para anggota Hansip secara estafet terus melakukan pencarian sepanjang pantai selatan Alor dimana kemungkinan kedua rekannya mendarat. Tetapi sampai tanggal 12 Desember 1975 saat mereka dijemput Dan Ramil Alor Timur menuju Kota Kecamatan Martain Alor Timur, kedua rekannya belum ada beritanya. Saat-saat yang mengharukan bagi mereka adalah ketika diadakan do’a bersama di mesjid-mesjid dan gereja-gereja yang ditujukan untuk keselamatan tentara yang berjuang di Tim-Tim dan untuk mereka berdua beserta kedua rekan yang belum ketemu. Terima kasih yang sedalam-dalamnya untuk semua pertolongan yang tulus ikhlas dari saudara-saudara di Alor, semoga mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tentang perjalanan mereka berdua selanjutnya tidaklah banyak menjumpai kesulitan karena lewat daratan. Ringkasnya, setelah tiga hari mereka dirawat penduduk di Peitoko, mereka dijemput Dan Ramil Alor Timur, selanjutnya dengan melalui bukit-bukit karang sepanjang pantai Selatan Alor, menuju Martain untuk menghadap Camat Alor Timur. Perjalanan Peitoko-Martain selama 2 hari dimana setiap rombongan melalui kampung mereka selalu disambut dengan tangisan. Berita tentang mereka segera dikirim via SSB ke Bupati dan selanjutnya secana estafet diteruskan ke Gubernur dan ke Hankam. Dua hari mereka di Martain, selanjutnya dijemput perahu motor yang dikirimkan Bupati Alor. Dan pada 15 Desember 1975 mereka minta kepada Camat dan Dan Ramil selanjutnya berangkat menuju Kalabai ibukota Kabupaten Alor.
Tanggal 16 Desember 1975 pukul 21.00 mereka tiba di Kalabai dan langsung dibawa dengan kendaraan Dan Res ke rumah kediamannya karena khawatir diserbu penduduk yang sudah banyak menunggu di dermaga Kalabai. Sesudah makan malam, mereka dijemput Palaksa KRI Barakuda dan selanjutnya dirawat di KRI Jayawijaya, 2 hari di KRI Jayawijaya dijemput KRI Sorong dimana terdapat sebagian anggota Detasemen IPAM yang beristirahat. Mereka saling berpelukan dan bertangisan karena terharu, lebih-lebih setelah mereka menanyakan berita tentang Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi yang ternyata belum ada kabar beritanya.
Tanggal 19 Desember 1975 dengan KRI Sorong mereka menuju Dilli dan pada pukul 16.00 hari itu juga mereka memasuki teluk Dilli. Dengan dijemput Dan Detasemen IPAM sendiri (Kapten Marinir A. Solangs) mereka dipindahkan ke Rumah Sakit Apung KRI. Multatuli. Seminggu kemudian mereka bergabung dengan anggota Detasemen lainnya dan aktip kembali, yang mana sebelum mereka kembali ke Pangkalan, mereka ikut bersama-sama mengambil bagian dalam operasi Pendaratan Amfibi di Betano pantai selatan dan di Lautem pantai Timur Tim-Tim. Dan pada 12 Pebruari 1976 bersama selesainya masa penugasan Pasmar 1 mereka kembali ke Pangkalan di Surabaya.
Sementara kedua rekan mereka yakni Pelda Mar (anm) Slamet Priyono dan Serma Mar (anm) Soetardi sampai saat ini tidak ada kabar beritanya. Dan Pimpinan TNI AL/Hankam telah memutuskan keduanya dinyatakan gugur sebagai pahlawan bangsa.
(cip)