Panen Raya di Sumba Barat Daya, Ketua DPD Sebut Impor Beras Bukan Solusi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti mengatakan impor untuk memenuhi komoditas beras bukan solusi. Terlebih, petani di sejumlah daerah sedang memasuki masa panen.
La Nyalla yang hadir bersama Senator Nusa Tenggara Timur (NTT) Asyera RA Wundalero dan senator Lampung Bustami Zainudin, menyampaikan hal tersebut di lokasi Panen Raya di Desa Taba Tana, Weekelosawa, Sumba Barat Daya (SBD), Selasa (23/3/2021).
Panen Raya padi varietas Nutri Zinc itu dihadiri Bupati dan Wakil Bupati SBD dan Ketua Yayasan Kalakioma Julius Bobo selaku pengembang varietas serta Pimpinan Forkompinda hingga camat se Kabupaten SBD dan kepala desa se Kecamatan Weekelosawa.
Senator asal Jawa Timur itu dengan tegas mengatakan mendukung langkah Bulog yang menjelaskan langsung kepada Presiden Joko Widodo tentang kondisi terkini stok beras nasional di gudang Bulog.
"Masalah kita bukan kekurangan beras. Karena cadangan beras di gudang-gudang Bulog masih mencukupi. Masalah kita adalah belum sukses mengatur dan memfasilitasi proses distribusi beras dengan supply chain management yang baik. Sehingga harga gabah di sejumlah sentra padi anjlok," terangnya menyampaikan masalah yang terjadi di lapangan.
Menurut dia, masalah ini harus dilihat dari kebijakan pemerintah terkait tata kelola atau perniagaan hasil komoditas pertanian. "Kebijakan tata kelola atau perniagaan hasil komoditas pangan sangat luas. Mulai dari filosofi dasar dan cara pandang pemerintah terhadap petani. Mau ditempatkan sebagai subjek atau objek? Karena ini sangat menentukan nasib petani," tuturnya.
Tidak itu saja, La Nyalla juga menilai dibutuhkan dukungan data yang konkret dari ketersediaan dan kebutuhan komoditas itu. Juga data mengenai supply dan demand, termasuk rantai distribusi komoditas tersebut.
"Di sini kita bicara supply chain management. Bagaimana memindahkan atau mendistribusikan hasil komoditas ke daerah atau wilayah yang membutuhkan. Sehingga, untuk mengatasi kelangkaan komoditas di wilayah non-penghasil, bukan dijawab dengan kebijakan impor," katanya.
Oleh sebab itu, LaNyalla menegaskan sangat diperlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk menurunkan biaya pokok produksi di tingkat petani. Termasuk apa yang sudah dilakukan pemerintah melalui program food estate.
"Karena, hasil akhir yang ingin dituju adalah ketercukupan cadangan pangan, atau ketahanan pangan. Ketahanan pangan menjadi isu strategis dunia. Apalagi Badan Pangan Dunia, FAO, sudah memberikan warning adanya potensi krisis pangan global sebagai dampak pandemi Covid-19," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah di tahun 2021, menaikkan anggaran ketahanan pangan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya. Atau dari Rp80 triliun di 2020, menjadi Rp104 triliun di tahun 2021.
La Nyalla yang hadir bersama Senator Nusa Tenggara Timur (NTT) Asyera RA Wundalero dan senator Lampung Bustami Zainudin, menyampaikan hal tersebut di lokasi Panen Raya di Desa Taba Tana, Weekelosawa, Sumba Barat Daya (SBD), Selasa (23/3/2021).
Panen Raya padi varietas Nutri Zinc itu dihadiri Bupati dan Wakil Bupati SBD dan Ketua Yayasan Kalakioma Julius Bobo selaku pengembang varietas serta Pimpinan Forkompinda hingga camat se Kabupaten SBD dan kepala desa se Kecamatan Weekelosawa.
Senator asal Jawa Timur itu dengan tegas mengatakan mendukung langkah Bulog yang menjelaskan langsung kepada Presiden Joko Widodo tentang kondisi terkini stok beras nasional di gudang Bulog.
"Masalah kita bukan kekurangan beras. Karena cadangan beras di gudang-gudang Bulog masih mencukupi. Masalah kita adalah belum sukses mengatur dan memfasilitasi proses distribusi beras dengan supply chain management yang baik. Sehingga harga gabah di sejumlah sentra padi anjlok," terangnya menyampaikan masalah yang terjadi di lapangan.
Menurut dia, masalah ini harus dilihat dari kebijakan pemerintah terkait tata kelola atau perniagaan hasil komoditas pertanian. "Kebijakan tata kelola atau perniagaan hasil komoditas pangan sangat luas. Mulai dari filosofi dasar dan cara pandang pemerintah terhadap petani. Mau ditempatkan sebagai subjek atau objek? Karena ini sangat menentukan nasib petani," tuturnya.
Tidak itu saja, La Nyalla juga menilai dibutuhkan dukungan data yang konkret dari ketersediaan dan kebutuhan komoditas itu. Juga data mengenai supply dan demand, termasuk rantai distribusi komoditas tersebut.
"Di sini kita bicara supply chain management. Bagaimana memindahkan atau mendistribusikan hasil komoditas ke daerah atau wilayah yang membutuhkan. Sehingga, untuk mengatasi kelangkaan komoditas di wilayah non-penghasil, bukan dijawab dengan kebijakan impor," katanya.
Oleh sebab itu, LaNyalla menegaskan sangat diperlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk menurunkan biaya pokok produksi di tingkat petani. Termasuk apa yang sudah dilakukan pemerintah melalui program food estate.
"Karena, hasil akhir yang ingin dituju adalah ketercukupan cadangan pangan, atau ketahanan pangan. Ketahanan pangan menjadi isu strategis dunia. Apalagi Badan Pangan Dunia, FAO, sudah memberikan warning adanya potensi krisis pangan global sebagai dampak pandemi Covid-19," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah di tahun 2021, menaikkan anggaran ketahanan pangan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya. Atau dari Rp80 triliun di 2020, menjadi Rp104 triliun di tahun 2021.
(dam)