Sebut KKB Teroris, DPR Minta Pemerintah Redefinisi Kelompok Pemberontakan Papua
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Azis Syamsuddin, menilai Pemerintah perlu mendefinisikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB) sebagai Organisasi Teroris sesuai UU Nomor 5/2018 dan UU Nomor 15/2003 tentang Terorisme.
"Kelompok bersenjata di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, Mereka melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik, Maka mereka adalah teroris. Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua," kata Azis keoada wartawan, Senin (22/3/2021). Baca juga: OPM yang Ancam Tembaki Pesawat dan Serang Kabupaten Paniai Bakal Diburu
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menegaskan, jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana. Terorisme yang berakar dari separatisme, Persis seperti yang terjadi di Thailand Selatan. Maka, secara penegakan hukum pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan. Namun demikian, sambung Azis, walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, pendekatan terbaik melalui pendekatan kesejahteraan, sosial, ekonomi dan budaya. seraya memberikan rekognisi dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana. Baca juga: Komandan OPM Wilayah Kosiwo Kepulauan Yapen Serahkan Diri Berikut Senjata Api
"Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api, tajam, dalam aksinya. Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia, separatis tergolong makar, dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun. Masalahnya, yang dapat dipidanakan dengan penyebutan istilah separatis, makar, atau pemberontak ini hanya perorangan," tambahnya.
Politisi Golkar itu menjelaskan, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention), Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata noninternasional atau di dalam sebuah negara, Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando".
"Hal ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa. Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa," terangnya.
Terakhir, legislator Dapil Lampung II ini menegaskan, walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi, kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka. "Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif, Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang," tutupnya. Kiswondari
"Kelompok bersenjata di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, Mereka melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik, Maka mereka adalah teroris. Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur. Keengganan pemerintah untuk melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua," kata Azis keoada wartawan, Senin (22/3/2021). Baca juga: OPM yang Ancam Tembaki Pesawat dan Serang Kabupaten Paniai Bakal Diburu
Mantan Ketua Komisi III DPR ini menegaskan, jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana. Terorisme yang berakar dari separatisme, Persis seperti yang terjadi di Thailand Selatan. Maka, secara penegakan hukum pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan. Namun demikian, sambung Azis, walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, pendekatan terbaik melalui pendekatan kesejahteraan, sosial, ekonomi dan budaya. seraya memberikan rekognisi dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana. Baca juga: Komandan OPM Wilayah Kosiwo Kepulauan Yapen Serahkan Diri Berikut Senjata Api
"Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum. Begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api, tajam, dalam aksinya. Dilihat dari tujuannya untuk memisahkan diri dari Indonesia, separatis tergolong makar, dalam KUHP Pasal 106 terancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Mirip dengan makar, dalam KUHP Pasal 108 pelakunya terancam pidana penjara maksimal 15 atau 20 tahun. Masalahnya, yang dapat dipidanakan dengan penyebutan istilah separatis, makar, atau pemberontak ini hanya perorangan," tambahnya.
Politisi Golkar itu menjelaskan, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention), Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional. Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata noninternasional atau di dalam sebuah negara, Di dalam Pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando".
"Hal ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa. Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar, tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa," terangnya.
Terakhir, legislator Dapil Lampung II ini menegaskan, walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa. Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi, kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka. "Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif, Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang," tutupnya. Kiswondari
(cip)