Di Tengah Kisruh Demokrat, SBY Bicara soal Kebenaran dan Keadilan
loading...
A
A
A
Sebenarnya, aku tak hendak meratap, atau meminta-minta kepada Allah di luar yang seharusnya kumohonkan kepadaNya. Aku anak desa yang dibesarkan di tanah Pacitan, yang ketika aku remaja penuh dengan tantangan, baik alam maupun kehidupan. Masa laluku jauh dari kecukupan dan kemudahan. Aku kerap terbanting dalam duka dan nestapa, meski sekejappun tak pernah kufur dari rasa syukur. Justru dalam usiaku yang memasuki tujuh dasawarsa ini, aku sering mengalami kesulitan bagaimana caraku berterima kasih kepada Sang Khaliq, yang telah memberiku begitu banyak berkah dan anugerah.
Dalam kekhusyukan tafakur yang aku lakukan, tiba-tiba aku terlibat dalam percakapan di lubuk hatiku yang paling dalam. Tentu aku tidak mampu untuk mengerti dan memahami apakah dialog dalam bathinku ini sebuah tuntunan Illahi. Atau Allah tengah membukakan pintu kalbuku, dan memintaku untuk menggunakan semua yang telah diberikan kepadaku ~ akal, intuisi dan keyakinan yang kumiliki, dan yang terus aku asah sepanjang perjalanan hidupku.
Dialog dan percakapan bathinpun segera berlangsung. Tak ada emosi, tak ada kegaduhan dan tak ada pula fitnah serta pertengkaran. Teduh, tulus dan jujur...
"Kenapa kau harus bersedih? Tidakkah cobaan dan ujian begini telah engkau alami berpuluh-puluh kali. Aku tahu, hari-harimu memang sungguh berat dan seolah awan hitam menyelimuti hidupmu. Aku tahu di usiamu yang telah memasuki masa senja ini, engkau tak pernah membayangkan bahwa hal begini bakal terjadi. Hatimu pasti luka, sedih dan terhina. Betapa partai politik yang kau gagas berdirinya, serta pernah kau pimpin dan besarkan, kini harus mendapatkan perlakuan seperti ini. Sesuatu yang ketika kuasa ada dalam dirimu, ada dalam tanganmu, perlakuan tak terpuji seperti itu tak pernah kau lakukan. Tapi, itulah hidup. Itulah takdir. Itulah dunia kita. Namun, kau tak perlu berkecil hati. Tidakkah kau telah melalui berbagai cobaan dan ujian, dan kau mampu mengatasinya? Ingat bersama kesukaran ada kemudahan. Setiap masalah ada solusinya"
(Baca:Mahasiswa Tegaskan Tak Ingin Terseret di Kisruh Internal Demokrat)
Kuyakini ini tuntunan yang pertama.
Aku masih khusyuk dalam perenungan diri. Dialog dalam bathinku yang sunyi terus berlangsung. Bisikan nurani juga terus berlanjut...
"Bagaimana dan langkah seperti apa yang patut engkau lakukan? Kalau itu yang kau tanyakan, sebenarnya kau telah menemukan jawabannya. Tidakkah para pemimpin partai yang tengah diobok-obok sekarang ini telah berketetapan hati untuk berjuang, guna mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan eksistensi perserikatan yang sama-sama kalian cintai. Langkahmu sudah benar. Itu misi yang suci. Itu juga tanggung jawab terhadap jutaan anggota partai yang sangat tidak adil jika mereka kehilangan masa depannya. Apalagi kau sendiri telah mengatakan bahwa misi suci itu hendak dilaksanakan secara damai, berdasarkan konstitusi dan merujuk pada pranata hukum yang berlaku. Itulah jalan yang insya Allah akan senantiasa dirahmati Tuhan. Betapapun besarnya amarah kalian, kau memilih untuk tidak memerangi kemungkaran dengan cara-cara yang sama mungkarnya. Sebuah akhlak dan peradaban politik yang mendidik dan meneduhkan"
Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.
Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.
Dalam kekhusyukan tafakur yang aku lakukan, tiba-tiba aku terlibat dalam percakapan di lubuk hatiku yang paling dalam. Tentu aku tidak mampu untuk mengerti dan memahami apakah dialog dalam bathinku ini sebuah tuntunan Illahi. Atau Allah tengah membukakan pintu kalbuku, dan memintaku untuk menggunakan semua yang telah diberikan kepadaku ~ akal, intuisi dan keyakinan yang kumiliki, dan yang terus aku asah sepanjang perjalanan hidupku.
Dialog dan percakapan bathinpun segera berlangsung. Tak ada emosi, tak ada kegaduhan dan tak ada pula fitnah serta pertengkaran. Teduh, tulus dan jujur...
"Kenapa kau harus bersedih? Tidakkah cobaan dan ujian begini telah engkau alami berpuluh-puluh kali. Aku tahu, hari-harimu memang sungguh berat dan seolah awan hitam menyelimuti hidupmu. Aku tahu di usiamu yang telah memasuki masa senja ini, engkau tak pernah membayangkan bahwa hal begini bakal terjadi. Hatimu pasti luka, sedih dan terhina. Betapa partai politik yang kau gagas berdirinya, serta pernah kau pimpin dan besarkan, kini harus mendapatkan perlakuan seperti ini. Sesuatu yang ketika kuasa ada dalam dirimu, ada dalam tanganmu, perlakuan tak terpuji seperti itu tak pernah kau lakukan. Tapi, itulah hidup. Itulah takdir. Itulah dunia kita. Namun, kau tak perlu berkecil hati. Tidakkah kau telah melalui berbagai cobaan dan ujian, dan kau mampu mengatasinya? Ingat bersama kesukaran ada kemudahan. Setiap masalah ada solusinya"
(Baca:Mahasiswa Tegaskan Tak Ingin Terseret di Kisruh Internal Demokrat)
Kuyakini ini tuntunan yang pertama.
Aku masih khusyuk dalam perenungan diri. Dialog dalam bathinku yang sunyi terus berlangsung. Bisikan nurani juga terus berlanjut...
"Bagaimana dan langkah seperti apa yang patut engkau lakukan? Kalau itu yang kau tanyakan, sebenarnya kau telah menemukan jawabannya. Tidakkah para pemimpin partai yang tengah diobok-obok sekarang ini telah berketetapan hati untuk berjuang, guna mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan eksistensi perserikatan yang sama-sama kalian cintai. Langkahmu sudah benar. Itu misi yang suci. Itu juga tanggung jawab terhadap jutaan anggota partai yang sangat tidak adil jika mereka kehilangan masa depannya. Apalagi kau sendiri telah mengatakan bahwa misi suci itu hendak dilaksanakan secara damai, berdasarkan konstitusi dan merujuk pada pranata hukum yang berlaku. Itulah jalan yang insya Allah akan senantiasa dirahmati Tuhan. Betapapun besarnya amarah kalian, kau memilih untuk tidak memerangi kemungkaran dengan cara-cara yang sama mungkarnya. Sebuah akhlak dan peradaban politik yang mendidik dan meneduhkan"
Kuyakini, inilah tuntunan yang kedua.
Aku makin khusyuk dalam kontemplasi yang kulakukan. Malam semakin larut. Seolah bumi berhenti berputar. Desiran angin dan pepohonan di depan rumahkupun tak lagi kudengar. Aku bersyukur, karena semua pertanyaan bathin yang kusimpan dalam hati sanubariku... satu-satu telah mendapatkan jawabannya.