Isra Miraj Jadi Momentum Perkuat Komitmen Perjuangan Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isra Miraj adalah peristiwa spektakuler yang harus dipahami dengan deretan peristiwa sebelumnya. Harus dilihat sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW yang mulai berdakwah dari usia 40 tahun meskipun mendapatkan tantangan dan intimidasi dari masyarakat kafir Quraisy, tetap berjuang mendakwahkan Islam.
“Sehingga kalau dikaitkan dengan bangsa Indonesia, hikmah Isra Miraj ini memiliki kesamaan dalam perjuangan dulu melawan kolonialisme, yang membuat kondisi masyarakat Indonesia ini selalu dihantui dengan kecemasan dan ketakutan. Alhamdulillah hasil dari perjuangan para santri, para kiai dan para tokoh masyarakat di Indonesia, Allah memberikan suatu anugerah, yaitu kemerdekaan,” tutur Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah di Jakarta, Rabu 10 Maret 2021.
Kiai Ali menambahkan, semua kesulitan sebelum Isra Miraj tersebut dirasakan oleh Nabi pada periode perjuangan dakwah di Makkah. Pada akhir periode di Makkah ini Nabi diuji oleh Allah SWT karena dua orang yang selama ini mem-backup perjuangannya, yaitu pamannya Abu Thalib dan istri tercintanya Siti Khadijah meninggal dunia.
”Di fase ini Nabi secara kemanusiaan mendapatkan ujian cukup luar biasa, pada tahun tersebut disebut sebagai tahun huzni (tahun kesedihan Nabi). Tapi pada tahun kesedihan Nabi ini, beliau kemudian mendapatkan hadiah, yaitu peristiwa Isra dan Miraj itu,” kata Ali.
Oleh karena itu, kata dia, perstiwa Isra dan Miraj ini hadiah dari Allah kepada Nabi setelah berjuang selama kurang lebih 13 tahun di Makkah hingga sang istri meninggal dunia.
Menurut peristiwa tersebut, lanjut dia, harusnya dipahami oleh generasi penerus bangsa Indonesia untuk menghargai perjuangan Nabi dahulu sebagaimana perjuangan bangsa indonesia menghadapi penjajahan di masa lalu. Terutama dalam melawan radikalisme dan terorisme yang ingin merusak keutuhan bangsa.
”Sudah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaga warisan kemerdekaan ini dari para pendiri bangsa. Karena dengan menjaga NKRI, pancasila dan UUD 1945 inilah perekat seluruh elemen bangsa. Jangan sampai hal ini dikhianati, apalagi dengan mengambil ideologi dari orang luar yang belum pernah teruji kemudian di uji coba disini,” tutur pria yang juga sebagai Ketua Pengurus Wilayah Mahasiswa Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyin (MATAN) DKI Jakarta ini.
Apalagi, menurut dia, jika dilihat lanjutannya pada saat peristiwa Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina dan kemudian ke Sidratul Muntaha. Ini adalah peristiwa spiritual yang dialami oleh Nabi, yang kemudian mendapatkan tugas dari Allah untuk membawa perintah salat lima waktu.
”Salat lima waktu ini sebagai sebuah sistem yang turun di malam Isra Miraj untuk menata kehidupan masyarakat di dunia untuk sebagai bekal menuju akhirat. Karena dengan sistem salat lima waktu ini kita bisa menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat,” kata Ali.
Dia mencontohkan dari subuh kita diperintahkan salat, kemudian pagi persiapan bekerja, kemudian dari pagi sampai siang kerja, terus zuhur istirahat kemudian kerja lagi masuk ashar salat lagi.
Menurut dia, di sini Allah mengatur sedemikian rupa supaya hambanya ini memiliki kesadaran bahwa dunia dan akhirat ini harus bisa diraih dengan kesuksesan. Jangan sampai orientasi hidupnya hanya sebatas mengejar dunia, karena di akhirat nanti ada kehidupan yang lebih panjang.
”Sistem salat ini ada untuk menjaga keseimbangan rotasi waktu 24 jam antara keseimbangan duniawi dan rohani bahwa itu harus simetris. Pasca Isra Miraj ini Nabi melakukan sebuah proses hijrah ke Madinah,” ujarnya.
Kiai Ali menyebut bahwa di Madinah inilah Nabi membuat sebuah aturan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Madinah saat itu terdiri atas berbagai suku dan agama. Nabi mampu menjadi pemimpin yang bisa diterima oleh semua rakyatnya, baik yang beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi dan dapat diterima dengan baik oleh para kepala suku yang ada di sana.
”Rasulullah menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Konsep yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu konsep Piagam Madinah yang dalam konteks Indonesia ini kemudian diadopsi dengan bentuk Pancasila,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, Pancasila adalah model Piagam Madinah yang dicetuskan oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia. Semua umat beragama, suku, semua dinaungi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sistem dalam Piagam Madinah adalah sistem yang menghormati kebinekaan, menghormati kelompok lain yang tidak sejalan. Termasuk terhadap umat Nasrani, Majusi dan Yahudi, itu semua diberikan penghormatan dan juga hak-haknya.
”Karena itu, kalau kita belajar dari sikap Nabi setelah Isra dan Miraj, kemudian Nabi membangun kota Madinah dengan Piagam Madinah ini artinya bahwa Nabi meletakkan dasar berbangsa dan bernegara yang bisa mengayomi semua anak bangsa, baik yang berbeda agama maupun berbeda suku,” tuturnya.
Pengasuh Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menambahkan, jika sampai ada orang yang memiliki pemikiran ingin mencoba sebuah ideologi yang sebenarnya hanya imajinasi tentu sangat berbahaya sekali.
”Sistem yang dimunculkan oleh HTI dengan mengusung khilafah sudah tidak relevan lagi. Pancasila inilah sebagai pemersatu bangsa, semua agama diberikan kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya masing-masing tanpa saling mengganggu,” kata Ali.
Untuk itu, kata dia, masyarakat harus diedukasi secara kontinyu, terus menerus, baik berdasarkan ayat Alquran maupun dengan Hadist. Karena menurut Kiai Ali, tidak ada satu pun ayat yang menjelaskan tentang perintah mendirikan khilafah, yang ada adalah khalifah. Karena manusia punya peran di kehidupan masing-masing dan itu namanya adalah khalifah.
”Ada yang jadi presiden, ada yang jadi menteri, ada yang jadi kiai, ada yang jadi ketua RT/RW, ini memiliki peran masing-masing. Itulah fungsi khalifah untuk membangun sistem kehidupan di dunia ini, tetapi ini bukan khilafah,” tuturnya.
“Sehingga kalau dikaitkan dengan bangsa Indonesia, hikmah Isra Miraj ini memiliki kesamaan dalam perjuangan dulu melawan kolonialisme, yang membuat kondisi masyarakat Indonesia ini selalu dihantui dengan kecemasan dan ketakutan. Alhamdulillah hasil dari perjuangan para santri, para kiai dan para tokoh masyarakat di Indonesia, Allah memberikan suatu anugerah, yaitu kemerdekaan,” tutur Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ali M Abdillah di Jakarta, Rabu 10 Maret 2021.
Kiai Ali menambahkan, semua kesulitan sebelum Isra Miraj tersebut dirasakan oleh Nabi pada periode perjuangan dakwah di Makkah. Pada akhir periode di Makkah ini Nabi diuji oleh Allah SWT karena dua orang yang selama ini mem-backup perjuangannya, yaitu pamannya Abu Thalib dan istri tercintanya Siti Khadijah meninggal dunia.
”Di fase ini Nabi secara kemanusiaan mendapatkan ujian cukup luar biasa, pada tahun tersebut disebut sebagai tahun huzni (tahun kesedihan Nabi). Tapi pada tahun kesedihan Nabi ini, beliau kemudian mendapatkan hadiah, yaitu peristiwa Isra dan Miraj itu,” kata Ali.
Oleh karena itu, kata dia, perstiwa Isra dan Miraj ini hadiah dari Allah kepada Nabi setelah berjuang selama kurang lebih 13 tahun di Makkah hingga sang istri meninggal dunia.
Menurut peristiwa tersebut, lanjut dia, harusnya dipahami oleh generasi penerus bangsa Indonesia untuk menghargai perjuangan Nabi dahulu sebagaimana perjuangan bangsa indonesia menghadapi penjajahan di masa lalu. Terutama dalam melawan radikalisme dan terorisme yang ingin merusak keutuhan bangsa.
”Sudah tugas kita sebagai generasi penerus bangsa untuk menjaga warisan kemerdekaan ini dari para pendiri bangsa. Karena dengan menjaga NKRI, pancasila dan UUD 1945 inilah perekat seluruh elemen bangsa. Jangan sampai hal ini dikhianati, apalagi dengan mengambil ideologi dari orang luar yang belum pernah teruji kemudian di uji coba disini,” tutur pria yang juga sebagai Ketua Pengurus Wilayah Mahasiswa Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyin (MATAN) DKI Jakarta ini.
Apalagi, menurut dia, jika dilihat lanjutannya pada saat peristiwa Isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Palestina dan kemudian ke Sidratul Muntaha. Ini adalah peristiwa spiritual yang dialami oleh Nabi, yang kemudian mendapatkan tugas dari Allah untuk membawa perintah salat lima waktu.
”Salat lima waktu ini sebagai sebuah sistem yang turun di malam Isra Miraj untuk menata kehidupan masyarakat di dunia untuk sebagai bekal menuju akhirat. Karena dengan sistem salat lima waktu ini kita bisa menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat,” kata Ali.
Dia mencontohkan dari subuh kita diperintahkan salat, kemudian pagi persiapan bekerja, kemudian dari pagi sampai siang kerja, terus zuhur istirahat kemudian kerja lagi masuk ashar salat lagi.
Menurut dia, di sini Allah mengatur sedemikian rupa supaya hambanya ini memiliki kesadaran bahwa dunia dan akhirat ini harus bisa diraih dengan kesuksesan. Jangan sampai orientasi hidupnya hanya sebatas mengejar dunia, karena di akhirat nanti ada kehidupan yang lebih panjang.
”Sistem salat ini ada untuk menjaga keseimbangan rotasi waktu 24 jam antara keseimbangan duniawi dan rohani bahwa itu harus simetris. Pasca Isra Miraj ini Nabi melakukan sebuah proses hijrah ke Madinah,” ujarnya.
Kiai Ali menyebut bahwa di Madinah inilah Nabi membuat sebuah aturan berbangsa dan bernegara. Masyarakat Madinah saat itu terdiri atas berbagai suku dan agama. Nabi mampu menjadi pemimpin yang bisa diterima oleh semua rakyatnya, baik yang beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi dan dapat diterima dengan baik oleh para kepala suku yang ada di sana.
”Rasulullah menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa hadir di tengah-tengah masyarakat. Konsep yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu konsep Piagam Madinah yang dalam konteks Indonesia ini kemudian diadopsi dengan bentuk Pancasila,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, Pancasila adalah model Piagam Madinah yang dicetuskan oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia. Semua umat beragama, suku, semua dinaungi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sistem dalam Piagam Madinah adalah sistem yang menghormati kebinekaan, menghormati kelompok lain yang tidak sejalan. Termasuk terhadap umat Nasrani, Majusi dan Yahudi, itu semua diberikan penghormatan dan juga hak-haknya.
”Karena itu, kalau kita belajar dari sikap Nabi setelah Isra dan Miraj, kemudian Nabi membangun kota Madinah dengan Piagam Madinah ini artinya bahwa Nabi meletakkan dasar berbangsa dan bernegara yang bisa mengayomi semua anak bangsa, baik yang berbeda agama maupun berbeda suku,” tuturnya.
Pengasuh Pesantren al Rabbani Islamic College Cikeas ini menambahkan, jika sampai ada orang yang memiliki pemikiran ingin mencoba sebuah ideologi yang sebenarnya hanya imajinasi tentu sangat berbahaya sekali.
”Sistem yang dimunculkan oleh HTI dengan mengusung khilafah sudah tidak relevan lagi. Pancasila inilah sebagai pemersatu bangsa, semua agama diberikan kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya masing-masing tanpa saling mengganggu,” kata Ali.
Baca Juga
Untuk itu, kata dia, masyarakat harus diedukasi secara kontinyu, terus menerus, baik berdasarkan ayat Alquran maupun dengan Hadist. Karena menurut Kiai Ali, tidak ada satu pun ayat yang menjelaskan tentang perintah mendirikan khilafah, yang ada adalah khalifah. Karena manusia punya peran di kehidupan masing-masing dan itu namanya adalah khalifah.
”Ada yang jadi presiden, ada yang jadi menteri, ada yang jadi kiai, ada yang jadi ketua RT/RW, ini memiliki peran masing-masing. Itulah fungsi khalifah untuk membangun sistem kehidupan di dunia ini, tetapi ini bukan khilafah,” tuturnya.
(dam)