Partai Gelora Dorong Penerbitan Perppu ITE dan Pengesahan RUU KUHP
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengusulkan tiga skenario untuk mengakhiri ketidakpastian hukum di Indonesia yang bisa berakibat pada jatuhnya penilaian indeks demokrasi seperti tahun ini. Adapun skenario pertama adalah melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) yang bermasalah, seperti Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ).
"Kedua Presiden mem-Perppu UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan, agar segera ada kepastian hukum,” ujar Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, Rabu (24/2/2021).
(Baca: Undang-Undang ITE Mau Direvisi, Fahri Hamzah Malah Minta Dicabut)
Mantan wakil ketua DPR RI ini berpendapat bahwa inisiatif untuk menerbitkan Surat Edaran Kapolri tentang Penerapan UU ITE sangat baik sekali untuk mengakhiri ketidakpastian ini yang dilakukan Kepolisian. Namun, sebaiknya Polri dibekali dengan UU permanen yang bersumber pada Perppu atau revisi UU lebih permanen, termasuk juga pengesahan KUHP, selain UU ITE.
Sebab, kepolisian bukan pembuat UU karena itu dalam jangka panjang dikuatirkan akan menimbulkan masalah baru. Kata Fahri, DPR periode sebelumnya sebenarnya telah membahas pengesahan KUHP pada tingkat pertama di Badan Legislasi.
Tetapi kemudian pembahasan tingkat dua di Rapat Paripurna DPR, pengambilan keputusan tidak dilanjutkan, karena dianggap pembahasan belum selesai. Masih ada pasal-pasal krusial yang belum disepakati.
(Baca: Fahri Hamzah: Penggunaan Istana untuk Berbohong Bikin Pembelahan Dahsyat)
Karena itu, skenario ketiga adalah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Sebagai criminal constitution atau criminal code satu untuk seterusnya dan selamanya, sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh UU yang mungkin bernuansa penuh ketidakpastian hukum tersebut," katanya.
Fahri pun berharap usulan tersebut dapat dipertimbangkan Presiden dan DPR selaku pembuat UU atau produk hukum. "Tinggal perlu penyelesaian dan pengesahaan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan UU P3 (Pembuatan Peraturan dan Perundangan-undangan). Itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama. Dan itu sudah terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019 yang lalu," pungkasnya.
"Kedua Presiden mem-Perppu UU ITE sehingga secara otomatis pasal bermasalah dihilangkan, agar segera ada kepastian hukum,” ujar Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, Rabu (24/2/2021).
(Baca: Undang-Undang ITE Mau Direvisi, Fahri Hamzah Malah Minta Dicabut)
Mantan wakil ketua DPR RI ini berpendapat bahwa inisiatif untuk menerbitkan Surat Edaran Kapolri tentang Penerapan UU ITE sangat baik sekali untuk mengakhiri ketidakpastian ini yang dilakukan Kepolisian. Namun, sebaiknya Polri dibekali dengan UU permanen yang bersumber pada Perppu atau revisi UU lebih permanen, termasuk juga pengesahan KUHP, selain UU ITE.
Sebab, kepolisian bukan pembuat UU karena itu dalam jangka panjang dikuatirkan akan menimbulkan masalah baru. Kata Fahri, DPR periode sebelumnya sebenarnya telah membahas pengesahan KUHP pada tingkat pertama di Badan Legislasi.
Tetapi kemudian pembahasan tingkat dua di Rapat Paripurna DPR, pengambilan keputusan tidak dilanjutkan, karena dianggap pembahasan belum selesai. Masih ada pasal-pasal krusial yang belum disepakati.
(Baca: Fahri Hamzah: Penggunaan Istana untuk Berbohong Bikin Pembelahan Dahsyat)
Karena itu, skenario ketiga adalah mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Sebagai criminal constitution atau criminal code satu untuk seterusnya dan selamanya, sehingga ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada seluruh UU yang mungkin bernuansa penuh ketidakpastian hukum tersebut," katanya.
Fahri pun berharap usulan tersebut dapat dipertimbangkan Presiden dan DPR selaku pembuat UU atau produk hukum. "Tinggal perlu penyelesaian dan pengesahaan pada tingkat kedua yang dapat dipercepat menurut ketentuan UU P3 (Pembuatan Peraturan dan Perundangan-undangan). Itu dapat dipercepat apabila pada periode lalu sebuah RUU telah menyelesaikan pembahasan pada tingkat pertama. Dan itu sudah terjadi pada akhir periode DPR 2012-2019 yang lalu," pungkasnya.
(muh)