CSIPP: Tak Ada Dasar Konstitusional Pelaksanaan Pemilu Harus Serentak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Manajer Program Advokasi Centre for Strategic and Indonesian Policy (CSIPP) Ikhwan Fahrojih berpendapat wacana pemilu nasional dan pemilu lokal serentak tidak terlepas dari perdebatan soal apakah pemilukada termasuk dalam kategori pemilu .
Menurut Ikhwan, setidaknya ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama, pandangan formil. Bahwa pilkada tidak termasuk pemilu karena pemilu sudah diatur secara limitatif dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945.
"Yang dinamakan dengan pemilu itu ya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota, DPD RI, dan capres cawapres. Itu yang namanya pemilu," kata Ikhwan dalam diskusi online 'Revisi UU Pemilukada Mandek, DPR Melanggar Putusan MK?' yang digelar CSIPP, Minggu (21/2/2021) malam.
Ikhwan menegaskan, sebenarnya pemilukada itu masuk dalam rezim pemerintah daerah. Karena dasar konstitusionalnya adalah Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Pandangan kedua, secara materiil. Menurut Ikhwan, pilkada itu termasuk rezim pemilu. Pasalnya, pilkada memenuhi unsur-unsur pemilu sebagaimana dalam Pasal 18 Ayat (4), bahwa gubernur, bupati sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. "Demokratis sama maknanya dengan kedaulatan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilu," tegas dia.
Lebih lanjut menurut Ikhwan, mengingat pandangan kedua menyatakan bahwa pemilihan lokal, pemilihan kepala daerah itu bagian dari pemilu, maka tak ada salahnya menyerentakkan antara pemilu lokal dengan pemilu nasional. Itulah yang waktu itu wacana itu mengemuka.
"Namun setalah Pemilu 2019, kita sudah ada pengalaman pemilu serentak lima kotak, terbukti menimbulkan banyak kerumitan dan meningkatnya suara tidak sah. Karena itu kalau menambahkan lagi pemilukada serentak dengan pemilu, akan menimbulkan kerumitan," kata Ikhwan.
Di lain sisi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada yang memerintahkan atau tidak ada dasar konstitusional yang dilandaskan oleh MK bahwa pemilu lokal itu harus dilakukan serentak.
Peneliti Kode Inisiatif Slamet Santoso berpandangan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal itu sebaiknya dipisah. Akan tetapi memang putusan MK memposisikan pemilihan kepala daerah juga merupakan bagian dari pemilu. Pasalnya, pelaksanaannya menerapkan prinsip-prinsip pemilu, terlebih panitia pelaksananya pun sama.
Karena itu, sah-sah saja jika saat ini para pembentuk undang-undang mengatakan bahwa pelaksanaan pemilu serentak itu untuk menjaga kedaulatan rakyat.
"Akan tetapi perlu diperhatikan jangan sampai upaya tersebut dilakukan hanyak untuk mengambil keuntungan politik semata," terang Slamet.
Kedua narasumber mengingatkan MK agar segera memformulasikan dan mengerucutkan pemilu yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang tidak merugikan rakyat. Tidak menjadikan hal tersebut sebagai kebijakan yang terbuka (open legal policy) yang nantinya akan menimbulkan polemik yang baru lagi.
"CSIPP juga meminta DPR menindaklanjuti putusan MK No. 55/2019 dengan memilih alternatif yang paling ideal dengan mengacu pada putusan MK tersebut," pungkas Ikhwan.
Menurut Ikhwan, setidaknya ada dua pendapat yang mengemuka. Pertama, pandangan formil. Bahwa pilkada tidak termasuk pemilu karena pemilu sudah diatur secara limitatif dalam Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945.
"Yang dinamakan dengan pemilu itu ya pemilihan umum untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota, DPD RI, dan capres cawapres. Itu yang namanya pemilu," kata Ikhwan dalam diskusi online 'Revisi UU Pemilukada Mandek, DPR Melanggar Putusan MK?' yang digelar CSIPP, Minggu (21/2/2021) malam.
Ikhwan menegaskan, sebenarnya pemilukada itu masuk dalam rezim pemerintah daerah. Karena dasar konstitusionalnya adalah Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, bahwa pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis.
Pandangan kedua, secara materiil. Menurut Ikhwan, pilkada itu termasuk rezim pemilu. Pasalnya, pilkada memenuhi unsur-unsur pemilu sebagaimana dalam Pasal 18 Ayat (4), bahwa gubernur, bupati sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. "Demokratis sama maknanya dengan kedaulatan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilu," tegas dia.
Lebih lanjut menurut Ikhwan, mengingat pandangan kedua menyatakan bahwa pemilihan lokal, pemilihan kepala daerah itu bagian dari pemilu, maka tak ada salahnya menyerentakkan antara pemilu lokal dengan pemilu nasional. Itulah yang waktu itu wacana itu mengemuka.
"Namun setalah Pemilu 2019, kita sudah ada pengalaman pemilu serentak lima kotak, terbukti menimbulkan banyak kerumitan dan meningkatnya suara tidak sah. Karena itu kalau menambahkan lagi pemilukada serentak dengan pemilu, akan menimbulkan kerumitan," kata Ikhwan.
Di lain sisi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada yang memerintahkan atau tidak ada dasar konstitusional yang dilandaskan oleh MK bahwa pemilu lokal itu harus dilakukan serentak.
Peneliti Kode Inisiatif Slamet Santoso berpandangan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal itu sebaiknya dipisah. Akan tetapi memang putusan MK memposisikan pemilihan kepala daerah juga merupakan bagian dari pemilu. Pasalnya, pelaksanaannya menerapkan prinsip-prinsip pemilu, terlebih panitia pelaksananya pun sama.
Karena itu, sah-sah saja jika saat ini para pembentuk undang-undang mengatakan bahwa pelaksanaan pemilu serentak itu untuk menjaga kedaulatan rakyat.
"Akan tetapi perlu diperhatikan jangan sampai upaya tersebut dilakukan hanyak untuk mengambil keuntungan politik semata," terang Slamet.
Kedua narasumber mengingatkan MK agar segera memformulasikan dan mengerucutkan pemilu yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang tidak merugikan rakyat. Tidak menjadikan hal tersebut sebagai kebijakan yang terbuka (open legal policy) yang nantinya akan menimbulkan polemik yang baru lagi.
"CSIPP juga meminta DPR menindaklanjuti putusan MK No. 55/2019 dengan memilih alternatif yang paling ideal dengan mengacu pada putusan MK tersebut," pungkas Ikhwan.
(zik)