Demi Penuhi Hak Ribuan Jamaah Gagal Umrah, Presiden Didesak Tetapkan Kondisi Darurat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Negara harus bertanggung jawab memberangkatkan jamaah umrah yang gagal diberangkatkan agen atau perusahaan penyelenggara perjalanan umrah. Tanggung jawab itu merupakan amanat konstitusi, yaitu Pasal 29 ayat 2 dan Pasal 28E UUD 1945 .
”Salah satu hak keagamaan bagi umat Islam adalah menjalankan haji dan atau umrah,” ujar pakar hukum dan advokat TM. Luthfi Yazid dalam pernyataan pers yang diterima, Sabtu (20/2/2021).
(Baca: Menag Pastikan Akan Evaluasi Penyelenggaraan Umrah)
Menurut dia, hak warga negara di dalam konstitusi menjadi kewajiban konstitusional negara untuk memenuhinya. Tetapi faktanya, Indonesia baru memiliki UU Haji dan Umroh jaman Presiden BJ Habibie, yaitu UU No 17 Tahun 1999.
Dalam praktiknya hak keagaamaan sebagai hak paling mendasar warga negara kurang atau bahkan tidak mendapat perlindungan. Sebagai contohnya bisa dilihat dari beberapa kasus jamaah umrah yang gagal berangkat.
Tampak sekali negara tidak memproteksi hak-hak ribuan jamaah umrah yang gagal berangkat. Korban PT First Travel (FT) mencapai 63.310 orang jamaah, PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) mencapai 86.720 korban korban.
”Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali,” ujar mantan kuasa pasangan Prabowo-Sandi ini.
(Baca: Asosiasi Berharap Pemerintah Beri Perhatian Usaha Umrah dan Haji)
Pemerintah memang membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri atas 13 kementerian dan lembaga negara. Tetapi SWI dinilai sangat lemah dan tidak memiliki legal seat yang kuat sehingga gagal memberikan solusi terhadap pemenuhan hak jamaah umrah.
Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternative solusi. Namun semuanya tidak terjadi. Begitu juga peran menteri agama. Lukman Syaefudin mengeluarkan KMA No 589/2017, sedangkan Fahrul Rozi berjanji memberangkatkan jamaah secara bertahap dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI.
”Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat yang diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stres dan meninggal tanpa kejelasan,” kata Luthfi Yazid.
(Baca: Ajukan PK, Kuasa Hukum Sebut Banyak Aset First Travel Menghilang)
Untuk itu, dia mendesak agar presiden mengeluarkan surat keputusan atau menetapkan bahwa kegagalan massif keberangkatan ratusan ribu jamaah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. ”Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jamaah yang gagal berangkat tersebut,” ujar Luthfi Yazid.
Selain itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan agar dilakukan review ( regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umroh. Jika ada yang inkoheren dengan mandate konstitusi maka mesti direvisi, diamandemen atau dicabut.
Lihat Juga: 6 Menteri Perdagangan Sedekade Terakhir, Nomor 2 Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Importasi Gula
”Salah satu hak keagamaan bagi umat Islam adalah menjalankan haji dan atau umrah,” ujar pakar hukum dan advokat TM. Luthfi Yazid dalam pernyataan pers yang diterima, Sabtu (20/2/2021).
(Baca: Menag Pastikan Akan Evaluasi Penyelenggaraan Umrah)
Menurut dia, hak warga negara di dalam konstitusi menjadi kewajiban konstitusional negara untuk memenuhinya. Tetapi faktanya, Indonesia baru memiliki UU Haji dan Umroh jaman Presiden BJ Habibie, yaitu UU No 17 Tahun 1999.
Dalam praktiknya hak keagaamaan sebagai hak paling mendasar warga negara kurang atau bahkan tidak mendapat perlindungan. Sebagai contohnya bisa dilihat dari beberapa kasus jamaah umrah yang gagal berangkat.
Tampak sekali negara tidak memproteksi hak-hak ribuan jamaah umrah yang gagal berangkat. Korban PT First Travel (FT) mencapai 63.310 orang jamaah, PT Amanah Bersama Umat atau PT Abu Tours (AT) mencapai 86.720 korban korban.
”Segala upaya hukum, baik pidana, perdata maupun kepailitan semuanya buntu, tidak membuahkan hasil. Jamaah tetap tidak berangkat, uangnya tetap tidak kembali,” ujar mantan kuasa pasangan Prabowo-Sandi ini.
(Baca: Asosiasi Berharap Pemerintah Beri Perhatian Usaha Umrah dan Haji)
Pemerintah memang membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri atas 13 kementerian dan lembaga negara. Tetapi SWI dinilai sangat lemah dan tidak memiliki legal seat yang kuat sehingga gagal memberikan solusi terhadap pemenuhan hak jamaah umrah.
Padahal jika dilihat dari postur kelembagaan SWI seharunya powerful dan minimal memberikan alternative solusi. Namun semuanya tidak terjadi. Begitu juga peran menteri agama. Lukman Syaefudin mengeluarkan KMA No 589/2017, sedangkan Fahrul Rozi berjanji memberangkatkan jamaah secara bertahap dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI.
”Kenyataannya sudah lebih dari empat tahun tidak ada satu pun jamaah yang gagal berangkat yang diberangkatkan negara, bahkan tidak sedikit yang stres dan meninggal tanpa kejelasan,” kata Luthfi Yazid.
(Baca: Ajukan PK, Kuasa Hukum Sebut Banyak Aset First Travel Menghilang)
Untuk itu, dia mendesak agar presiden mengeluarkan surat keputusan atau menetapkan bahwa kegagalan massif keberangkatan ratusan ribu jamaah itu sebagai keadaan darurat dan luar biasa. ”Atas dasar itu pemerintah memberangkatkan para jamaah yang gagal berangkat tersebut,” ujar Luthfi Yazid.
Selain itu, TM. Luthfi Yazid merekomendasikan agar dilakukan review ( regulation reform) atas semua norma dan aturan terkait pelaksanaan umroh. Jika ada yang inkoheren dengan mandate konstitusi maka mesti direvisi, diamandemen atau dicabut.
Lihat Juga: 6 Menteri Perdagangan Sedekade Terakhir, Nomor 2 Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Importasi Gula
(muh)