Demokrat Tegaskan Tak Ada Dasar Hukum Membuat Pedoman Penafsiran UU ITE
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Fraksi Partai Demokrat di MPR RI, Benny K Harman ikut berkomentar terkait dengan rencana pemerintah dalam hal ini, Menkominfo untuk menyusun atau membuat Pedoman Penafsiran tehadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang akan direvisi.
Benny menegaskan tidak ada dasar hukum presiden untuk membuat aturan pedoman seperti itu. Lagi pula pemerintah atau presiden sama sekali tidak diberi kewenangan untuk membuat interpretasi terhadap sebuah pasal atau ketentuan norma dalam UU termasuk UU ITE. Baca juga: UU ITE Direvisi, Legislator Golkar: Marwah Undang-Undang Ini Bisa Hilang
Menurutnya, jika pun ada hal-hal yang belum diatur secara jelas, masalah tersebut menjadi kewenangan utama para hakim di Pengadilan untuk menafsirkannya atau membuatnya menjadi jelas.
"Dalam hirarki per-UU-an tidak dikenal bentuk hukum “Pedoman” seperti itu, yang dikenal hanya Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU atau Peraturan Presiden untuk menjalankan UUD. Apa dasar pemerintah membuat Pedoman Peraturan seperti itu? Sangat berbahaya jika pedoman seperti itu dibuat pemerintah karena pasti akan bersifat subyektif dan mengikuti selera penguasa," ujarnya kepada wartawan, Jumat (19/2/2021).
Dia menilai jika benar dalam pembuatan Pedoman Tafsir melibatkan Mahkamah Agung (MA) maka ini merusak tatanan sistem bernegara. Dia berpendapat MA seharusnya tidak dilibatkan karena mereka adalah wasit hukum yang harus netral dan independen.
"MA bukan anggota kabinet dan bukan bagian dari keluasaan eksekutif," tandas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.
Sebaliknya, Benny bependapat yang diperlukan saat ini ialah pedoman aparat penegak hukum terutama Polri dalam menegakkan UU ITE dan bentuknya berupa Peraturan Kapolri. Tujuannya agar penegakan UU ITE tidak pilih kasih, tidak tebang pilih, dan benar-benar adil. Dengan harapan, UU itu jangan dipakai untuk singkirkan dan memenjarakan lawan-lawan politik.
"Kami tetap berpendapat UU ini harus direvisi menurut tata cara hukum yang berlaku agar melibatkan kalangan luas masyarakat dalam pembahasannya. UU ini sudah tidak responsif lagi dengan tuntutan rasa hukum dan keadilan masrakat selain berpotensi disalahgunakan oleh penguasa untuk menjaga stabilitas keluasaan," tukasnya.
Benny menegaskan tidak ada dasar hukum presiden untuk membuat aturan pedoman seperti itu. Lagi pula pemerintah atau presiden sama sekali tidak diberi kewenangan untuk membuat interpretasi terhadap sebuah pasal atau ketentuan norma dalam UU termasuk UU ITE. Baca juga: UU ITE Direvisi, Legislator Golkar: Marwah Undang-Undang Ini Bisa Hilang
Menurutnya, jika pun ada hal-hal yang belum diatur secara jelas, masalah tersebut menjadi kewenangan utama para hakim di Pengadilan untuk menafsirkannya atau membuatnya menjadi jelas.
"Dalam hirarki per-UU-an tidak dikenal bentuk hukum “Pedoman” seperti itu, yang dikenal hanya Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU atau Peraturan Presiden untuk menjalankan UUD. Apa dasar pemerintah membuat Pedoman Peraturan seperti itu? Sangat berbahaya jika pedoman seperti itu dibuat pemerintah karena pasti akan bersifat subyektif dan mengikuti selera penguasa," ujarnya kepada wartawan, Jumat (19/2/2021).
Dia menilai jika benar dalam pembuatan Pedoman Tafsir melibatkan Mahkamah Agung (MA) maka ini merusak tatanan sistem bernegara. Dia berpendapat MA seharusnya tidak dilibatkan karena mereka adalah wasit hukum yang harus netral dan independen.
"MA bukan anggota kabinet dan bukan bagian dari keluasaan eksekutif," tandas Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.
Sebaliknya, Benny bependapat yang diperlukan saat ini ialah pedoman aparat penegak hukum terutama Polri dalam menegakkan UU ITE dan bentuknya berupa Peraturan Kapolri. Tujuannya agar penegakan UU ITE tidak pilih kasih, tidak tebang pilih, dan benar-benar adil. Dengan harapan, UU itu jangan dipakai untuk singkirkan dan memenjarakan lawan-lawan politik.
"Kami tetap berpendapat UU ini harus direvisi menurut tata cara hukum yang berlaku agar melibatkan kalangan luas masyarakat dalam pembahasannya. UU ini sudah tidak responsif lagi dengan tuntutan rasa hukum dan keadilan masrakat selain berpotensi disalahgunakan oleh penguasa untuk menjaga stabilitas keluasaan," tukasnya.
(kri)