Reviu Undang-Undang
loading...
A
A
A
Mohammad Agus Maulidi
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI
SETELAH mendorong masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah, sebagaimana disampaikan pekan lalu pada Pidato Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, pekan ini Presiden Joko Widodo menyebut akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ajakan untuk berperan mengkritik dengan diikuti gagasan meninjau kembali substansi UU ITE ini semacam mengekspresikan keseriusan Presiden untuk membuka ruang partisipasi publik dalam perbaikan pemerintahan. Sebelumnya banyak respons dari berbagai kalangan mengenai kekhawatiran penyampaian kritik yang berpeluang berhadapan dengan UU ITE.
Dalam tradisi bernegara hukum, upaya peninjauan suatu undang-undang memang mutlak dibutuhkan. Salah satu tujuannya untuk pengawasan. Hal ini dilakukan dengan cara menilai atau menguji (reviu), apakah suatu undang-undang atau tindakan pemerintah yang ada atau akan diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau menyimpangi semangat keadilan dan negara hukum sehingga merugikan hak konstitusional warga negara (Ni’matul Huda: 2005).
Apabila dilihat dari aspek institusi yang berwenang, bentuk pengujian atau peninjauan suatu peraturan perundang-undangan setidaknya terbagi menjadi tiga kategori besar. Pertama, legislative review, yaitu pengujian terhadap suatu undang-undang yang dilakukan badan politik atau lembaga parlemen seperti legislator. Legislative review yang umumnya dilakukan dengan merevisi suatu undang-undang ini dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sehingga kurang mengakomodasi dan menjawab problematika yang berkembang di masyarakat, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ketidakharmonisan antar-peraturan yang sederajat seperti conflict of norm, tumpang tindih, dan sebagainya. Kedua, executive review, yaitu pengujian suatu peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif atau pemerintah. Executive review dilakukan dengan mendasarkan pada fungsi legislasi yang dimiliki Presiden. Bentuknya, yaitu dengan mengubah atau mengganti undang-undang.
Ketiga, judicial review, yaitu peninjauan atau pengujian yang dilakukan melalui lembaga peradilan. Hasil dari judicial review pada umumnya berupa menguatkan atau membatalkan, menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari aparat pemerintah (eksekutif) atau pihak lainnya, yaitu parlemen (Munir Fuady: 2009). Bentuk judicial review atas suatu undang-undang mencakup 2 (dua) hal, yaitu dalam arti formal dan material. Hak menguji material berkaitan dengan materi muatannya, yaitu untuk menyelidiki apakah kekuasaan yang membuat suatu peraturan berwenang untuk mengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan apakah isi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan hak menguji formal berkaitan dengan prosedur atau cara pembentukannya, yaitu untuk menyelidiki apakah undang-undang telah dibuat secara sah sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Berdasarkan ragam proses peninjauan kembali materi muatan suatu undang-undang sebagaimana diuraikan di atas, maka masing-masing cabang kekuasaan negara mempunyai peluang untuk melakukan peninjauan terhadap UU ITE. Presiden dapat melakukan reviu terhadap UU ITE melalui mekanisme executive review, yang pada akhirnya akan berbentuk rancangan undang-undang perubahan terhadap UU ITE untuk diusulkan kepada DPR dan disetujui bersama. Demikian pula dengan DPR yang dapat melakukan reviu melalui mekanisme legislative review yang dapat berbuah rancangan undang-undang (RUU) sebagai inisiatif DPR untuk dibahas dan disetujui bersama presiden. Hal ini mengingat proses legislasi undang-undang mensyaratkan keterlibatan presiden dan DPR.
Apabila executive review dan legislative review cenderung bergantung pada kehendak presiden dan DPR, maka judicial review terhadap suatu undang-undang lebih dominan bergantung pada masyarakat secara luas. Hal ini mengingat judicial review yang pada konteks Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak akan melakukan peninjauan terhadap suatu undang-undang apabila tidak diajukan oleh masyarakat. Kendatipun demikian, masyarakat tidak bisa secara sporadis dan asal-asalan mengajukan pengujian suatu undang-undang. Diperlukan syarat tertentu yang harus dipenuhi, yaitu warga negara yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Kerugian konstitusional warga negara yang diuraikan dengan jelas dalam suatu permohonan inilah yang menjadi dasar bagi lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) untuk mereviu undang-undang.
Uraian di atas menggambarkan bahwa 3 (tiga) model reviu terhadap suatu undang-undang, sebenarnya telah memberikan ruang bagi semua pihak untuk dapat melakukan peninjauan atau pengujian terhadap keberlakuan UU ITE. Reviu tersebut tentu terhadap aspek formal ataupun material sehingga keberlakuan UU ITE tidak mereduksi hak konstitusional warga negara, prinsip keadilan dan semangat bernegara hukum, termasuk dalam hal ini adalah hak untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
Alumnus Program Politik Cerdas Berintegritas KPK RI
SETELAH mendorong masyarakat untuk lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah, sebagaimana disampaikan pekan lalu pada Pidato Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, pekan ini Presiden Joko Widodo menyebut akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ajakan untuk berperan mengkritik dengan diikuti gagasan meninjau kembali substansi UU ITE ini semacam mengekspresikan keseriusan Presiden untuk membuka ruang partisipasi publik dalam perbaikan pemerintahan. Sebelumnya banyak respons dari berbagai kalangan mengenai kekhawatiran penyampaian kritik yang berpeluang berhadapan dengan UU ITE.
Dalam tradisi bernegara hukum, upaya peninjauan suatu undang-undang memang mutlak dibutuhkan. Salah satu tujuannya untuk pengawasan. Hal ini dilakukan dengan cara menilai atau menguji (reviu), apakah suatu undang-undang atau tindakan pemerintah yang ada atau akan diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, atau menyimpangi semangat keadilan dan negara hukum sehingga merugikan hak konstitusional warga negara (Ni’matul Huda: 2005).
Apabila dilihat dari aspek institusi yang berwenang, bentuk pengujian atau peninjauan suatu peraturan perundang-undangan setidaknya terbagi menjadi tiga kategori besar. Pertama, legislative review, yaitu pengujian terhadap suatu undang-undang yang dilakukan badan politik atau lembaga parlemen seperti legislator. Legislative review yang umumnya dilakukan dengan merevisi suatu undang-undang ini dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sehingga kurang mengakomodasi dan menjawab problematika yang berkembang di masyarakat, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ketidakharmonisan antar-peraturan yang sederajat seperti conflict of norm, tumpang tindih, dan sebagainya. Kedua, executive review, yaitu pengujian suatu peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif atau pemerintah. Executive review dilakukan dengan mendasarkan pada fungsi legislasi yang dimiliki Presiden. Bentuknya, yaitu dengan mengubah atau mengganti undang-undang.
Ketiga, judicial review, yaitu peninjauan atau pengujian yang dilakukan melalui lembaga peradilan. Hasil dari judicial review pada umumnya berupa menguatkan atau membatalkan, menambah atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari aparat pemerintah (eksekutif) atau pihak lainnya, yaitu parlemen (Munir Fuady: 2009). Bentuk judicial review atas suatu undang-undang mencakup 2 (dua) hal, yaitu dalam arti formal dan material. Hak menguji material berkaitan dengan materi muatannya, yaitu untuk menyelidiki apakah kekuasaan yang membuat suatu peraturan berwenang untuk mengeluarkan peraturan yang bersangkutan, dan apakah isi peraturan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan hak menguji formal berkaitan dengan prosedur atau cara pembentukannya, yaitu untuk menyelidiki apakah undang-undang telah dibuat secara sah sesuai dengan kriteria dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Berdasarkan ragam proses peninjauan kembali materi muatan suatu undang-undang sebagaimana diuraikan di atas, maka masing-masing cabang kekuasaan negara mempunyai peluang untuk melakukan peninjauan terhadap UU ITE. Presiden dapat melakukan reviu terhadap UU ITE melalui mekanisme executive review, yang pada akhirnya akan berbentuk rancangan undang-undang perubahan terhadap UU ITE untuk diusulkan kepada DPR dan disetujui bersama. Demikian pula dengan DPR yang dapat melakukan reviu melalui mekanisme legislative review yang dapat berbuah rancangan undang-undang (RUU) sebagai inisiatif DPR untuk dibahas dan disetujui bersama presiden. Hal ini mengingat proses legislasi undang-undang mensyaratkan keterlibatan presiden dan DPR.
Apabila executive review dan legislative review cenderung bergantung pada kehendak presiden dan DPR, maka judicial review terhadap suatu undang-undang lebih dominan bergantung pada masyarakat secara luas. Hal ini mengingat judicial review yang pada konteks Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, tidak akan melakukan peninjauan terhadap suatu undang-undang apabila tidak diajukan oleh masyarakat. Kendatipun demikian, masyarakat tidak bisa secara sporadis dan asal-asalan mengajukan pengujian suatu undang-undang. Diperlukan syarat tertentu yang harus dipenuhi, yaitu warga negara yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang (Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Kerugian konstitusional warga negara yang diuraikan dengan jelas dalam suatu permohonan inilah yang menjadi dasar bagi lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) untuk mereviu undang-undang.
Uraian di atas menggambarkan bahwa 3 (tiga) model reviu terhadap suatu undang-undang, sebenarnya telah memberikan ruang bagi semua pihak untuk dapat melakukan peninjauan atau pengujian terhadap keberlakuan UU ITE. Reviu tersebut tentu terhadap aspek formal ataupun material sehingga keberlakuan UU ITE tidak mereduksi hak konstitusional warga negara, prinsip keadilan dan semangat bernegara hukum, termasuk dalam hal ini adalah hak untuk menyampaikan kritik terhadap pemerintah.
(bmm)