Epistemologi Seputar Covid-19: Menakar Sumber Informasi

Senin, 18 Mei 2020 - 08:02 WIB
loading...
Epistemologi Seputar...
Foto/Istimewa
A A A
Muhammad Mustofa
Guru Besar di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia

Pandemi Covid-19 yang pada awal kemunculannya relatif masih penuh misteri berdampak pada berlimpahnya informasi mengenai virus ini. Informasi-informasi tersebut tidak seluruhnya benar, ada yang merupakan berita bohong ( hoax ), bahkan dapat menjerumuskan orang ke dalam malapetaka. Betapa tidak, para ilmuwan rumpun ilmu kesehatan masih belum menemukan serum dan obat yang dapat dipergunakan untuk melawan Covid-19, sudah banyak beredar informasi “pengobatan herbal” yang mujarab.

Treatment terhadap pasien positif Covid-19 pun masih dalam taraf uji coba atau uji klinis (yang orang awam tidak paham apa maknanya) dan belum menjadi treatment standar. Di titik paling ekstrem, bahkan seorang dokter pakar epidemiologi (ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkat penyebaran penyakit di masyarakat dan tata cara pengendaliannya) wafat di masa awal masuknya Covid-19 ke Indonesia. Dia terpapar Covid-19 karena pada waktu itu Covid-19 masih penuh misteri. Sampai sekarang pun masih banyak tenaga medis yang terpapar Covid-19.

Informasi yang tidak benar seputar Covid-19 yang dapat mencelakakan orang, dalam studi kriminologi dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kejahatan. Dalam hal ini kejahatan diartikan sebagai tindakan sosial yang merugikan masyarakat, baik secara individual maupun secara keseluruhan.

Ketika para tenaga medis di berbagai rumah sakit mengalami kesulitan untuk memperoleh alat pelindung diri (APD), termasuk masker, atas dasar iktikad baik untuk berbagi, banyak warga masyarakat yang berinisiatif untuk memproduksi APD dan masker untuk disumbangkan ke rumah-rumah sakit, ada juga yang dijual. Yang luput dari perhatian adalah tidak semua produksi rumahan APD dan masker tersebut memenuhi standar kualitas yang ditentukan oleh WHO. Alih-alih terlindungi, tenaga kesehatan justru menjadi berisiko terpapar Covid-19.

Mengapa permasalahan tersebut terjadi? Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menghasilkan perubahan sosial yang besar. Dalam perubahan sosial yang besar, menurut Durkheim, dampak ikutannya adalah terjadinya keadaan anomie. Keadaan anomie adalah keadaan ketika orang kehilangan pegangan norma tingkah laku, mana yang harus diikuti dan mana yang tidak perlu diikuti. Tambahan lagi, era industri 4.0, era perkembangan teknologi cyber, yang salah satu cirinya adalah ketidakpastian, mendorong tumbuhnya kebenaran-kebenaran yang dikonstruksikan secara sengaja, walaupun ia bukan kebenaran. Ini yang disebut sebagai post truth. (Baca: Menkominfo Catat Ada 154 Hoaks Seputar Virus Corona)

Bertepatan dengan itu, perkembangan teknologi juga mengubah pola interaksi sosial, dari hanya interaksi sosial faktual ditemani oleh interaksi sosial virtual. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat orang lebih cenderung berinteraksi sosial secara virtual.

Kombinasi berbagai faktor yang mendahului kemunculan Covid-19 tersebutlah yang berdampak pada penyebarluasan informasi yang tidak benar dan post truth. Bagus Sudarmanto, seorang kriminolog, secara cerdas menyebutnya cybernomic: masa ketika banyak orang atau masyarakat kehilangan acuan norma tingkah laku terkait era cyber.

Permasalahannya kemudian, bagaimana kita menyikapi post truth dan cybernomic seputar pandemi Covid-19. Kuncinya adalah kita harus menakar kredibilitas sumber informasinya, bukan menilai informasi yang disebarkan. Menakar kredibilitas sumber informasi ”apakah ia memang ahli yang kredibel atau bukan” merupakan kajian expertology yang dikembangkan oleh Walton pada 1997. Enam kriteria dalam menakar ”apakah seseorang dapat dipercaya sebagai ahli atau sumber informasi”(Walton, 1997), yaitu: pertama seberapa kredibel ahli tersebut merupakan ahli?, kedua, apakah ahli tersebut merupakan ahli dalam bidang tersebut?, ketiga, apa pernyataan ahli tentang hal yang dipertanyakan?, ketiga, apakah secara personal ahli tersebut merupakan nara-ahli yang reliabel?, keempat, apakah pernyataan ahli tersebut konsisten dengan pernyataan ahli yang lain?, kelima, apakah pernyataan ahli tersebut berdasarkan pada bukti ilmiah? (Baca juga: Polisi Tetapkan 22 Tersangka Penyebaran Hoaks Virus Corona)

Selaras dengan itu, Goldman (2001) memberikan lima kriteria dalam menilai keahlian seseorang. Pertama, apa argumen-argumen yang diberikan oleh ahli-ahli lain yang berbeda pendapatnya?, kedua, bagaimana sesungguhnya kesepakatan dari ahli-ahli lain?, ketiga, bagaimana penilaian keterangan ahli oleh ahli-ahli lain?, keempat, apakah terdapat bukti-bukti kepentingan dan bias ahli, misal honor yang diperoleh, popularitas yang diharapkan?, dan kelima, bagaimana rekam jejak masa lalu dari ahli tersebut?
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1595 seconds (0.1#10.140)