Pemerintah dan DPR Dinilai Terburu-buru Tunda Revisi UU Pemilu

Senin, 15 Februari 2021 - 07:59 WIB
loading...
Pemerintah dan DPR Dinilai Terburu-buru Tunda Revisi UU Pemilu
Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, pemerintah maupun legislatif terlalu terburu-buru menunda pembahasan revisi UU Pemilu. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, pemerintah maupun legislatif terlalu terburu-buru menunda pembahasan revisi UU Pemilu. Begitu juga dengan penetapan tidak adanya opsi lain kecuali melaksanakan Pilkada dan Pemilu serentak pada 2024 .

Menurut Ray, revisi UU Pemilu memang satu keharusan. Selain menyangkut soal teknis pelaksanaan pemilu serentak, dengan segala konsekuensi format dan mekanismenya, penyelenggara, waktu, dana, dan sebagainya, juga karena berbagai hambatan dan kendala di lapangan selama praktik pemilu serentak 2019 dan pilkada 2020 lalu. "Dibutuhkan perbaikan menyeluruh dalam sistem pemilu atau pilkada yang lebih mendekatkan pada aspek penguatan hak warga negara, terjalinnya hubungan yang lebih kuat antara pemilih dengan yang dipilih, mencegah ologarki partai, mencegah nepotisme politik dan penggunaan uang haram di dalam pemilu," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Senin (15/2/2021).

Dia mengatakan, mengingat begitu luas dan subtantif poin revisinya, maka dilihat perlunya pembahasan yang terencana, simultan, berkala dan dengan waktu yang lebih lapang. Maka harus dicegah pembahasan revisi UU Pemilu dengan gegabah, di mana daftar inventaris masalahnya begitu banyak, tapi waktu yang tersedia untuk hal itu misalnya hanya satu atau bahkan setengah tahun. "Jelas, belajar dari pengalaman revisi UU KPK dan penetapan UU Omnibus Law, pembahasan UU yang serba cepat hanya akan menimbulkn dampak minimnya partisipasi masyarakat yang berujung pada makin jauhnya aspirasi masyarakat dalam revisi UU yang dimaksud," papar dia.

Lebih lanjut Ray mengaatakan, begitu juga dengan pilkada serentak 2024. Harus benar-benar dipikirkan cara yang tepat, bagaimana memastikan pesta politik besar tersebut dapat terlaksana dengan mengurangi peristiwa yang terjadi pada pemilu serentak 2019 lalu. Dia melihat, kelelahan, ketidakcermatan, ketegangan berkelindan menjadi satu. ”Itu baru satu pemilu serentak. Apalagi dalam skenario 2024, jeda antara pilpres dengan pilkada nyaris tidak ditemukan. Akibatnya, begitu pilpres selesai, tahapan pilkada dimulai. Bahkan jika pilpres berlanjut ke dua putaran, ada kemungkinan pekerjaan yang saling menumpuk dalam satu waktu,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Ray, pihaknya mengusulkan agar pembahasan revisi UU Pemilu mulai dilakukan dari tahun ini, 2021 yang secara berkala akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya, hingga 2023. "Setahun sebelum tahapan pemilu legislatif dan pilperea dimulai, semua pembahasan revisi UU pemilu berakhir," beber mantan aktivis 98 ini.

Kedua, kata Ray, pelaksanaan pilkada serentak 2022 dan 2023 disatukan dalam satu waktu pelaksanaan. Dalam hitungan lembaganya dapat dilaksanakan pada bulan-bulan akhir dari 2022 dan pemungutan suaranya dilakukan di awal-awal 2023.

"Dengan begitu, kepala daerah yang berakhir masa baktinya 2022-2023 langsung dapat ikut pilkada. Dengan begitu pula, daerah tidak perlu menjalani roda pemerintahan di bawah penjabat kepala daerah yang terlalu lama. Dan dengan begitu pula, jarak antara pilkada serentak dengan pemilu serentak cukup luas. Setidaknya tersedia waktu jeda sekitar setengah tahun," pungkasnya. (Rakhmat)
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1233 seconds (0.1#10.140)