Soal Pendukung AHY Ketar-ketir Jika Gibran Dibawa ke DKI, Ini Reaksi Demokrat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menyatakan, hak Wali Kota Solo terpilih, Gibran Rakabuming Raka untuk ikut bertarung di Pilkada DKI Jakarta atau pilkada daerah lainnya. Menurut Herzaky itu hak konstitusional yang dimiliki putra sulung Presiden Jokowi.
Hal itu dikatakan Herzaky menanggapi pernyataan Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Fadhli Harahab yang menyebut, Gibran berpeluang diboyong ke Jakarta dan berpotensi melawan Anies Baswedan, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). "Tapi, yang kami pertanyakan adalah sikap pemerintah dan partai koalisi pemerintah yang seakan-akan memaksakan Pilkada 2022 dan 2023 dilaksanakan serentak di 2024. Padahal, pelaksanaan pilkada serentak di 2024 jelas-jelas memiliki potensi masalah yang sangat besar," tutur Herzaky saat dihubungi SINDOnews, Minggu (14/2/2021).
Pertama, Herzaky menuturkan, keberadaan penjabat kepala daerah di 272 daerah selama 1-2 tahun yang memiliki legitimasi sangat rendah karena tidak dipilih rakyat, mengamputasi proses demokrasi, dan memunculkan bom waktu potensi penyalahgunaan kekuasaan terkait netralitas ASN. Kedua, beban teknis berlebih, yang memunculkan tekanan fisik maupun psikologis kepada para petugas pemilu. Pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak pada 2019 telah memakan korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Sedangkan di 2024, menurut rencana bakal ditambahkan dengan pelaksanaan pilkada beberapa bulan kemudian. Potensi korban berjatuhan sangat mungkin terjadi kembali," papar Herzaky.
Di sisi lain, KPU sendiri telah menyampaikan, besarnya beban yang bakal dihadapi, karena akan ada tahapan-tahapan di pileg dan pilpres yang bakal bentrok dengan pilkada. Pelaksanaan pileg dan pilpres serta pilkada serentak di seluruh Indonesia, bukan sekedar tambah-tambahan di atas kertas. Melainkan ada konsekuensi panjang yang mengikuti keserentakan pelaksanaan pilkadanya. "Ketiga, emotional cost masyarakat sebagai konsekuensi pelaksanaan pilpres dan pileg serentak, serta ditambah lagi pilkada serentak," imbuhnya. Baca juga: Gibran Diboyong ke Jakarta, Pendukung Anies dan AHY Bakal Ketar-ketir
Lebih lanjut dia mengatakan, apakah masyarakat siap menghadapi pertarungan seperti di 2019? Apalagi jangka waktunya bakal bertambah dengan pelaksanaan pilkada serentak di tahun yang sama. Ia melihat, tentunya intensitasnya bakal meningkat drastis. Selain itu, pertarungan banal di dunia maya dan juga di dunia nyata dalam jangka waktu yang cukup panjang dan secara intens, memberikan tekanan berlebih kepada para pemilih.
Dalam konteks ini, akan muncul kejenuhan, dan akan muncul prinsip asal selesai saja pemilunya, tanpa perlu memberikan perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas pemilu. "Money politics dan tawaran politik identitas serta polarisasi menjadi strategi sapu jagat yang bakal menjadi primadona di tengah kompleksitas persaingan akibat keserentakan pileg, pilpres, dan pilkada di tahun yang sama," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, sikap pemerintah dalam mengambil keputusan terkait rencana revisi RUU Pemilu ini di luar nalar, logika berpikir, dan terlihat tidak konsisten dengan argumen yang keluar dari pemerintah sendiri saat publik meminta pilkada serentak 2020 lalu untuk ditunda. Di sisi lain, aspirasi publik untuk melakukan revisi undang-undang pemilu saat ini sangat menguat, sikap pemerintah justru bertolak belakang dengan menolak revisi. "Dengan berbagai faktor ini, wajar jika kecurigaan publik pun timbul, ada alasan pragmatis dibalik ini. Salah satunya adalah skenario menyiapkan Gibran untuk Pilkada DKI Jakarta 2024," ucapnya.
Herzaky menganggap, hal ini yang sangat Partai Demokrat sayangkan. Karena seharusnya, pertimbangan dalam menolak atau menyetujui pembahasan revisi RUU Pemilu, adalah untuk kepentingan perbaikan kualitas tata kelola pemilu di Indonesia, serta peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Bukan untuk jegal-menjegal atau dukung-mendukung calon presiden tertentu.
Dia pun menganggap, Agus Harimurti Yudhoyono, saat ini sedang fokus membantu rakyat melalui amanahnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memimpin dan mendukung para kader yang sedang mendapatkan amanah sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota di berbagai pelosok Indonesia, maupun puluhan ribu pengurus, dan jutaan kader lainnya. "Berkontestasi di Pilkada Jakarta 2022 ataupun 2024, setahu kami, bukanlah hal yang dipikirkan Ketum kami saat ini. Masih banyak rakyat yang kesulitan karena pandemi dan krisis ekonomi, itu yang menjadi fokus beliau saat ini," pungkasnya.
Lihat Juga: Kelakar Gibran di Depan Ketua PP Pemuda Katolik: Senasib, Baru Saja Dikeluarkan dari Partai
Hal itu dikatakan Herzaky menanggapi pernyataan Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (Sudra) Fadhli Harahab yang menyebut, Gibran berpeluang diboyong ke Jakarta dan berpotensi melawan Anies Baswedan, termasuk Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). "Tapi, yang kami pertanyakan adalah sikap pemerintah dan partai koalisi pemerintah yang seakan-akan memaksakan Pilkada 2022 dan 2023 dilaksanakan serentak di 2024. Padahal, pelaksanaan pilkada serentak di 2024 jelas-jelas memiliki potensi masalah yang sangat besar," tutur Herzaky saat dihubungi SINDOnews, Minggu (14/2/2021).
Pertama, Herzaky menuturkan, keberadaan penjabat kepala daerah di 272 daerah selama 1-2 tahun yang memiliki legitimasi sangat rendah karena tidak dipilih rakyat, mengamputasi proses demokrasi, dan memunculkan bom waktu potensi penyalahgunaan kekuasaan terkait netralitas ASN. Kedua, beban teknis berlebih, yang memunculkan tekanan fisik maupun psikologis kepada para petugas pemilu. Pelaksanaan pileg dan pilpres secara serentak pada 2019 telah memakan korban 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Sedangkan di 2024, menurut rencana bakal ditambahkan dengan pelaksanaan pilkada beberapa bulan kemudian. Potensi korban berjatuhan sangat mungkin terjadi kembali," papar Herzaky.
Di sisi lain, KPU sendiri telah menyampaikan, besarnya beban yang bakal dihadapi, karena akan ada tahapan-tahapan di pileg dan pilpres yang bakal bentrok dengan pilkada. Pelaksanaan pileg dan pilpres serta pilkada serentak di seluruh Indonesia, bukan sekedar tambah-tambahan di atas kertas. Melainkan ada konsekuensi panjang yang mengikuti keserentakan pelaksanaan pilkadanya. "Ketiga, emotional cost masyarakat sebagai konsekuensi pelaksanaan pilpres dan pileg serentak, serta ditambah lagi pilkada serentak," imbuhnya. Baca juga: Gibran Diboyong ke Jakarta, Pendukung Anies dan AHY Bakal Ketar-ketir
Lebih lanjut dia mengatakan, apakah masyarakat siap menghadapi pertarungan seperti di 2019? Apalagi jangka waktunya bakal bertambah dengan pelaksanaan pilkada serentak di tahun yang sama. Ia melihat, tentunya intensitasnya bakal meningkat drastis. Selain itu, pertarungan banal di dunia maya dan juga di dunia nyata dalam jangka waktu yang cukup panjang dan secara intens, memberikan tekanan berlebih kepada para pemilih.
Dalam konteks ini, akan muncul kejenuhan, dan akan muncul prinsip asal selesai saja pemilunya, tanpa perlu memberikan perhatian dalam upaya meningkatkan kualitas pemilu. "Money politics dan tawaran politik identitas serta polarisasi menjadi strategi sapu jagat yang bakal menjadi primadona di tengah kompleksitas persaingan akibat keserentakan pileg, pilpres, dan pilkada di tahun yang sama," ujarnya.
Apalagi, lanjut dia, sikap pemerintah dalam mengambil keputusan terkait rencana revisi RUU Pemilu ini di luar nalar, logika berpikir, dan terlihat tidak konsisten dengan argumen yang keluar dari pemerintah sendiri saat publik meminta pilkada serentak 2020 lalu untuk ditunda. Di sisi lain, aspirasi publik untuk melakukan revisi undang-undang pemilu saat ini sangat menguat, sikap pemerintah justru bertolak belakang dengan menolak revisi. "Dengan berbagai faktor ini, wajar jika kecurigaan publik pun timbul, ada alasan pragmatis dibalik ini. Salah satunya adalah skenario menyiapkan Gibran untuk Pilkada DKI Jakarta 2024," ucapnya.
Herzaky menganggap, hal ini yang sangat Partai Demokrat sayangkan. Karena seharusnya, pertimbangan dalam menolak atau menyetujui pembahasan revisi RUU Pemilu, adalah untuk kepentingan perbaikan kualitas tata kelola pemilu di Indonesia, serta peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Bukan untuk jegal-menjegal atau dukung-mendukung calon presiden tertentu.
Dia pun menganggap, Agus Harimurti Yudhoyono, saat ini sedang fokus membantu rakyat melalui amanahnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memimpin dan mendukung para kader yang sedang mendapatkan amanah sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota di berbagai pelosok Indonesia, maupun puluhan ribu pengurus, dan jutaan kader lainnya. "Berkontestasi di Pilkada Jakarta 2022 ataupun 2024, setahu kami, bukanlah hal yang dipikirkan Ketum kami saat ini. Masih banyak rakyat yang kesulitan karena pandemi dan krisis ekonomi, itu yang menjadi fokus beliau saat ini," pungkasnya.
Lihat Juga: Kelakar Gibran di Depan Ketua PP Pemuda Katolik: Senasib, Baru Saja Dikeluarkan dari Partai
(cip)