Imlek 2021, Sejarawan: Etnis Tionghoa Ikut Berperan dalam Kemerdekaan Indonesia

Jum'at, 12 Februari 2021 - 22:44 WIB
loading...
Imlek 2021, Sejarawan: Etnis Tionghoa Ikut Berperan dalam Kemerdekaan Indonesia
Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, etnis Tionghoa ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, etnis Tionghoa ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu disampaikan Bonnie saat menghadiri perayaan Imlek 2021 yang digelar PDI Perjuangan (PDIP), Jumat (12/2/2021). Perayaan Imlek yang bertema 'Imlekan Bareng Banteng' ditayangkan di Channel resmi PDIP di Youtube @pdiperjuangan.

Bonnie mengatakan, perayaan Tahun Baru China di Indonesia karena etnis Tionghoa disebutnya mempunyai sejarah panjang, di mana WNI etnis Tionghoa ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia menuturkan, pada 1932, didirikan Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini ikut terlibat dalam politik pra kemerdekaan Indonesia. "Pada 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno," kata Bonnie. Baca juga: Gelar Perayaan Imlek, PDIP Usung Tema Imlekan Bareng Banteng

Bahkan kata Bonnie, ada seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie, yang sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional. "Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting, berdampingan dengan sejarah kita," jelas Bonnie.

Menurut Bonnie, jika kini isu rasial terhadap WNI etnis Tionghoa terjadi, sebenarnya juga sudah ada dari masa kolonialisme Belanda. Penjajah saat itu mengelompokan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada 1854. Pertama, orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang Cina, serta Inlander atau pribumi. "Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif," kata Bonnie.

Karena itu, dia menyebut mereka yang berpikir seperti itu di saat ini sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran pra ke-Indonesiaan atau sebelum awal abad 2020. Titik perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial itu adalah ketika para pemuda bersatu pada 1928 atau peristiwa Sumpah Pemuda. "Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerahnya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras," ungkap Bonnie.

Keinginan bersatu ini, selain saat Sumpah Pemuda juga diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945 yang mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua. "Pahamnya nasionalisme modern yang tidak tersekat latang belakang agama, etnis, maupun, ras," tutur Bonnie.

Perayaan Imlek di era Presiden Soekarno diperbolehkan dan tidak dilarang. Di masa Orde Baru, masa Presiden Soeharto, Imlek dilarang melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Setelah dilarang hampir 30 tahun, cerita Bonnie, masa kepemimpinan Soeharto berakhir dan Imlek kembali boleh dirayakan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 2000. Kebijakan ini lalu disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002. "Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis," kata Bonnie.

Ditegaskan Bonnie, jika ada orang saat ini masih berpikiran rasis terlebih kepada etnis Tionghoa, mereka adalah orang yang terjebak dalam pemikiran kolonialisme. "Itu kita kategorikan orang yang berada dalam kesadaran orang di bawah kesadaran pra Indonesia atau di bawah kolonialisme. Jadi udah tidak keren," tutur Bonnie.

Padahal, lanjut Bonnie, jika mengacu sejarah, pada 4.000 tahun lalu ada yang masuk ke Nusantara dari Yunnan, wilayah China saat ini. "Masuk ke Indonesia dan kemudian sudah bermukim di kepulauan Nusantara. Jadi kalau dites DNA gitu, kita pasti punya sisi genetik dari Yunnan," ungkap Bonnie.

Atas dasar tersebut, dia meminta seluruh masyarakat tetap belajar sejarah untuk mengenal kebudayaan Indonesia sendiri. "Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial," pungkas Bonnie.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1709 seconds (0.1#10.140)