Beban Terlalu Berat, Publik Ingin Pilkada dan Pilpres 2024 Tak Serentak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indikator Politik Indonesia (IPI) merilis survei publik yang bertajuk 'Aspirasi Publik Terkait Undang-Undang Pemilu dan Pilkada' secara daring, Senin (8/2/2021) hari ini. Selain memotret pandangan publik mengenai polemik revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada (RUU Pemilu).
(Baca juga: Mencuat Isu PDIP Usung Anies di Pilkada 2024, Benarkah?)
Hasilnya, mayoritas publik ingin agar pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres) dan pilkada tidak dilakukan serentak di 2024.
(Baca juga: Revisi UU Pemilu Belum Diperlukan, Golkar: Uji Cobanya di Pilkada Serentak 2024)
Direktur IPI Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, responden diberikan dua pendapat terkait dengan usulan RUU Pemilu. Pendapat pertama, pilkada yang akan datang dilakukan bersamaan waktunya dengan pileg dan pilpres. Pendapat kedua, pilkada dilakukan berbeda waktunya dengan pileg dan pilpres.
"Warga umumnya, 63,2 persen menghendaki agar pemilihan presiden dan anggota legislatif dipisah waktunya dengan pilkada. Pendapat pertama hanya 28,9 persen dan sisanya 7,9 persen tidak menjawab," kata Burhan dalam paparannya.
(Baca juga: Selesaikan Perselisihan, MK Harus Berani Keluaar dari Pasal 158 UU Pilkada)
Burhan menjelaskan, alasannya ternyata karena responden mengetahui bahwa pada Pemilu Serentak 2019, banyak petugas pemilu yang yang meninggal dunia karena beban kerja yang berat yakni 68,4% sementara sisanya tidak tahu.
"Warga yang tahu dengan banyaknya korban di pihak pelaksana pemilu 2019, umumnya tidak bisa menerima banyak korban tersebut 59,9 persen," terangnya.
"Dan dari mereka yang tidak menerima tersebut 71,8 persen menginginkan agar penyatuan pileg dan pilpres dihindari. Hanya 23,9 persen publik ingin tetap serentak dan 4,4 persen tidak menjawab," sambung Burhan.
Survei dilakukan 1-3 Februari 2021 dengan biaya CSR Indikator. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel survei tatap muka langsung Indikator Politik Indonesia pada Maret 2018-Maret 2020 yakni, 206.983 responden.
Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancara sebesar 1.200 responden.
Dengan simple random sampling, survei ini memiliki margin of error (toleransi kesalahan) -+ 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Sampel diambil dari seluruh provinsi, semakin banyak jumlah pemilih di provinsi semakin banyak sampel dengan memperhatikan kondisi demografi.
(Baca juga: Mencuat Isu PDIP Usung Anies di Pilkada 2024, Benarkah?)
Hasilnya, mayoritas publik ingin agar pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden (pilpres) dan pilkada tidak dilakukan serentak di 2024.
(Baca juga: Revisi UU Pemilu Belum Diperlukan, Golkar: Uji Cobanya di Pilkada Serentak 2024)
Direktur IPI Burhanuddin Muhtadi menjelaskan, responden diberikan dua pendapat terkait dengan usulan RUU Pemilu. Pendapat pertama, pilkada yang akan datang dilakukan bersamaan waktunya dengan pileg dan pilpres. Pendapat kedua, pilkada dilakukan berbeda waktunya dengan pileg dan pilpres.
"Warga umumnya, 63,2 persen menghendaki agar pemilihan presiden dan anggota legislatif dipisah waktunya dengan pilkada. Pendapat pertama hanya 28,9 persen dan sisanya 7,9 persen tidak menjawab," kata Burhan dalam paparannya.
(Baca juga: Selesaikan Perselisihan, MK Harus Berani Keluaar dari Pasal 158 UU Pilkada)
Burhan menjelaskan, alasannya ternyata karena responden mengetahui bahwa pada Pemilu Serentak 2019, banyak petugas pemilu yang yang meninggal dunia karena beban kerja yang berat yakni 68,4% sementara sisanya tidak tahu.
"Warga yang tahu dengan banyaknya korban di pihak pelaksana pemilu 2019, umumnya tidak bisa menerima banyak korban tersebut 59,9 persen," terangnya.
"Dan dari mereka yang tidak menerima tersebut 71,8 persen menginginkan agar penyatuan pileg dan pilpres dihindari. Hanya 23,9 persen publik ingin tetap serentak dan 4,4 persen tidak menjawab," sambung Burhan.
Survei dilakukan 1-3 Februari 2021 dengan biaya CSR Indikator. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel survei tatap muka langsung Indikator Politik Indonesia pada Maret 2018-Maret 2020 yakni, 206.983 responden.
Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancara sebesar 1.200 responden.
Dengan simple random sampling, survei ini memiliki margin of error (toleransi kesalahan) -+ 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Sampel diambil dari seluruh provinsi, semakin banyak jumlah pemilih di provinsi semakin banyak sampel dengan memperhatikan kondisi demografi.
(maf)