Komunikasi Partai Demokrat Kurang Taktis dan Berlebihan dalam Isu Kudeta
loading...
A
A
A
"Atau the good-nya AHY Partai Demokrat, the bad-nya Moeldoko dan the ugly-nya adalah Jokowi, nah ini kan bahaya karena bisa menimbulkan luapan emosi di kalangan pendukung Jokowi maupun partai politik pendukungnya seperti PDIP, rupaya dalam pernyataan yang lain Pak Andi juga menyebutkannya nama Nasdem dan PKB, saya kira ini membuka front baru yang tidak perlu," katanya.
Dia menilai dengan menyebut PKB dan Partai NasDem, sama saja menimbulkan kesan bahwa dua partai itu terlibat dalam upaya kudeta Partai Demokrat. "Hati-hati memang menyebut nama itu, ya PKB kan kita sudah paham semua bahwa PKB dalam mengambil keputusan capres dan cawapres itu pasti melalui proses dan komunikasi dengan PBNU misalnya, dan kita harus melihat harus ada pernyataan-pernyataan dulu dari PBNU, ini kan enggak ada," ujarnya.
Seharusnya, kata dia, Andi Mallarangeng paham soal itu bahwa tidak mungkin PKB sekarang ini sudah mendukung Moeldoko atau nama tertentu untuk Pilpres 2024. "Kalau pun ada, ketua umumnya sendiri yaitu Muhaimin Iskandar, sampai nanti diputuskan dalam kelembagaan," tuturnya.
Kemudian, lanjut dia, Partai NasDem juga sudah menyampaikan akan menjaring nama Capres melalui mekanisme konvensi. "Kita enggak tahu yang ikut konvensi, konvensiya aja belum ada, jadi ya orang pasti bilang Pak Andi Mallarangeng sebagai politisi enggak mungkin enggak paham dinamika dan mekanisme di PKB dan Nasdem, sehingga akhirnya menimbulkan tafsir bahwa memang sengaja menyebut NasDem dan PKB itu sebagai serangan politik," ungkapnya.
Atau, kata Qodari, Andi Mallarangeng memang benar-benar tidak paham dinamika politik itu. Dia pun menyinggung pernyataan Andi Mallarangeng yang menolak Moeldoko memimpin Partai Demokrat karena kepala kantor staf presiden (KSP) itu berada di Partai Hanura.
"Padahal Pak Moeldoko sudah mengundurkan diri dari Hanura ketika ditunjuk jadi KSP tahun 2018. Jadi menurut saya sih komunikasi publik di Partai Demokrat harus diperbaiki kalau dilihat dari kacamata dinamika dan stabilitas politik, tetapi ya bukan mustahil bahwa seperti pernah saya sebut dalam kesempatan lain Partai Demokrat justru sedang menjalankan strategi elektoralnya yaitu membuka front dengan Jokowi dan partai-partai pendukung Jokowi, partai pemerintah katakanlah begitu, untuk menggalang suara dari pemilih yang tidak suka dengan Jokowi dan tidak puas dengan pemerintah," katanya.
Apalagi, kata dia, kebetulan Partai Gerindra dan Prabowo Subianto sudah bergabung dalam Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. "Jadi ruang suara itu yang mau diambil Partai Demokrat dengan wacana dan dinamika KLB secara paksa ketua umum di Partai Demokrat," katanya.
Dia menilai dengan menyebut PKB dan Partai NasDem, sama saja menimbulkan kesan bahwa dua partai itu terlibat dalam upaya kudeta Partai Demokrat. "Hati-hati memang menyebut nama itu, ya PKB kan kita sudah paham semua bahwa PKB dalam mengambil keputusan capres dan cawapres itu pasti melalui proses dan komunikasi dengan PBNU misalnya, dan kita harus melihat harus ada pernyataan-pernyataan dulu dari PBNU, ini kan enggak ada," ujarnya.
Seharusnya, kata dia, Andi Mallarangeng paham soal itu bahwa tidak mungkin PKB sekarang ini sudah mendukung Moeldoko atau nama tertentu untuk Pilpres 2024. "Kalau pun ada, ketua umumnya sendiri yaitu Muhaimin Iskandar, sampai nanti diputuskan dalam kelembagaan," tuturnya.
Kemudian, lanjut dia, Partai NasDem juga sudah menyampaikan akan menjaring nama Capres melalui mekanisme konvensi. "Kita enggak tahu yang ikut konvensi, konvensiya aja belum ada, jadi ya orang pasti bilang Pak Andi Mallarangeng sebagai politisi enggak mungkin enggak paham dinamika dan mekanisme di PKB dan Nasdem, sehingga akhirnya menimbulkan tafsir bahwa memang sengaja menyebut NasDem dan PKB itu sebagai serangan politik," ungkapnya.
Atau, kata Qodari, Andi Mallarangeng memang benar-benar tidak paham dinamika politik itu. Dia pun menyinggung pernyataan Andi Mallarangeng yang menolak Moeldoko memimpin Partai Demokrat karena kepala kantor staf presiden (KSP) itu berada di Partai Hanura.
"Padahal Pak Moeldoko sudah mengundurkan diri dari Hanura ketika ditunjuk jadi KSP tahun 2018. Jadi menurut saya sih komunikasi publik di Partai Demokrat harus diperbaiki kalau dilihat dari kacamata dinamika dan stabilitas politik, tetapi ya bukan mustahil bahwa seperti pernah saya sebut dalam kesempatan lain Partai Demokrat justru sedang menjalankan strategi elektoralnya yaitu membuka front dengan Jokowi dan partai-partai pendukung Jokowi, partai pemerintah katakanlah begitu, untuk menggalang suara dari pemilih yang tidak suka dengan Jokowi dan tidak puas dengan pemerintah," katanya.
Apalagi, kata dia, kebetulan Partai Gerindra dan Prabowo Subianto sudah bergabung dalam Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. "Jadi ruang suara itu yang mau diambil Partai Demokrat dengan wacana dan dinamika KLB secara paksa ketua umum di Partai Demokrat," katanya.
(abd)