Penurunan IPK Indonesia Jadi Otokritik Parpol dan Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penurunan skor Indeks Persepsi Korusi (IPK) Indonesia pada 2020 menjadi 37 dari skor 40 pada 2019 merupakan otokritik bagi partai politik dan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada sektor politik dan demokrasi serta sektor investasi dan pelayanan publik.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Trimedya Panjaitan mengatakan penurunan Corruption Perception Index (CPI) atau IPK 2020 Indonesia seperti dilansir Transparency International Indonesia (TII) merupakan hasil yang sangat disayangkan. Menurut dia, dalam konteks sektor politik dan demokrasi yang masih rentan terjadi korupsi maka pembenahan serius harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan para pihak yang terkait dengan sektor tersebut.
"Untuk sektor politik dan demokrasi dalam hubungannya dengan pengusaha itu yang perlu dibenahi secara serius. Hasil CPI yang disampaikan Transparency International itu sebagai otokritik kepada kita," ujar Trimedya saat dihubungi SINDOnews dan MNC Portal di Jakarta, Jumat (29/1/2021).
Baca Juga: Terima Suap Rp3,6 T dan Punya 100 Selingkuhan, Eks Bankir China Dieksekusi
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini membeberkan penurunan indikator Varieties of Democracy dalam CPI Indonesia 2020 kemungkinan dilihat TII karena masih terjadi korupsi sektor politik yang melibatkan beberapa aktor atau pejabat publik yang berasal dari partai politik. Bisa jadi, tutur Trimedya, dua tersangka yang dilihat oleh TII adalah tersangka Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan serta tersangka Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial.
"Tapi kita enggak tahu apakah (kasus) Juliari Batubara dan Edhy Prabowo jadi salah satu ukuran mereka (TII). Yang bisa menjelaskan kan mereka (TII)," imbuhnya.
Trimedya melanjutkan dari sisi kemudahan investasi dengan pelayanan publik sebenarnya pelan-pelan sudah dilakukan perbaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski begitu kata dia, jika penurunan sektor ekonomi dan investasi dalam relasinya dengan pelayanan publik dan masih terjadi korupsi ditemukan TII maka pembenahan secara terus menerus harus dilakukan pemerintah.
"Itu sebagai warning dan otokritik kepada kita Indonesia. Tapi kita tidak usah terlalu galau dengan apa yang disampaikan Transparency International," paparnya.
Lebih lanjut Trimedya berpandangan, semestinya sembilan indikator yang dipakai TII harus disampaikan secara lebih detail agar publik bisa menilai secara utuh. Selain itu, kata dia, daerah yang menjadi area penilaian atau survei dilakukan harus jelas. Maksudnya jangan sampai hanya satu atau dua daerah saja yang dinilai kemudian ditarik kesimpulan.
"Misalnya apakah untuk kemudahan berusaha apakah hanya di Jakarta saja atau beberapa kota. Indonesia kan begitu luas, apakah mereka (TII) itu meneliti dari beberapa kota besar di Indonesia misalnya Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung atau di Jakarta saja," ucap Trimedya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Trimedya Panjaitan mengatakan penurunan Corruption Perception Index (CPI) atau IPK 2020 Indonesia seperti dilansir Transparency International Indonesia (TII) merupakan hasil yang sangat disayangkan. Menurut dia, dalam konteks sektor politik dan demokrasi yang masih rentan terjadi korupsi maka pembenahan serius harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan para pihak yang terkait dengan sektor tersebut.
"Untuk sektor politik dan demokrasi dalam hubungannya dengan pengusaha itu yang perlu dibenahi secara serius. Hasil CPI yang disampaikan Transparency International itu sebagai otokritik kepada kita," ujar Trimedya saat dihubungi SINDOnews dan MNC Portal di Jakarta, Jumat (29/1/2021).
Baca Juga: Terima Suap Rp3,6 T dan Punya 100 Selingkuhan, Eks Bankir China Dieksekusi
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini membeberkan penurunan indikator Varieties of Democracy dalam CPI Indonesia 2020 kemungkinan dilihat TII karena masih terjadi korupsi sektor politik yang melibatkan beberapa aktor atau pejabat publik yang berasal dari partai politik. Bisa jadi, tutur Trimedya, dua tersangka yang dilihat oleh TII adalah tersangka Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan serta tersangka Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial.
"Tapi kita enggak tahu apakah (kasus) Juliari Batubara dan Edhy Prabowo jadi salah satu ukuran mereka (TII). Yang bisa menjelaskan kan mereka (TII)," imbuhnya.
Trimedya melanjutkan dari sisi kemudahan investasi dengan pelayanan publik sebenarnya pelan-pelan sudah dilakukan perbaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski begitu kata dia, jika penurunan sektor ekonomi dan investasi dalam relasinya dengan pelayanan publik dan masih terjadi korupsi ditemukan TII maka pembenahan secara terus menerus harus dilakukan pemerintah.
"Itu sebagai warning dan otokritik kepada kita Indonesia. Tapi kita tidak usah terlalu galau dengan apa yang disampaikan Transparency International," paparnya.
Lebih lanjut Trimedya berpandangan, semestinya sembilan indikator yang dipakai TII harus disampaikan secara lebih detail agar publik bisa menilai secara utuh. Selain itu, kata dia, daerah yang menjadi area penilaian atau survei dilakukan harus jelas. Maksudnya jangan sampai hanya satu atau dua daerah saja yang dinilai kemudian ditarik kesimpulan.
"Misalnya apakah untuk kemudahan berusaha apakah hanya di Jakarta saja atau beberapa kota. Indonesia kan begitu luas, apakah mereka (TII) itu meneliti dari beberapa kota besar di Indonesia misalnya Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung atau di Jakarta saja," ucap Trimedya.
(kri)