Virtual Police ala Listyo Sigit Tetap Berpeluang Persempit Ruang Ekspresi

Kamis, 21 Januari 2021 - 16:12 WIB
loading...
Virtual Police ala Listyo Sigit Tetap Berpeluang Persempit Ruang Ekspresi
Meskipun tampak akan menggunakan pendekatan lebih lunak ketimbang cyber police, konsep virtual police ala Komjen Listyo Sigit Prabowo tetap berpotensi mempersempit ruang berekspresi warga negara. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Calon Kapolri Listyo Sigit Prabowo berencana melakukan transformasi organisasi, operasional, pelayanan publik, dan pengawasan di tubuh Polri.The Indonesian Institute (TII) menilai konsep yang diusung Listyo Sigit cukup menarik, salah satunya soal penguatan partisipasi masyarakat di ruang siber.

Upaya itu akan ditempuh melalui kampanye untuk meningkatkan kesadaran pentingnya keamanan data pribadi serta cara bermedia sosial yang berbudaya dan beretika baik.Program tersebut akan disertai dengan pelibatan polisi dunia maya (virtual police) yang berbeda dengan konsepcyber police.

Listyo menempatkan virtual police sebagai entitas yang bersifat edukatif sehingga berbeda dengan cyber police yang lebih menjalankan fungsi penegakan hukum. Virtual police bahkan akan berkolaborasi dengan influencer agar mencapai tujuan edukatif.

“Keberadaan ‘pengawas etika’ warga negara pengguna internet dalam bentuk virtual police tidak menjadi kebutuhan yang benar-benar mendesak. Penguatan Dittipidsiber (Direktorat Tindak Pidana Siber) menjadi alternatif yang lebih realistis dan tepat jika memang tujuan Polri adalah menghadirkan keamanan pada pengguna internet di Indonesia dari aksi-aksi computer crime maupun computer-related crime,” ujar Peneliti bidang Politik TII Rifqi Rachman dalam penjelasannya secara tertulis kepada SINDOnews, Kamis (21/1/2021).

(Baca:Paripurna DPR Setujui Komjen Listyo Sigit sebagai Kapolri)

Pendek kata, virtual police menyempurnakan pendekatan Polri di ruang digital yang sebelumnya telah didahului pendekatan keras hard powermelalui cyber police yang berperan penegakan hukum. Meskipun begitu, dia juga meragukan konsep virtual police mampu menjawab kebutuhan masyarakat, tanpa memangkas hak-hak warga negara.

“Ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh soal urgensi pembentukan virtual police. Ketika pendekatan melalui cyber police tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan virtual police dengan pendekatan edukatif senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban,”

Ia berpandangan, aksi pengintaian (surveillance) pada warga negara di ruang digital begitu mengkhawatirkan. Hal itu sering kali dilancarkan oleh institusi seperti kepolisian. Dua entitas ini akhirnya sangat mungkin mempersempit ruang kebebasan berekspresi warga negara di ruang digital.

Berikutnya, Rifqi menyoalkan sejauh mana ruang lingkup edukasi yang dapat diberikan jika nantinya virtual police hadir. Ia menyangsikan hal itu akan sangat sulit diterapkan karena konsep ‘berbudaya’ dan ‘beretika baik’ yang dijadikan pakem bermedia sosial tidak memiliki indikator jelas.

“Jika Polri tidak segera memperjelas pakem ini, maka kondisi penerapan yang rawan penyimpangan akan sulit untuk dihindarkan,” keluhnya.

(Baca:Di Bawah Komjen Listyo Sigit, Polri Diharapkan Bersahabat dengan Rakyat)

Catatan selanjutnya yakni mengenai ketidakjelasan konsep berbudaya dan beretika baik. Menurutnya, dua konsep itu semakin mengkhawatirkan meski influencers terlibat dalam memperkuat pesan yang dibawa oleh virtual police.

Ia pun menilai ada dua dampak yang mungkin timbul dan merugikan warga negara pengguna internet bila gagasan itu dijalankan. Pertama, kuantitas yang masif dan kontinu sangat berpotensi membuat pesan yang disampaikan oleh virtual police dan influencers mendominasi perbincangan atau informasi di ruang digital.

“Akhirnya, proses deliberasi dalam ruang digital menjadi terkikis karena tidak berhasil menubuh dalam bentuk perbincangan yang memiliki tingkat ketahanan yang baik,” jelas dia.

Kedua, berkaitan dengan kapasitas influencers. Fenomena influencer yang mengampanyekan UU Cipta Kerja mengingatkan bahwa tidak semua akun yang diikuti oleh banyak followers memiliki kapasitas untuk memahami secara utuh substansi pesan yang mereka siarkan.

“Jika kriteria ini tidak segera dibenahi, kasus menggandeng influencers dalam mengampanyekan UU Ciptaker menjadi mungkin untuk terjadi kembali,” tukasnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1833 seconds (0.1#10.140)