Berproses Mewujudkan Kekebalan Komunitas
loading...
A
A
A
Ketika Presiden Jokowi menerima suntikan pertama vaksin Sinovac di Istana Kepresidenan pada Rabu 13 Januari 2021, itulah langkah awal membangun kembali harapan akan pulihnya dinamika kehidupan. Selama sepuluh bulan sejak kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret 2020, kehidupan bersama terasa begitu kelam. Dan, akibat ketidaktahuan komunitas global tentang virus ini, banyak orang seperti kehilangan harapan. Bahkan, ada ungkapan ‘kehidupan tidak akan sama lagi akibat pandemi ini’.
Namun, berkat akal budi manusia, harapan itu bisa ditumbuhkan lagi. Para ahli berhasil memformulasikan vaksin untuk melumpuhkan daya rusak SARS-CoV-2. Dibandingkan dengan pandemi global flu Spanyol satu abad yang lalu, respons komunitas global terhadap SARS-CoV-2 praktis lebih cepat. Durasi flu Spanyol jauh lebih lama.
Sejarah mencatat, flu Spanyol yang menulari tak kurang dari 500 juta orang di seluruh dunia itu dimulai Februari 1918 dan dinyatakan berakhir pada April 1920. Sedangkan kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, pada November 2019, dan kurang dari setahun vaksin penangkalnya sudah mulai diuji coba.
Karena SARS-CoV-2 tetap mengintai, vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas saja tidak cukup. Maka, setiap individu dituntut tetap menjalani kehidupan dengan disiplin yang ketat. Antara lain tetap menjalankan protokol kesehatan; mencuci tangan, memakai masker dan menghindari kerumunan.
Wujud kekebalan komunitas dari ancaman SARS-CoV-2 ditandai oleh tren penularan Covid-19 yang terus menurun secara konsisten hingga ke titik paling minimal, atau bahkan nol penularan. Kekebalan komunitas hanya bisa terbentuk karena adanya kekebalan setiap individu yang sudah disuntik vaksin. Dari setiap individu itulah dituntut bertanggungjawab pada proses menuju kekebalan secara komunal.
Dalam membentuk kekebalan komunal di masa pandemi, tidak semua individu wajib mendapatkan vaksinasi. Yang dikecualikan adalah mereka yang memiliki masalah kesehatan atau sakit bawaan. Juga faktor usia. Untuk menghindari ekses vaksinasi, tenaga kesehatan Indonesia patut belajar dari sebuah kasus di Norwegia. Tak kurang dari 23 Lansia di negara itu meninggal setelah disuntik vaksin Corona racikan Pfizer/BioNTec. Padahal efikasi Pfizer 95 persen.
Kasus di Norwegia menjadi semacam konfirmasi bahwa efikasi sebuah vaksin bukan jaminan bagi keamanan individu. Ada faktor lain yang harus menjadi pertimbangan, dan karena itu tetap dibutuhkan kehati-hatian dalam pemberian vaksin.
Belum lama ini, sempat diviralkan bahwa tingkat efikasi vaksin yang digunakan di Indonesia diasumsikan tidak aman. Asumsi itu dimunculkan karena dilakukan perbandingan bahwa Pfizer saja berdampak buruk apalagi Sinovac yang dari aspek efikasi jauh lebih rendah, hanya 65,3% dalam uji klinis.
Tentu saja asumsi itu tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, efektivitas vaksin akan diketahui setelah dilakukan pemantauan efek perlindungannya pada komunitas yang menerima vaksinasi dalam kurun waktu tertentu, dan juga bergantung pada kondisi kesehatan individu yang disuntik vaksin.
Masyarakat wajib tahu bahwa aspek Kehati-hatian sudah diterapkan pemerintah sejak awal persiapan vaksinasi. Bukti kehati-hatian itu adalah memrioritaskan kelompok masyarakat tertentu yang memiliki risiko tertular Covid-19 lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Tidak adanya Lansia yang masuk daftar wajib vaksinasi di tahap awal vaksinasi merupakan bukti lain dari kehati-hatian itu.
Namun, berkat akal budi manusia, harapan itu bisa ditumbuhkan lagi. Para ahli berhasil memformulasikan vaksin untuk melumpuhkan daya rusak SARS-CoV-2. Dibandingkan dengan pandemi global flu Spanyol satu abad yang lalu, respons komunitas global terhadap SARS-CoV-2 praktis lebih cepat. Durasi flu Spanyol jauh lebih lama.
Sejarah mencatat, flu Spanyol yang menulari tak kurang dari 500 juta orang di seluruh dunia itu dimulai Februari 1918 dan dinyatakan berakhir pada April 1920. Sedangkan kasus Covid-19 pertama terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, pada November 2019, dan kurang dari setahun vaksin penangkalnya sudah mulai diuji coba.
Karena SARS-CoV-2 tetap mengintai, vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas saja tidak cukup. Maka, setiap individu dituntut tetap menjalani kehidupan dengan disiplin yang ketat. Antara lain tetap menjalankan protokol kesehatan; mencuci tangan, memakai masker dan menghindari kerumunan.
Wujud kekebalan komunitas dari ancaman SARS-CoV-2 ditandai oleh tren penularan Covid-19 yang terus menurun secara konsisten hingga ke titik paling minimal, atau bahkan nol penularan. Kekebalan komunitas hanya bisa terbentuk karena adanya kekebalan setiap individu yang sudah disuntik vaksin. Dari setiap individu itulah dituntut bertanggungjawab pada proses menuju kekebalan secara komunal.
Dalam membentuk kekebalan komunal di masa pandemi, tidak semua individu wajib mendapatkan vaksinasi. Yang dikecualikan adalah mereka yang memiliki masalah kesehatan atau sakit bawaan. Juga faktor usia. Untuk menghindari ekses vaksinasi, tenaga kesehatan Indonesia patut belajar dari sebuah kasus di Norwegia. Tak kurang dari 23 Lansia di negara itu meninggal setelah disuntik vaksin Corona racikan Pfizer/BioNTec. Padahal efikasi Pfizer 95 persen.
Kasus di Norwegia menjadi semacam konfirmasi bahwa efikasi sebuah vaksin bukan jaminan bagi keamanan individu. Ada faktor lain yang harus menjadi pertimbangan, dan karena itu tetap dibutuhkan kehati-hatian dalam pemberian vaksin.
Belum lama ini, sempat diviralkan bahwa tingkat efikasi vaksin yang digunakan di Indonesia diasumsikan tidak aman. Asumsi itu dimunculkan karena dilakukan perbandingan bahwa Pfizer saja berdampak buruk apalagi Sinovac yang dari aspek efikasi jauh lebih rendah, hanya 65,3% dalam uji klinis.
Tentu saja asumsi itu tidak dapat diterima begitu saja. Sebab, efektivitas vaksin akan diketahui setelah dilakukan pemantauan efek perlindungannya pada komunitas yang menerima vaksinasi dalam kurun waktu tertentu, dan juga bergantung pada kondisi kesehatan individu yang disuntik vaksin.
Masyarakat wajib tahu bahwa aspek Kehati-hatian sudah diterapkan pemerintah sejak awal persiapan vaksinasi. Bukti kehati-hatian itu adalah memrioritaskan kelompok masyarakat tertentu yang memiliki risiko tertular Covid-19 lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Tidak adanya Lansia yang masuk daftar wajib vaksinasi di tahap awal vaksinasi merupakan bukti lain dari kehati-hatian itu.