Politisasi Agama Dinilai Jadi Ancaman Masa Depan Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Polarisasi yang terjadi di Indonesia ternyata tidak hanya ketika ada kontestasi politik seperti pilpres atau pilkada . Meski kontestasi politik sudah berlalu, sampai saat ini polarisasi masih terjadi.
Alvara Research Center dalam Catatan Akhir Tahun 2020 menyebutkan bila menengok ke belakang, menguatnya isu polarisasi yang tajam di tengah masyarakat dimulai saat adanya kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Pertarungan sengit antara kubu Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan kubu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, melibatkan sentimen agama, politik identitas, dan populisme berbasis agama. (Baca juga: Menag: Indonesia Berdiri sebagai Kesepakatan Antarkultur, Budaya, dan Agama)
Bola salju populisme berbasis agama kemudian diadopsi pada Pilkada daerah lain, menjadi lebih besar dan liar pada saat Pilpres 2019 yang melibatkan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. "Kampanye hitam yang melibatkan isu-isu agama begitu kentara. Pertarungan pendukung dengan istilah cebong dan kampret makin sengit, baik di dunia nyata maupun dunia maya," ujar CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali, Senin (28/12/2020).
(Baca Juga : Kasus Penembakan 6 Laskar FPI, Mahfud MD Tak akan Bentuk TGPF )
Menurutnya, mengerasnya politisasi agama secara tidak langsung membuat Indonesia semakin terancam terperosok dalam jurang perpecahan dan disintegrasi jika tidak segera dinetralisir. Politisasi agama menjadi pintu masuk bagi masuknya paham intoleransi dan konservatisme agama yang kemudian berlanjut menjadi radikalisme-terorisme, seperti yang terjadi di Timur Tengah.
Mengutip pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, seharusnya agama menjadi inspirasi, membawa nilai-nilai kebaikan, kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakan Hasan, polarisasi ini menguat salah satunya karena perbincangan di dunia maya yang sangat masif. Saat ini dunia maya menjadi salah satu channel yang paling ampuh untuk mengadu dua kutub yang berseberangan.
"Konservatisme dalam beragama cukup terlihat di dunia maya. Data hasil penelitian yang dikeluarkan oleh PPIM UIN Jakarta bersama MERIT Indonesia pada awal November 2020 ini, menunjukkan bahwa model keberagamaan di dunia maya mengarah pada model keberagamaan yang konservatif," tuturnya.
Narasi keagamaan di media sosial menunjukkan bahwa 67,2% mengarah ke konservatif, 22,2% mengarah ke moderat, 6,1% liberal, dan 4,5% mengarah ke Islamis.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kominfo pada 2020 ini, juga menunjukkan bahwa banyak konten hoaks (berita bohong) di internet. Melalui studi kuantitatif via survei menemukan bahwa konten dianggap banyak mengandung adalah konten politik (67,2%), kesehatan (46,3%), agama (33,2%), kerusuhan (28,1%), dan konten lingkungan (21,9%).
Menurut Hasan, kemampuan netizen dalam mencerna dan menganalisa juga masih perlu jadi catatan. Temuan Kominfo juga menunjukkan bahwa literasi digital netizen Indonesia masih dalam kategori sedang yaitu 3,47 pada skala 1-5. "Potret ini menunjukkan bahwa netizen kita masih rentan," katanya. (Baca juga:Haedar Nashir: Berhentilah Merumitkan Urusan Keagamaan)
Dikatakan Hasan, netizen merupakan entitas yang cukup rentan dengan konten-konten negatif. Jumlah mereka yang cukup besar, durasi akses mereka terhadap internet tinggi, serta kurang mendapatkan literasi secara optimal, membuat mereka menjadi sasaran empuk. "Mereka akan mudah terperangkap dan terjebak dalam bujuk rayu konten-konten negatif termasuk konten yang memperburuk polarisasi di tengah masyarakat," tutupnya.
Alvara Research Center dalam Catatan Akhir Tahun 2020 menyebutkan bila menengok ke belakang, menguatnya isu polarisasi yang tajam di tengah masyarakat dimulai saat adanya kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Pertarungan sengit antara kubu Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan kubu Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, melibatkan sentimen agama, politik identitas, dan populisme berbasis agama. (Baca juga: Menag: Indonesia Berdiri sebagai Kesepakatan Antarkultur, Budaya, dan Agama)
Bola salju populisme berbasis agama kemudian diadopsi pada Pilkada daerah lain, menjadi lebih besar dan liar pada saat Pilpres 2019 yang melibatkan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi. "Kampanye hitam yang melibatkan isu-isu agama begitu kentara. Pertarungan pendukung dengan istilah cebong dan kampret makin sengit, baik di dunia nyata maupun dunia maya," ujar CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali, Senin (28/12/2020).
(Baca Juga : Kasus Penembakan 6 Laskar FPI, Mahfud MD Tak akan Bentuk TGPF )
Menurutnya, mengerasnya politisasi agama secara tidak langsung membuat Indonesia semakin terancam terperosok dalam jurang perpecahan dan disintegrasi jika tidak segera dinetralisir. Politisasi agama menjadi pintu masuk bagi masuknya paham intoleransi dan konservatisme agama yang kemudian berlanjut menjadi radikalisme-terorisme, seperti yang terjadi di Timur Tengah.
Mengutip pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, seharusnya agama menjadi inspirasi, membawa nilai-nilai kebaikan, kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dikatakan Hasan, polarisasi ini menguat salah satunya karena perbincangan di dunia maya yang sangat masif. Saat ini dunia maya menjadi salah satu channel yang paling ampuh untuk mengadu dua kutub yang berseberangan.
"Konservatisme dalam beragama cukup terlihat di dunia maya. Data hasil penelitian yang dikeluarkan oleh PPIM UIN Jakarta bersama MERIT Indonesia pada awal November 2020 ini, menunjukkan bahwa model keberagamaan di dunia maya mengarah pada model keberagamaan yang konservatif," tuturnya.
Narasi keagamaan di media sosial menunjukkan bahwa 67,2% mengarah ke konservatif, 22,2% mengarah ke moderat, 6,1% liberal, dan 4,5% mengarah ke Islamis.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kominfo pada 2020 ini, juga menunjukkan bahwa banyak konten hoaks (berita bohong) di internet. Melalui studi kuantitatif via survei menemukan bahwa konten dianggap banyak mengandung adalah konten politik (67,2%), kesehatan (46,3%), agama (33,2%), kerusuhan (28,1%), dan konten lingkungan (21,9%).
Menurut Hasan, kemampuan netizen dalam mencerna dan menganalisa juga masih perlu jadi catatan. Temuan Kominfo juga menunjukkan bahwa literasi digital netizen Indonesia masih dalam kategori sedang yaitu 3,47 pada skala 1-5. "Potret ini menunjukkan bahwa netizen kita masih rentan," katanya. (Baca juga:Haedar Nashir: Berhentilah Merumitkan Urusan Keagamaan)
Dikatakan Hasan, netizen merupakan entitas yang cukup rentan dengan konten-konten negatif. Jumlah mereka yang cukup besar, durasi akses mereka terhadap internet tinggi, serta kurang mendapatkan literasi secara optimal, membuat mereka menjadi sasaran empuk. "Mereka akan mudah terperangkap dan terjebak dalam bujuk rayu konten-konten negatif termasuk konten yang memperburuk polarisasi di tengah masyarakat," tutupnya.
(kri)