4 Skema Solusi Sengketa Lahan Pesantren di Megamendung antara PTPN VIII dan Habib Rizieq
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sengketa penguasaan dan pemanfaatan lahan seluas kurang lebih 31,91 hektare (ha) di Megamendung, Kabupaten Bogor antara PTPN VIII (Persero) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) belum mendapat titik temu.
Di atas lahan itu kini berdiri Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah Front Pembela Islam (FPI). Pondok pesantren ini didirikan oleh Habib Rizieq. Penguasaan dan pemanfaatan lahan tersebut disomasi oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (Persero) dengan surat bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020.
PTPN VIII kukuh sebagai pihak yang berhak karena mengantongi Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. Sedangkan Habib Rizieq mengklaim lahan tersebut sudah ditelantarkan sekitar 30 tahun oleh PTPN VIII sebagai pemilik HGU. ( )
Jika sikap kukuh PTPN VIII dan klaim HRS terus berlanjut, alias kedua belah pihak saling ngotot, maka ujung pasti di meja hijau atau pengadilan. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, gugatan perdata dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum di pengadilan negeri bisa dilayangkan PTPN VIII, selain tentunya ancaman pidana seperti dalam surat somasi PTPN VIII.
Kedua, gugatan perdata yang bisa diajukan FPI atau Habib Rizieq atau Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah berupa perdata tata usaha negara (TUN) di Pengadilan TUN terhadap HGU yang dimiliki PTPN VIII, dengan argumentasi lahan telah ditelantarkan oleh PTPN VIII selama 30 tahun.
Jika dua kemungkinan di atas terjadi, serta ditambah langkah pidana yang kemungkinan diambil PTPN VIII, maka permasalahan ini akan memakan waktu yang panjang, menguras energi, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Merujuk pada surat somasi PTPN VIII Nomor: SB/I.1/6131/XII/2020 bertarikh 18 Desember 2020, penguasaan fisik tanah seluas 31,91 ha oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah terjadi sejak 2013, tetapi tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII. Sedangkan, menurut PTPN VIII, tanah tersebut adalah hak PTPN VIII berdasarkan Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. ( )
Dengan menggunakan kalkulasi tahun keluarnya HGU yakni 2008 dan tahun penguasaan lahan oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah yakni 2013, maka diasumsikan lahan tersebut kosong atau tidak diberdayagunakan oleh PTPN VIII hanyalah 5 tahun. Artinya, berdasarkan kalkulasi dan/atau asumsi tersebut, maka lahan itu ditelantarkan belum sampai 20 atau 30 tahun.
Meski begitu, jika benar lahan seluas 31,91 ha tersebut tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan atau tidak diberdayagunakan oleh PTPN VIII, maka dapat diambil win win solutions di antara kedua belah pihak maupun negara sebagai pemilik tanah HGU. Apalagi jika benar lahan tersebut ditelantarkan dengan meminjam pernyataan HRS.
Bagaimana caranya? Ada beberapa skema solusi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan berdasarkan tahun, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria); Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak atas Tanah; Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU; dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Skema pertama, menggunakan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 34 UU Agraria. Di Pasal 28 ayat (3) termaktub bahwa HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pada Pasal 34 sebenarnya secara spesifik mengatur tentang HGU terhapus karena tujuh keadaan. Di antaranya "dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir" (huruf c) dan "diterlantarkan" (huruf e).
Skema kedua, memakai PP Nomor 40 Tahun 1996. Khususnya, Pasal 16 ayat (1) di mana HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain serta Pasal 17 ayat (1) hingga ayat (3). Pasal 17 secara spesifik mencatumkan ihwal terhapusnya HGU. HGU terhapus karena karena tujuh keadaan. Dua di antaranya sama seperti pada Pasal 34 UU Agraria.
Hanya, ada kata sedikit berbeda pada Pasal 17 ayat (1) huruf e PP tersebut yaitu "ditelantarkan". Ketika tanah HGU ditelantar, maka berlaku ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf e PP a quo. Bunyinya, "Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara."
Skema pertama dan kedua ditawarkan karena ada pernyataan dari Habib Rizieq bahwa tanah HGU PTPN VIII ditelantarkan oleh PTPN VIII dan pernah digarap oleh masyarakat. Menurut HRS, berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat juga berhak mengajukan sertifikat untuk HGU atas tanah tersebut.
Untuk skema pertama dan kedua, maka sangat dibutuhkan kehadiran negara. Apalagi jika benar lahan seluas 31,91 hektare di Megamendung ditelantarkan atau tidak diberdayagunakan. Karena, menyitir Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996 ketika tanah HGU ditelantarkan, maka HGU terhapus dan tanah tersebut menjadi milik negara.
Skema ketiga berupa pelepasan hak atas HGU dengan merujuk pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017. Ketentuan pelepasan tercatat pada Pasal 44 yang terdiri atas empat ayat Peraturan a quo. Berikut bunyi lengkapnya.
Pasal 44
(1) Pelepasan Hak Guna Usaha kepada Negara diketahui oleh pejabat yang berwenang dengan menyerahkan sertipikat Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
(2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya.
(3) Pelepasan Hak Guna Usaha yang merupakan aset BUMN/BUMND dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pelepasan tanah aset BUMN/BUMD.
(4) Pernyataan pelepasan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Kenapa skema ketiga ditawarkan? Musababnya, pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 terdapat diktum tentang pemantauan dan evaluasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 56.
Pemantauan dan evaluasi terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah HGU dilakukan oleh Kementerian berdasarkan laporan dari pemegang HGU, pengaduan masyarakat atau hasil pemantauan di lapangan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala terhitung 1 tahun sejak diterbitkannya sertifikat HGU.
Skema solusi lainnya atau terakhir adalah menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini secara spesifik menuangkan di antaranya tentang sengketa agraria dan konflik agraria.
Pasal 1 ayat (9) Perpres tersebut tersurat bahwa sengketa agraria yang selanjutnya disebut sengketa adalah perselisihan agraria antara orang perorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sedangkan Pasal 1 ayat (10) tercantum, konflik agraria adalah perselisihan agraria antara orang perorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosial, politis,ekonomi, pertahanan atau budaya.
Masih dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018, terdapat BAB IV "Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria", Pasal 17. Secara utuh pasal ini berbunyi:
Pasal 17
(1) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum dan keadilan
sosial, terhadap para pihak yang melibatkan:
a. antara orang perorangan;
b. perorangan/kelompok dengan badan hukum;
c. perorangan/kelompok dengan lembaga;
d. badan hukum dengan badan hukum;
e. badan hukum dengan lembaga; dan
f. lembaga dengan lembaga.
(2) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Gugus Tugas
Reforma Agraria secara berjenjang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Sengketa dan Konflik Agraria diatur dengan Peraturan Menteri.
Jika menggunakan skema keempat, maka sengketa lahan antara PTPN VIII dengan HRS yang masih berlangsung bisa difasilitasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria.
Kelembagaan Reforma Agraria ada pada BAB VI yang terdiri atas Pasal 18 hingga Pasal 24. Tim Reforma Agraria terbagi menjadi Tim Reforma Agraria Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Gugus Tugas Reforma Agraria.
Gugus Tugas Reforma Agraria secara berjenjang terbagi menjadi tiga bagian yakni Pusat dengan Ketua Menteri ATR/Kepala BPN, Provinsi diketuai oleh Gubernur, dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Wali Kota.
Dengan melihat beberapa kemungkinan seperti di atas, ada empat skema solusi, maka layak ditunggu apa yang akan diambil para pihak dalam beberapa hari ke depan atau hingga batas akhir seperti waktu somasi PTPN VIII.
Di atas lahan itu kini berdiri Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah Front Pembela Islam (FPI). Pondok pesantren ini didirikan oleh Habib Rizieq. Penguasaan dan pemanfaatan lahan tersebut disomasi oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (Persero) dengan surat bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tertanggal 18 Desember 2020.
PTPN VIII kukuh sebagai pihak yang berhak karena mengantongi Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. Sedangkan Habib Rizieq mengklaim lahan tersebut sudah ditelantarkan sekitar 30 tahun oleh PTPN VIII sebagai pemilik HGU. ( )
Jika sikap kukuh PTPN VIII dan klaim HRS terus berlanjut, alias kedua belah pihak saling ngotot, maka ujung pasti di meja hijau atau pengadilan. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, gugatan perdata dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum di pengadilan negeri bisa dilayangkan PTPN VIII, selain tentunya ancaman pidana seperti dalam surat somasi PTPN VIII.
Kedua, gugatan perdata yang bisa diajukan FPI atau Habib Rizieq atau Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah berupa perdata tata usaha negara (TUN) di Pengadilan TUN terhadap HGU yang dimiliki PTPN VIII, dengan argumentasi lahan telah ditelantarkan oleh PTPN VIII selama 30 tahun.
Jika dua kemungkinan di atas terjadi, serta ditambah langkah pidana yang kemungkinan diambil PTPN VIII, maka permasalahan ini akan memakan waktu yang panjang, menguras energi, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Merujuk pada surat somasi PTPN VIII Nomor: SB/I.1/6131/XII/2020 bertarikh 18 Desember 2020, penguasaan fisik tanah seluas 31,91 ha oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah terjadi sejak 2013, tetapi tanpa izin dan persetujuan dari PTPN VIII. Sedangkan, menurut PTPN VIII, tanah tersebut adalah hak PTPN VIII berdasarkan Sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008. ( )
Dengan menggunakan kalkulasi tahun keluarnya HGU yakni 2008 dan tahun penguasaan lahan oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah yakni 2013, maka diasumsikan lahan tersebut kosong atau tidak diberdayagunakan oleh PTPN VIII hanyalah 5 tahun. Artinya, berdasarkan kalkulasi dan/atau asumsi tersebut, maka lahan itu ditelantarkan belum sampai 20 atau 30 tahun.
Meski begitu, jika benar lahan seluas 31,91 ha tersebut tidak dimanfaatkan atau ditelantarkan atau tidak diberdayagunakan oleh PTPN VIII, maka dapat diambil win win solutions di antara kedua belah pihak maupun negara sebagai pemilik tanah HGU. Apalagi jika benar lahan tersebut ditelantarkan dengan meminjam pernyataan HRS.
Bagaimana caranya? Ada beberapa skema solusi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan berdasarkan tahun, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU Agraria); Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak atas Tanah; Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan HGU; dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Skema pertama, menggunakan Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 34 UU Agraria. Di Pasal 28 ayat (3) termaktub bahwa HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pada Pasal 34 sebenarnya secara spesifik mengatur tentang HGU terhapus karena tujuh keadaan. Di antaranya "dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir" (huruf c) dan "diterlantarkan" (huruf e).
Skema kedua, memakai PP Nomor 40 Tahun 1996. Khususnya, Pasal 16 ayat (1) di mana HGU dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain serta Pasal 17 ayat (1) hingga ayat (3). Pasal 17 secara spesifik mencatumkan ihwal terhapusnya HGU. HGU terhapus karena karena tujuh keadaan. Dua di antaranya sama seperti pada Pasal 34 UU Agraria.
Hanya, ada kata sedikit berbeda pada Pasal 17 ayat (1) huruf e PP tersebut yaitu "ditelantarkan". Ketika tanah HGU ditelantar, maka berlaku ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf e PP a quo. Bunyinya, "Hapusnya Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara."
Skema pertama dan kedua ditawarkan karena ada pernyataan dari Habib Rizieq bahwa tanah HGU PTPN VIII ditelantarkan oleh PTPN VIII dan pernah digarap oleh masyarakat. Menurut HRS, berdasarkan hal tersebut, maka masyarakat juga berhak mengajukan sertifikat untuk HGU atas tanah tersebut.
Untuk skema pertama dan kedua, maka sangat dibutuhkan kehadiran negara. Apalagi jika benar lahan seluas 31,91 hektare di Megamendung ditelantarkan atau tidak diberdayagunakan. Karena, menyitir Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996 ketika tanah HGU ditelantarkan, maka HGU terhapus dan tanah tersebut menjadi milik negara.
Skema ketiga berupa pelepasan hak atas HGU dengan merujuk pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017. Ketentuan pelepasan tercatat pada Pasal 44 yang terdiri atas empat ayat Peraturan a quo. Berikut bunyi lengkapnya.
Pasal 44
(1) Pelepasan Hak Guna Usaha kepada Negara diketahui oleh pejabat yang berwenang dengan menyerahkan sertipikat Hak Guna Usaha yang bersangkutan.
(2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku tanah dan daftar umum lainnya.
(3) Pelepasan Hak Guna Usaha yang merupakan aset BUMN/BUMND dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pelepasan tanah aset BUMN/BUMD.
(4) Pernyataan pelepasan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Kenapa skema ketiga ditawarkan? Musababnya, pada Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 terdapat diktum tentang pemantauan dan evaluasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 56.
Pemantauan dan evaluasi terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah HGU dilakukan oleh Kementerian berdasarkan laporan dari pemegang HGU, pengaduan masyarakat atau hasil pemantauan di lapangan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala terhitung 1 tahun sejak diterbitkannya sertifikat HGU.
Skema solusi lainnya atau terakhir adalah menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Perpres ini secara spesifik menuangkan di antaranya tentang sengketa agraria dan konflik agraria.
Pasal 1 ayat (9) Perpres tersebut tersurat bahwa sengketa agraria yang selanjutnya disebut sengketa adalah perselisihan agraria antara orang perorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Sedangkan Pasal 1 ayat (10) tercantum, konflik agraria adalah perselisihan agraria antara orang perorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosial, politis,ekonomi, pertahanan atau budaya.
Masih dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018, terdapat BAB IV "Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria", Pasal 17. Secara utuh pasal ini berbunyi:
Pasal 17
(1) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian hukum dan keadilan
sosial, terhadap para pihak yang melibatkan:
a. antara orang perorangan;
b. perorangan/kelompok dengan badan hukum;
c. perorangan/kelompok dengan lembaga;
d. badan hukum dengan badan hukum;
e. badan hukum dengan lembaga; dan
f. lembaga dengan lembaga.
(2) Penanganan Sengketa dan Konflik Agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Gugus Tugas
Reforma Agraria secara berjenjang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan Sengketa dan Konflik Agraria diatur dengan Peraturan Menteri.
Jika menggunakan skema keempat, maka sengketa lahan antara PTPN VIII dengan HRS yang masih berlangsung bisa difasilitasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria.
Kelembagaan Reforma Agraria ada pada BAB VI yang terdiri atas Pasal 18 hingga Pasal 24. Tim Reforma Agraria terbagi menjadi Tim Reforma Agraria Nasional yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Gugus Tugas Reforma Agraria.
Gugus Tugas Reforma Agraria secara berjenjang terbagi menjadi tiga bagian yakni Pusat dengan Ketua Menteri ATR/Kepala BPN, Provinsi diketuai oleh Gubernur, dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh Bupati/Wali Kota.
Dengan melihat beberapa kemungkinan seperti di atas, ada empat skema solusi, maka layak ditunggu apa yang akan diambil para pihak dalam beberapa hari ke depan atau hingga batas akhir seperti waktu somasi PTPN VIII.
(abd)