ICJR Ungkap Penyebab Banyak Perempuan Terjerat Tindak Pidana

Selasa, 22 Desember 2020 - 14:03 WIB
loading...
ICJR Ungkap Penyebab...
Banyak perempuan terjerat kasus pidana karena himpitan ekonomi. Foto/pixabay
A A A
JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan penamaan Hari Ibu setiap 22 Desember melenceng dari tujuannya awalnya. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menerangkan tanggal 22 Desember ini seharusnya disebut sebagai Hari Pergerakan Perempuan.

Alasannya, Sejarah penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu merujuk pada Kongres Perempuan I pada 22-25 Desember 1928. Dia menjelaskan kongres itu diadakan untuk memperjuangkan kehidupan perempuan di Indonesia yang masih dibawah ancaman budaya patriarki.

“Terdapat arti besar dalam 22 Desember, tentang perjuangan mencapai kesetaraan. Tentang kesetaraan ini, aspek pembaharuan sistem peradilan pidana juga harus dilakukan untuk mendukung kesetaraan gender,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDONews, Selasa (22/12/2020).

(Baca: ICJR Sebut Vonis Jerinx Bahaya bagi Iklim Demokrasi di Indonesia)

Dia menyatakan sistem peradilan pidana hingga saat ini belum menjamin prinsip kesetaraan. ICJR mengungkapkan sepanjang 2011-2019, pemenjaraan perempuan meningkat 158 persen.

Berdasarkan data pada 24 Maret 2020, ada 10.943 perempuan yang menjadi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Sebanyak 6.037 orang atau 55 persen terjerat tindakan pidana narkotika.

“Dalam kasus-kasus narkotika, perempuan melakukan tindak pidana karena beban finansial. (Mereka) tulang punggung keluarga dan harus memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya,” papar Maidina. ‘

(Baca: Dari Tempat Isolasi, Begini Duet Anies dan Istri Sampaikan Pesan-pesan Hari Ibu)

Faktor lain, perempuan yang terlibat dalam peredaran narkotika karena pengaruh pihak ketiga. Dalam kasus pidana mati, perempuan yang terlibat berasal dari latar belakang sosial ekonomi terpinggirkan dan korban eksploitasi,

Bahkan, mereka mengalami pelanggaran hak atas peradilan yang adil. “Sayangnya sistem hukum pidana di Indonesia tidak menjamin aspek gender. Misalnya, dalam UU Narkotika, overkriminalisasi berdampak pada perempuan dan juga teman-teman transpuan,” katanya.

ICJR mendorong pembaharuan hukum materil dan formil dalam sistem peradilan pidana agar memperhatikan aspek gender. “Pemerintah dan DPR harus meninjau ulang ketentuan pidana yang berdampak negatif pada kesetaraan,” pungkasnya.
(muh)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1601 seconds (0.1#10.140)