Dua Skema Ekstrem yang Bisa Terjadi di Pilpres 2024
loading...
A
A
A
Dia membeberkan, kemungkinan yang luar biasa itu setidaknya ada dua. Pertama, kemungkinan Joko Widodo ( Jokowi ) maju presiden untuk ketiga kalinya, tetapi kali ini dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya. "Tentu saja hal ini memerlukan amandemen UU Dasar 1945," tegasnya.
Kedua kata Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden dengan wakilnya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret," terangnya.
(Baca juga : Serangan Ridwan Kamil terhadap Mahfud MD Logis, Begini Penjelasannya )
Menurut dia, sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, sedemikian hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah cebong dan kampret yang bertahan sampai saat ini. Jika keduanya bergabung, maka diyakini tidak ada lagi dikotomi cebong dan kampret pada Pemilu mendatang.
"Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan, di mana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di Pilpres 2019," pungkas sarjana psikologi UI dan master ilmu pemerintahan Essex University, Inggris itu.
Kedua kata Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden dengan wakilnya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan Kampret," terangnya.
(Baca juga : Serangan Ridwan Kamil terhadap Mahfud MD Logis, Begini Penjelasannya )
Menurut dia, sosok Jokowi dan Prabowo merupakan representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, sedemikian hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah cebong dan kampret yang bertahan sampai saat ini. Jika keduanya bergabung, maka diyakini tidak ada lagi dikotomi cebong dan kampret pada Pemilu mendatang.
"Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan, di mana terjadi pembelahan seperti halnya cebong dan kampret di Pilpres 2019," pungkas sarjana psikologi UI dan master ilmu pemerintahan Essex University, Inggris itu.
(maf)