Menunggu Panglima TNI yang Khatam Urusan Pertahanan Maritim

Minggu, 06 Desember 2020 - 21:21 WIB
loading...
Menunggu Panglima TNI...
Jannus TH Siahaan, pengamat pertahanan dan keamanan.
A A A
Jannus TH Siahaan
Pengamat Pertahanan dan Keamanan

TANTANGAN pertahanan dan keamanan ke depan semakin komplek, terutama dari sisi ketahanan kelautan seiring dengan meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan dan seringnya terjadi percurian ikan di Laut Natuna. Sehingga Pemerintah memang sedang memerlukan cara baru untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya kelautan sekaligus membenahi kemampuan operasi maritime dan pertahanan kelautan nasional.

Kondisi ini seharusnya menjadi pertimbangan utama istana dalam mempersiapkan Panglima TNI yang baru, yakni calon panglima yang khatam soal pertahanan dan ketahanan kelautan. Apalagi, jika merujuk kepada model rotasi yang telah disepakati bahwa semestinya pengganti Panglima TNI kali ini adalah dari Angkatan Laut, setelah dua masa kepemimpinan sebelumnya berasl dari Angkatan Darat dan Angkatan Udara.

Kompleksitas geostrategis Indonesia saat ini sejatinya sangat cocok untuk seorang Panglima dari Ankatan Laut. Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan terdiri dari tiga wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang terbuka bagi pihak internasional dan membutuhkan keandalan operasi maritim TNI. Terutama yang terkait dengan masalah operasi cegatan maritim, misalnya. Operasi ini harus bisa dilakukan di perairan manapun, baik di wilayah NKRI maupun di luar.

Operasi maritim juga membutuhkan keandalan infrastruktur keamanan laut dan pembaruan terhadap doktrin pertahanan laut yang mengedepankan aspek intelijen dan teknologi. Bidang intelijen maritim harus dibenahi sehingga mencapai kemampuan pengawasan yang tangguh. Situasi dunia menuntut agar Indonesia mampu mewujudkan kemampuan intelijen maritim yang canggih. Intelijen maritim merupakan bagian intelijen strategis dalam upaya untuk menjamin stabilitas nasional dan upaya untuk penginderaan terhadap lingkungan strategis baik di dalam maupun di luar negeri.

Intelijen maritim fokus pada kegiatannya terkait bidang maritim atau yang berpengaruh terhadap kemampuan maritim negara asing maupun negara sendiri. Kapasitas dan postur intelijen nasional sebaiknya diarahkan untuk meneguhkan kemampuan intelijen maritim. Jangan ada lagi operasi intelijen yang sifatnya parsial, yaitu yang membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral.

Misalnya, TNI Angkatan Laut (AL) tidak lagi membatasi pada naval intelligence, tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence yang mampu menyediakan informasi strategis kepada institusi maritim nasional. Seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, Bea Cukai, Kepolisian, dan terutama untuk TNI.

Untuk itu, urgensi membangun sejumlah infrastruktur pangkalan dan sarana pemeliharaan kapal perang tak terhindarkan lagi. Infrastruktur tersebut utamanya untuk mendukung efektivitas Markas Komando Armada ketiga yang terletak di Sorong, Papua Barat. Selama ini kekuatan tempur TNI AL masih bertumpu pada dua armada wilayah, yakni barat atau Armabar, dan timur atau Armatim.

Jumlah kapal perang milik TNI AL hanya berjumlah 151 unit. Padahal, jumlah kapal perang RI pada 1960-an berjumlah hingga 162 kapal. Sistem komando armada yang bertugas membina kemampuan Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, pasukan marinir, dan pangkalan sebaiknya lebih bersinergi dengan instansi lain yang juga mengelola wilayah laut. Kemampuan peperangan laut dan kesiapan operasi laut pada saat ini harus bisa berubah menjadi operasi non-perang yang mendukung penegakan kedaulatan dan hukum di laut, serta mengamankan potensi ekonomi di laut

Tugas penting lanjutannya adalah membentuk sistem nasional pengawas kelautan yang andal dengan tiga aspek penting. Pertama, aspek informatif. Sistem harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional, baik dari sisi sumber daya laut, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar, dan segala informasi mengenai laut lainnya.

Kedua, aspek integratif. Tumpang tindihnya pengadaan infrastruktur dan pemasangan peralatan pengawasan antar departemen bisa diatasi, sehingga ada penghematan anggaran negara. Karena jumlah peralatan atau sistem yang dibangun tidak bertabrakan dalam hal jangkauan pada suatu daerah atau sistem dan fungsinya. Selain itu, dengan solusi interoperabilitas maka masalah selang-seling pemilik peralatan di sepanjang selat kritis, seperti Selat Malaka bisa diintegrasikan.

Ketiga, adalah aspek kolaboratif. Hal ini lebih fokus pada status data yang dipertukarkan. Misalnya, data untuk memberantas Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUU) seperti jalur kapal ikan (posisi, kecepatan, heading), SIKPI (identitas pemilik, perusahaan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, tanggal kedaluwarsa izin), basis data log book (jenis ikan, lokasi), data parameter biologi laut (klorofil, upwelling), dan data batas WPP.

Jadi pendeknya, perlu sinergi strategis yang permanen antara tiga lembaga yang selama ini menjadi pengelola utama sistem kelautan nasional, yakni KKP, TNI AL, dan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan, yang secara pertahanan dan ketahanan akan sangat strategis dan cocok berada di bawah koordinasi Panglima TNI dari Angkatan Laut.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1500 seconds (0.1#10.140)